Idul Fitri: Rumah Mbah Saidin


Kaliabu,  1 Syawal 1446 Hijriah. Selepas sholat asyar berjamaah di masjid di wilayah Kabupaten Madiun itu saya berjalan kaki menuju rumah ibu. Ditemani syahdunya matahari senja, saya berhenti di depan rumah alhamarhum mbah Saidin. Rumah tetangga ibu yang kini dibiarkan kosong. Anak-anak mbah Saidin sudah punya rumah sendiri-sendiri.

Rumah mbah Saidin adalah tipikal rumah tradisional jawa. Rumah bestruktur kayu jati. Rumah ini masih dalam struktur yang sama sejak saya kanak-kanak. Soko guru sebagai struktur utama tidak berubah. Yang berbeda adalah dindingnya. Dulu berdinding anyaman bambu yang dalam bahasa setempat disebut gedhek. Tapi sekitar saat saya SMP  rumah-rumah di itu pada diperbaiki. Gedhek diganti dengan tembok batu bata. Demikian pulalah rumah mbah Saidin.

Dan saya masih ingat betul. Perbaikan dinding seperti itu adalah merupakan hasil kerja keras bagi warga desa Kaliabu pada umumnya. Demikian juga pada Mbah Saidin. Bersama almarhum mbah Sayem, sang istri, Mbah Saidin bekerja keras untuk perbaikan rumah itu. Menanam jagung dan singkong di ladang dekat rumah, bekerja menggarap sawah tetangga yang disebut tandur, matun atau derep, bekerja sebagai tukang bungkus pada industri rumah tangga makanan tradisional brem, dan bekerja berjualan brem dengan pikulan ke luar kota adalah sebagaian dari kerja keras itu. Itulah modal mengubah dinding gedhek menjadi batu bata.

Nah, sore itu saya melihat hasil kerja keras Mbah Saidin menjadi rumah kosong. Dinding batu bata yang telah lapuk termakan usia itu menjadi saksi. Sebagian sudah jebol dan diganti dinding seng. Itulah harta yang dulu diperoleh mbah Saidin dan Mbah Sayem dengan kerja keras luar biasa.

&&&

Pembaca yang baik, rumah kosong Mbah Saidin adalah renungan bagi kita selepas sebulan berpuasa. Renungan tentang harta yang hari-hari ini mugkin sedang atau telah kita perjuangkan dengan pengorbanan terbaik kita. Bahkan mungkin mengesampingkan waktu kebersamaan dengan keluarga dan anak-anak. Bahkan bisa jadi dengan tidak tidak mempedulikan halal haram, naudzubilllah.

Bagaimana nasib harta itu kelak saat kita sudah dipanggil-Nya? Apakah harta itu bermanfaat bagi sesama sehigga terus mengirimkan pahala yang mengalir kepada kita di negeri abadi? Ataukah sebaliknya, menjadi harta terabaikan karena tidak ada manfaatnya? Menjadi rumah kosong? Menjadi tanah mangkrak? Atau menjadi rebutan ahli waris?

Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu lalu kamu berkata, “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” Peringatan salah satu ayat Al Qur’an ini semoga menyadarkan kita. Bahwa orang meninggal menyesal bukan karena shalat, puasa, atau haji. Sumber penyesalan adalah harta yang masih tersisa saat meninggal. Harta yang tidak bermanfaat bagi sesama. Tentu saja juga tidak mengirimkan pahala yang terus mengalir.  Apalagi jika menjadi bahan sengketa.

Penulis bersama cucu tercinta

Menyesal seribu sesal. Menyesal semenyesal-menyesalnya. Semoga kita bisa menghindarinya. Selamat idul fitri. Selamat berbahagia bersama keluarga.  Mohon maaf dari lubuk hati paling dalam penulis untuk Anda para pembaca tercinta. Semoga kelak kita tidak termasuk orang-orang yang menyesal tentang harta kita saat sewaktu-waktu dipanggil-Nya.

Artikel ke-473 karya Iman Supriyono ditulis di Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan, Caruban, Madiun, pada tanggal 1 Syawal 1446 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 31 Maret 2025

Tinggalkan komentar