Nasib Pensiunan Amil Marbot Imam


Tanggal 1 Maret 1987 berdirilah YDSF. Sebuah badan hukum yang menjadi pelopor amil modern. Jika sebelumnya zakat infak dan sedekah hanya dikelola secara sporadis oleh takmir masjid dan musala, lembaga bernama lengkap Yayasan Dana Sosial Al Falah itu telah melakukan perubahan luar biasa.

Apa yang dirintis oleh YDSF kemudian berbuah luar biasa. Kini muncul banyak sekali lembaga amil modern seperti DD, Yatim Mandiri, Rumah Zakat, LazisMu, LazisNU, LMI dan sebagainya. Laporan Baznas menyebut bahwa sepanjang tahun 2024 telah terkumpul zakat infak sedekah senilai Rp 40,5 triliun. Sebuah angkat yang tidak kecil. Jumlah itu didistribusikan untuk mereka yang berhak di berbagai penjuru.

Lembaga amil zakat modern berbentuk badan hukum formal. Ada yayasan seperti YDSF. Atau perkumpulan seperti LazisMu dan LazisNU. Sebagai badan hukum dengan pengelolaan dana sebesar itu tentu mereka memiliki banyak karyawan yang bekerja penuh waktu.

Misalkan saja seorang fresh graduate sarjana memilih bekerja full time di YDSF tahun 1987. Jika saat itu usianya 22 tahun, saat ini tentu telah berusia 60 tahun. Usia pensiun. Masa senja. Mengingat ada ribuan orang yang bekerja sebagai karyawan penuh waktu di lembaga amil modern, tentu akan ada ribuan pensiunan amil.

Pertanyaannya, setelah mereka pensiun, bagaimana kesejahteraannya? Jika selama bekerja mereka mendorong masyarakat untuk menjadi pembayar zakat alias muzaki, haruskah mereka bernasib menjadi mustahiq alias orang yang berhak menerima zakat saat pensiun?

Belum lagi para marbot dan imam penuh waktu di masjid-masjid. Jika ada 800 ribu masjid, tentu ada ratusan ribu pensiunan marbot dan imam ful time. Pertanyaannya idem. Bagaimana kesejahteraan mereka saat pensiun? Sudah adakah yang memikirkannya?

&&&

New York 1914. Para pengelola The Episcopal Church berpikir jauh ke depan. Bagaimana nasib para pendeta dan karyawan yang telah mengabdikan dirinya di gereja sepanjang usia produktif mereka?  Haruskah mereka terlantar di hari tuanya? Pertanyaan itu dijawab dengan mendirikan Church Pension Fund dengan badan hukum non profit corporation. Badan hukum yang di Indonesia disebut perkumpulan (seperti Muhammadiyah dan NU) ini mulai beroperasi sejak tahun 1917. Kegiatannya adalah mengumpulkan donasi non konsumtif yang disebut sebagai endowment fund. Dalam terminologi Islam disebut weakaf. Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan. Hasil investasinya digunakan untuk memberi uang pensiun bulanan kepada para pendeta dan pekerja full time gereja.

Laporan resmi mereka per 31 Maret 2025 nilai asetnya adalah USD 17,7 miliar alias setara dengan Rp 296 triliun. Sebagaimana pada laporan yang diaudit oleh Ernst & Young, dana itu diinvestasikan dengan portofolio modern melalui perusahaan-perusahaan investasi seperti  Blackrock, State Sreet, VAnguard, dan sebagainya.  Sebagian besar portofolio investasinya adalah berupa saham di berbagai perusahaan.

Tahun  buku 2024,  imbal hasil atas investasi adalah 7,2%. Artinya, hasil investasi atas aset lembaga pengelola dana abadi terbesar ke-26 dunia tersebut  adalah sekitar Rp 21 triliiun. Dana itulah yang digunakan untuk memberi uang pensiun kepada puluhan ribu pendeta dan pekerja gereja lainnya.

&&&

Pembaca yang baik, siapa yang memikirkan masa tua para amil, marbot dan imam yang saat usia produktif bekerja penuh waktu di lembaga-lembaga amil dan masjid-masjid? Dibutuhkan tindakan seperti yang dilakukan oleh Episcopal Church lebih dari seabad yang lalu. Mengumpulkan dan mengelola endowment fund (dana wakaf) dan menginvestasikannya dengan manajemen dan tata kelola modern.

Gabung di group whatsapp untuk mendapatkan link zoom:
https://chat.whatsapp.com/LD7h338hoJSGLYYQuIYX00?mode=hqrt1

Manajemen modern artinya adalah mengelola dana abadi/wakaf sebagai investing company. Bukan operating company. Dampaknya adalah mendorong perusahaan-perusahaan operating company di berbagai bidang untuk tumbuh melakukan scale up. Menguatkan ekonomi. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Mengamankan masa senja para amil, marbot dan imam sekaligus menumbuhkan ekonomi. Anda profesional di bidang amil zakat, wakaf atau takmir masjid? Siap mengambil fardhu kifayah ini?

Karya ke-495 Iman Supriyono yang ditulis di Surabaya pada tanggal 19 Desember 2025.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Satu Lagi dari ACR: Wakaf Saham Apotek Titokita


Sebagai salah satu pendiri dan kemudian ketua ACR, www.acrku.org,  sejak awal saya menyadari bahwa ini adalah proses yang panjaaaang. Berdasarkan catatan sejarah,  membangun pengelola zakat infak sekelas YDSF yang berdiri tahun 1987 butuh waktu sekitar 20-30 tahun untuk menjadi organisasi kokoh. Dompet Dhuafa yang berdiri tahun 1993 pun demikian. Kini lebih dari 30 tahun kemudian masyarakat benar-benar merasakan kehadirannya.

ACR didesain berkonsep dana abadi alias wakaf. Dalam konteks ekonomi modern, dana abadi alias dana wakaf hanya tepat dikelola dengan model investing company, bukan operating company. Ini adalah sesuatu yang baru. Tidak banyak yang memahaminya. Maka, poin pertama yang dipikirkan oleh para pendiri adalah bahwa ACR butuh proses panjaaaang. Perkiraan juga butuh waktu sekitar 20-30 tahun.

Bagaimana gambaran ACR saat sudah jadi nanti? Kurang lebih begini. ACR memiliki aset dalam bilangan triliun. Aset itu dikelola model investing company dengan proporsi sekitar 50% adalah ekuitas alias saham di berbagai perusahaan. Semuanya saham minoritas sehingga ACR tidak mengkonsolidasikan laporan keuangan perusahaan tempatnya berinvestasi. Ada ratusan perusahaan investeee berkualitas.  

Selanjutnya, sekitar 30% aset adalah berupa sukuk atau deposito syariah di berbagai bank. Selebihnya sekitar 20% adalah lain-lain seperti kepemilikan properti untuk disewakan, pembiayaan murobahah proyek dan sebagainya. Jadi pekerjaan pengurus ACR ketika itu adalah dari RUPS ke RUPS.

Karena memiliki aset saham yang secara akuntansi dilaporkan berdasarkan nilai pasar, maka aset bilangan triliun bukan berarti para donatur yaitu anggota ACR (ACR adalah ormas berbadan hukum perkumpulan yang asetnya berasal dari iuran anggota) benar-benar menyetor sejumlah itu. Sebagian besar asetnya akan berasal dari pertumbuhan nilai pasar dari saham-saham yang dimilikinya. Bukan hanya dari setoran pra anggota. Ini terjadi karena pada umumnya ACR masuk sebagai pemegang saham melalui skema private placement perusahaan-perusahaan terpilih jauh sebelum IPO. Harganya masih murah dan pertumbuhannya tinggi. Kriteria teknisnya adalah perusahaan sudah pada tahap revenue and profit driver, tahap kelima dari 8 siklus perusahaan. Ini adalah cara yang biasa dikerjakan pengelola dana abadi raksasa seperti pada Harvard University, MIT, The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints (LDS Church) si organisasi agama dengan aset lebih dari Rp 4 ribu triliun, dan sebagainya.

Ketua ACR menandatangani akta masuknya ACR sebagai pemegang saham PT Titokita Farma Sejahtera

ACR adalah program besar. Maka, mengelola ACR adalah perjalanan panjang. Tidak boleh grusa grusu. Tidak boleh tergesa gesa. Tapi juga tidak boleh diam. Maka, sore itu, perjalanan saya mengemudikan mobil dari Natar, Lampung Selatan, menuju Banjar Agung, Tulang Bawang, adalah sesuatu yang sangat saya syukuri. Sore itu, 11-12-25, saya menikmati perjalanan di tol lintas sumatera untuk penandatanganan masuknya ACR sebagai pemegang saham PT Titokita Farma Sejahtera, sebuah perusahaan apotek yang telah memiliki 8 gerai. Masuknya ACR menandai awal proses scale up untuk menjadi korporasi sejati. Menjadi perusahaan yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Rahmatan lil alamin.

Satu lagi dari ACR. Itulah spiritnya. Di kantor notaris Tria Agustia, mewakili ACR saya melakukan penandatanganan akta bersama dengan pemegang saham Titokita lainnya. Bismilah….ini adalah saham ke-4 ACR. Insyaallah akan disusul saham ke-5, ke-6 dan seterunya sampai lebih dari seribu seperti LDS Church. Moga berkah bagi keluarga besar Titokita, berkah bagi keluarga besar ACR dan tentu saja berkah bagi adik-adik cemerlang kader umat yang sedang rajin belajar dengan fasilitas beasiswa ACR.

Karya ke-494 Iman Supriyono yang ditulis di Bandar Lampung pada tanggal 12 Desember 2025.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Warung Madura: Jual Bensin di Depan SPBU


Jalan Sedap Malam, Denpasar, suatu siang. Siant itu saya sedang rapat dengan direksi salah satu klien SNF Consulting, kantor tempat saya berkarya. Sebagaimana biasa, jam 12 siang adalah saat para karyawan rehat selama satu jam untuk makan siang. Jam 12 waktu Denpasar sama dengan jam 11 waktu di Surabaya, tempat tinggal saya. Beberapa menit kemudian adalah saat sholat dhuhur.

Begitu saat istirahat siang, saya bergegas ke masjid untuk menunaikan sholat dhuhur berjamaah. Masjid terdekat berada di lokasi yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari tempat rapat. Artinya, butuh waktu sekitar 15 menit jika ditempuh dengan jalan kaki.

Jalan kaki bukan  pilihan yang tepat untuk menuju masjid. Waktu istirahat hanya satu jam. Sementara masih dibutuhkan waktu juga untuk makan siang. Maka, yang paling realistis adalah naik kendaraan. Bisa motor atau mobil. Motor lebih tepat karena bisa menghindari kepadatan lalu lintas Denpasar.

Pada awal-awal meeting, saya order ojek online untuk ke masjid. Tapi lama-lama para direksi peserta rapat melihat kebiasaan saya. Akhirnya mereka menawarkan saya untuk pinjam motor salah satu karyawan. Jadilah ini menjadi kebiasaan. Setiap istirahat siang rapat saya dipinjami motor untuk pergi ke masjid terdekat.

Nah, sepulang dari masjid saya harus mengisi bensin. Bukan semata untuk megganti bensin yang terpakai. Lebih dari itu, saya niat saya adalah untuk sedikit membalas kebaikan pemilik motor yuang telah mempermudah perjalanan saya menuju dan dari masjid.

Di mana mesti beli bensin? Sepanjang perjalanan ke masjid tidak terlhat ada SPBU. Yang ditemukan adalah kios penjual bensin. Ada yang menggunakan mesin  mesin dispeneser ala SPBU. Ada yang menjual bensin dalam botol-botol.

Pilihan saya adalah penjualn bensin yang menggunakan mesin dispenser. Mekanisme transaksi persis di SPBU Pertamina, Shell atau BP.  Sebut nilai pembelian, lalu penjual akan menekan angka-angka yang keumdian tampil di layar display warna merah.

Nah, dari komunikasi dengan penjual segera saya mengambil kesimpulan: ternyata saya membeli bensin warung madura. Saya tau persis dari logat sang penjual. Logat madura memang khas. Tidak banyak orang Madura yang bisa meninggalkan logat khas nya saat bicara dengan bahasa lain.

Kios penjual bensin dengan mesin dispenser kecil seperti ini sering disebut sebagai ”pertamini”. Seperti SPBU Pertamina tapi dalam ukuran mini. Di Denpasar bisnis seperti ini bisa dengan mudah kita jumpai di mana-mana. Bahkan di lokasi depan SPBU Pertamina. Di lokasi seperti ini, sasaran konsumennya adalah motor yang tidak mau antri panjang di SPBU Pertamina. MereKa mungkin dikejar waktu harus segera ke kantor atau keperluan lain. Jadinya tetap memilih ”pertamini” walaupun tentu saja harganya lebih mahal dari pada SPBU Pertamina.

Dari mana ”pertamini” mendapatkan pasokan bensin? Bukankah ada larangan membeli bensin di SPBU Pertamina dengan jerigen? Bukankah pembelian hanya boleh dilakukan dengan motor atau mobil? Para pebisnis ”pertamini” tidak kurang akal. Mereka membeli bensin di SPBU Pertamina dengan motor yang bertanki besar. Motor Honda GL Pro misalnya memiliki kapasitas tangki bahan bakar 12 liter. Beli di SPBU dengan tanki penuh. Selanjutnya tinggal membuka kran tanki dan memasukkan bensin yang ada ke mesin dispenser.

&&&

Pembaca  yang baik, bensin adalah salah satu dagangan unggulan warung madura di mana-mana. Tentu ada dagatngan unggulan lain yang menjadikan sebuah warung madura memperoleh mozet cukup. Cukup untuk menanggung seluruh biaya dan ada laba yang menarik bagi pelaku bisnsinya. Tanpa laba yang menarik, bisnis apapun tidak akan ada yang menjalani.

Warung madura muncul dimana-mana. Tapi mengapa tidak bisa menghasilkan pelaku bisnis terkaya nasional seperti Djoko Susanto pendiri Alfamart? jawabannya sederhana. Warung madura yang jumlahnya bisa jadi puluhan ribu gerai itu berdiri sendiri-sendiri. Ibarat orang sholat warung madura sholat sendirian. Sedangkan Alfamart yang sekitar 20 ribu gerai adalah satu kesatuan. Satu rekaning, satu manajemen, dan satu komando. Ibarat orang sholat Alfamart adalah berjamaah. Pahalanya 27 kali lipat.

Ada ribuan bahkan puluhan ribu pemain bisnis warung madura. Mereka berdiris sendiri. Ada ribuan bahkan puluhan ribu pemegang saham Alfamart. Mereka bersatu dalam satu kesatuan. Seperti sholat berjamaah dalam satu komando imam. Yang bertindak sebagai ”imam” dalam ekonomi berjamaah Alfamrt adalah si direktur utama yang saat ini dijabat oleh Anggara Hans Prawira. Orang inilah yang menajdi ”Imam” dalam ”sholat berjamaah” Alfamart. Dia lah yang memegang tongkat komando dan menentukan apapun yang dilakukan oleh Alfamart.

Warung Madura: Jual Bensin di Depan SPBU

Anda pelaku bisnis warung madura? Atau bisnis apapun yang masih ”sholat sendirian” seperti warung madura? segera pelajari mekanisme ilmu dan keahlian korporasi. Ilmu yang dibutuhkan untuk menarik puluhan ribu orang bahkan lebih untuk bergabung menjadi satu kesatuan. Satu kekuatan ekonomi yang kokoh dalam dunia bisnis yang penuh persaingan ketat.

Karya ke-493 Iman Supriyono yang ditulis untuk dan diterbitkan oleh Majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi Desember 2025

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Indeks Wakafisasi: Cegah Pendidikan Transaksional


Pendidikan tidak boleh berkarakter transaksional. Penanda karakter transaksional adalah: Guru dibayari murid. Atau dosen dibayari mahasiswa di dunia perguruan tinggi. Atau Ustadz dibayari santri di dunia pondok pesantren.

Guru dibayari murid. Dosen dibayari mahasiswa. Atau ustadz dibayari santri. Tentu saja tidak bisa dilihat secara fisik: murid menyerakan uang fisik atau mentranfer uang ke rekening guru. Atau santri menyerahkan uang fisik ke ustad. Atau mahasiswa menyerahkan uang fisik maupun tranfer ke rekening dosen. Lalu bagaimana melihatnya? Tidak ada cara lain kecuali dengan membaca laporan keuangannya. Supaya lebih jelas saya akan mengambil contoh laporan keuangan Masachusets Instutute of Technologi. Kampus yang juga dikenal sebagai MIT ini pantas menjadi acuan paling tidak karena lima alasan.

Pertama, ini adalah kampus swasta murni berbadan hukum non profit corporation. Tidak diragukan lagi tentang misi sosial lembaga pendidikan ini. Dalam tata hukum Indonesia, non profit corporation adalah perkumpulan. Ini adalah badan hukum yang dipilih KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan ketika mendirikan NU dan Muhammadiyah. Keduanya berbadan hukum perkumpulan sampai saat ini. Bukan yayasan. Baca perbandingannya di sini.

Kedua, MIT adalah perguruan tinggi yang selalu berada pada ranking satu dalam QS University ranking. Semua perguruan tinggi dunia kalah oleh kampus yang luas lahannya hanya 68 hektar ini. Bandingkan misalnya dengan UI dengan luas  lahan lebih dari 3x MIT tapi berada di rangking 189. NTU Singapura pada peringkat 12.

Ketiga, MIT telah menghasilkan 105 penerima hadiah nobel. Tentu ini bukan main-main. UI, ITB, ITS, Unair, IPB dan UGM misalnya,  belum menghasilkan satu pun penerima hadiah nobel. NTU pun belum menghasilkan penerima nobel dari kalangan alumni atau dosen tetapnya.

Keempat, pada laporan keuangan 2024, uang kuliah mahasiswa (UKT, SPP, tuition) hanya berkontribusi 8% terhadap total pendapatan kampus. Dengan demikian ini adalah kampus yang tidak lagi terjebak pada paradigma dosen dibayari mahasiswa.

Kelima, MIT memperoleh pendapatan non SPP (non tuition) bukan dari berbisnis. Mengapa ini penting? jika dari non tuition diperoleh dari bisnis, kampus berubah dari institusi pendidikan yang berkarakter sosial menjadi organisasi bisnis seperti perusahaan. ini bahaya. Makanya MIT menghindarinya. Lalu bagaimana caranya? Saya akan menjelaskannya dengan format poin-poin.

  1. Untuk bisa menjawab pertanyaan di atas, kita harus mulai dengan mendefinisikan apa yang disebut sebagai Indeks Wakafisasi (IW). Sebuah terminologi yang mengukur kemampuan sebuah lembaga pendidikan (sekolah, kampus atau pondok pesantren) dalam mendayagunakan dana wakaf atau dana abadi (endowment fund) sebagai penopang utama pendapatan kampus. IW merupakan kebalikan dari Indeks ketergantungan lembaga pendidikan terhadap pendapatan dari murid (IK).
  2. Sumber pendapatan sebuah lembaga pendidikan bisa dibagi menjadi empat kelompok utama. Pertama adalah dari uang yang dibayarkan oleh peserta tidik. Secara teknis adalah berupa uang kuliah, uang sekolah, SPP, UKT, uang bulanan atau uang syahriah dari peserta didik.
  3. Kedua adalah dari proyek hasil dari mempraktekkan ilmu para pendidik di lembaga pendidikan itu. Contoh, kampus seperti MIT punya institusi riset yang bernama Lincoln Laboratory. Lembaga riset MIT ini mendapatkan proyek dari penjualan hasil-hasil riset kepada departemen pertahanan (oleh Trump diubah namanya menjadi departemen perang) pemerintah federal USA.
  4. Ketiga adalah pendapatan investasi dana abadi. MIT misalnya selalu mengumpulkan dana abadi (wakaf dalam terminologi Islam) dari masyarakat. Dana ini kemudian diinvestasikan dan hasilnya menjadi pendapatan kampus.
  5. Keempat adalah lain-lain. Yaitu pendapatan apapun yang sumbernya bukan dari ketiga sumber yang disebut sebelumnya
  6. IW dapat diukur melalui dua cara. Bisa melalui lag indicator. Atau melalui lead indicator. Lag indicator adalah hasil dari sebuah proses. Lead indicator adalah usaha yang bersifat proses. Untuk lag indicator, IW diukur dari persentase pendapatan dari hasil investasi dana abadi terhadap total pendapatan lembaga pendidikan. Untuk MIT, dalam laporan keuangan 2024, pendapatan dari hasil investasi dana abadi adalah USD 1,48 miliar (IDR 24,7 triliun. Total pendapatan kampus adalah USD 5,07 miliar (IDR 89,4 triliun). Dengan demikian IW MIT adalah 1,48 dibagi 5,07 yaitu 29%
  7. Sebagai catatan penting, pendapatan dana abadi tersebut diperolah melalui investasi, bukan bisnis. MIT mendirikan MIT Investment Management Company (MITIMCO), sebuah perusahaan berbadan hukum PT yang bekerja sebagai investing company, bukan operating company. Artinya, MIT tidak berbisnis. MIT terhindar dari persaingan dunia bisnis yang sangat bertentangan dengan karakter sosial sebuah lembaga pendidikan. Pada saat yang sama, dana investasi tersebut akan memperbesar perusahaan-perusahaan (operating company) yang berperan sebagai investee berkualitas. USA yang berkontribusi hampir 700 dari 2000 perusahaan terbesar dunia (berdasar omzet, laba, aset dan market cap) tidak bisa dilepaskan dari institusi pendikan seperti MIT melalui investasi endowment fund nya.
  8. Berapa IK MIT? Pendapatan dari tuition fee adalah USD 428 juta (IDR 72 miliar). Dengan demikian nilai IK adalah 428 juta dibagi 5,07 miliar alias 8%. Makin tinggi angka IW akan diikuti dengan makin rendahnya skor IK. IW berlawanan dengan IK itulah IW MIT diukur dari lag indicator.
  9. Jika diukur melalui lead indicator, IW adalah persentase aset investasi dana abadi (dana wakaf) dibanding dengan total aset lembaga pendidikan. Dalam laporan keuangan MIT tahun 2024, nilai aset investasi endowment fund adalah USD 31,76 miliar (IDR 532 triliun). Total aset kampus adalah USD 39,98 miliar (IDR 670 triliun). Dengan demikian IW adalah 31,76 dibagi 39,98 alias 79%.
  10. Lawan dari IW dengan pendekatan lead indicator adalah Indeks Aset Operasional (IO). Dari total aset MIT yang 39,98 miliar, yang berupa aset operasional (tanah, gedung dan peralatan  pendidikan) adalah USD 5,43 miliar (IDR 100 triliun). Dengan demikian IO MIT adalah 5,43 dibagi 39,98 yaitu 14%. Artinya, aset operasional MIT hanya sebesar 14% dari total aset kampus. Makin rendah IO akan makin tinggi IW suatu kampus. IO dan IW bersifat berlawanan
  11. Anda pengelola lembaga pendidikan? Coba hitung, berapa IW lembaga pendidikan yang  Anda kelola? Berapa IW jika diukur dengan lag indicator? Berapa jika diukur dengan lead indicator? IW yang rendah ( di bawah 50% jika diukur dari lead indicator) menandakan bahwa lembaga pendidikan yang Anda kelola butuh upaya besar untuk mendayagunakan wakaf atau endowement fund.
  12. Bagaimana untuk menjadi lebih baik? Tentu saja dengan menyusun strategi yang tepat untuk meningkatkan IW. Secara komprehensif strategi tersebut harus dituangkan dalam roadmap lembaga pendidikan. Bermula dari angka IW saat ini menuju angka IW di atas 50% dan selanjutnya bisa seperti MIT yang IW berbasis lead indicatornya adalah 79%.
  13. Coba buka link berikut. Lihatlah betapa MIT yang IWnya sudah 79% pun masih gencar menggali donasi. Dengan demikian angka IW MIT (lead indicator) ke depan akan terus naik. Dan yang lebih penting, sumbangan endowment fund (wakaf) yang  terus mengalir kepada MIT menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang MIT sebagai lembaga pendidikan yang berkarakter sosial. Bukan bisnis. Perlu ditekankan, IW didorong dengan menggalang donasi dari masyarakat, bukan dengan menyisihkan laba operasional .
  14. Bagaimana lembaga pendidikan yang Anda pimpin? Sudahkah masyarakat berbondong-bondong menyumbang untuk endowment fund atau aset wakaf? jika belum, artinya adalah bahwa masyarakat belum memandang lembaga pendidikan yang Anda pimpin sebagai institusi sosial. Jangan-jangan, masyarakat memandang lembaga yang Anda pimpin sebagai institusi bisnis.  Tidak ada yang mau menyumbang institusi bisnis. Secara akuntansi, IK yang tinggi, apalagi 100%, adalah penanda bahwa lembaga pendidikan yang Anda pimpin perlu upaya besar untuk menuju yang ideal.
  15. Mengapa harus berfokus pada IW berbasis lead indicator? Karena itulah yang lebih tepat untuk dikontrol. Jika IW berbasis lead indicator tinggi, berikutnya tinggal bagaimana fund manager bekerja untuk mengkonversinya menjadi IW  berbasis lag indicator. Kerja fund manager adalah persis seperti sebuah perusahaan investasi. Kalau di Indonesia seperti Saratoga.

Berapa indeks wakafisasi lembaga pendidikan yang Anda kelola?

Bagaimana lembaga pendidikan yang Anda kelola? Apa yang akan Anda lakukan? Atau mungkin butuh bantuan untuk menyusun roadmap atau  strategi wakaf/endowment fund? SNF Consulting siap membantu. Semoga kita semua bisa berkontribusi mengembangkan aset wakaf untuk dunia pendidikan. Berkontribusi mengubah kondisi pendidikan yang transaksional menjadi berjiwa sosial. Semoga kita bisa berperan maksimal. Berperan membangun amal jariah. Bukan hanya untuk kehidupan dunia, lebih dari itu adalah untuk kehidupan sesudah kematian. Semoga.

Karya ke-492 Iman Supriyono yang ditulis kantor pusat SNF Consulting di jantung kota pahlawan pada tanggal 18 November 2025.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Kutukan Generasi Ketiga


Caruban, tahun 80-an. Atik Suryangsih, Lus Hadi, Ipung, Tatik, Mamik, Jon Jiyono. Itu adalah beberapa  insan radio ternama dekade 80-an di wilayah yang kini menjadi ibu kota kabupatan Madiun. Nama-nama yang yang masih kokoh berada di memori saya sampai saat ini.  Nama pertama adalah penyiar RRI Madiun. Empat nama di belakangnya adalah penyiar radio Moderato Madiun. Nama terakhir adalah operator radio Moderato Madiun. Ketika itu saya adalah seorang remaja pendengar setia radio.

Bukan hanya radio lokal. Tapi juga radio luar negeri. BBC, Radio Australia dan Voice of America adalah menu sehari hari. Gelombang short wave yang timbul tenggelam adalah kenikmatan yang tiada tara. Tujuan utamanya dalah mengasah kemampuan bahasa Inggris. Ya, masa SMP dan SMA adalah masa di mana saya sangat bersemangat belajar bahasa Inggris dengan radio sebagai satu-satunya media yang tersedia. Di siaran radio luar negeri ini ada nama Ebet Kadarisman si penyiar kenamaan yang namanya sampai saat in jugai masih melekat di memori.

Kecintaan pada dunia radio bahkan sudah muncul saat kanak-kanak. Ada nama Pak Har dan pak Imam RRI madiun yang sangat berbekas. Pak Har adalah pengasuh acara dongeng kanak-kanak yang disiarkan tiap jumat jam 5 sore. Bisa dipastikan setiap jumat sebelum jam 5 saya sudah nguping di radio Philips berbatrei 4 di rumah saya.

Pak Har juga ditunggu-tunggu setiap ramadhan. Pak Har tiap hari mengisi acara pengantar makan sahur. Sampai sekarang saya masih menyimpan insrumentalia lagu selayang pandang yang menjadi musik pembuka dan penutup acara itu. Pak Har mengisi acara tanya jawab agama islam itu sampai udzur dan kemudian diganti oleh Pak Imam. Bagi Iman Supriyono kecil, Pak Har dan kemudian Pak Imam adalah sumber ilmu agama luar biasa ketika itu.

&&&

Rokoke reco pentung weton pabrik tulung agung tuku rokok ojo bingung miliho cap reco pendung. Sopo yo sing durung. Ngrokok reco pentung yen durung menyango warung tuku rokok reco pentung. Ini adalah lirik sebuah iklan berupa tembang gamelan dengan irama lagu Sluku sluku batok.  Sebuah lagu anak-anak yang sangat populer ketika itu. Iklan itu sangat sering di putar di radio. Sebagai penggemar radio, saya hafal teks iklan itu sampai saat ini.

Itulah dekade 80-an. Kegemaran saya mendengarkan radio sebagai sarana belajar dan hiburan tidak bisa dipisahkan dari keberadaan iklan. Iklan itulah yang membiayai siaran radio swasta yang saya dengarkan ketika itu.

Siapa pengiklan itu? Tidak lain adalah perusahaan rokok cap Redjo Pentung dari Tulungagung. Sebuah pabrik rokok nyang memang mengalami masa jaya pada dekade itu. Pada puncaknya, bisnis keluarga Soemiran Karsodiwirjo ini mempekerjakan sekitar 4500 orang.

Kejayaan Redjo Pentung saya saksikan dari dekat di bangku kuliah. Salah satu teman seangkatan di jurusan Teknik Mesin ITS adalah keluarga Redjo Pentung. Saat itu saya tinggal di rumah kos di kawasan Gebang, sebelah barat kampus ITS. Kamar kos saya berukuran sekitar 2,5 x 3 meter dengan ranjang tingkat. Satu kamar berisi dua mahasiswa.

Persis di sebelah barat kampung Gebang, ada komplek perumahan Kertajaya Indah. Komplek perumahan besutan PT Sinar Galaxy ini adalah hunian termewah di Surabaya ketika itu. Nah, kawan saya yang keluarga Redjo Pentung tinggal di kawasan ini. Saat saya berkunjung ke kawan ini, yang saya rasakan adalah perbedaan langit dan sumur. Rumah super mewah dengan perabotan kelas atas versus kamar indekos sempit dengan perabotan seadanya. itulah Redjo Pentung jaman itu.

Sepeninggal Soemiran tahun 1997, pengelolaan bisnis dilanjutkan oleh Ismanu Soemiran, putra sulungnya. Bisnis rokok ini berada dalam kendali lelaki kelahiran tahun 1949 ini sampai pailit pada awal tahun 2000-an.

&&&

Mengapa pailit? Tentu saja ada banyak penyebab. Dalam kaca mata siklus hidup perusahaan, ada kesalahan fatal yang dilakukan oleh manajemen Redjo Pentung. Sebagai sebuah perusahaan rokok, begitu memiliki satu merek produk yang tekenal, mestinya harus segera meluncurkan merek baru yang dibiayai dari laba merek pertama. Begitu merek kedua sukses, dilanjut dengan peluncuran merek ketiga dan seterusnya. Atau bisa juga uang laba digunakan untuk mengakuisisi merek rokok lain yang sudah terkenal.

Contoh ideal untuk bisnis rokok adalah PT HM Sampoerna yang memiliki Djid Sam Soe, Sampoerna Ijo, dan A Mild. Bahkan kini di era rokok elektrik anak perusahaan Philips Moris ini juga hadir dengan Veev. Bagi Philips Morris, Akuisisi HM Sampoerna senilai Rp 18 Triliun pada tahun 2005 adalah dalam rangka menambahkan 3 merek rokok terkenal tadi dengan sekali gebrak. Inilah bagian dari proses korporatisasi. Ini yang tidak dilakukan oleh Redjo Pentung pada masa jayanya.

Rokok Redjo Pentung

Nah, kesalahan ini menjadikan Redjo Pentung hanya bertahan sampai generasi kedua. Berbeda dengan Philips Morris yang telah hadir di Industri rokok sejak tahun 1847. Jika jarak antar generasi adalah sekitar 25-30 tahun, maka Philips Morris masih eksis hingga generasi ke-7. Kini merek-merek rokok perusahaan bernilai lebih dari Rp 4 ribu triliun ini hadir di lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia.

Pembaca yang baik, jika Anda pelaku bisnis, pastikan perusahaan Anda melakukan proses korporatisasi. Pelajari dengan baik 8 tahap siklus hidup perusahaan. Lakukan dengan segenap sumber daya. Seperti Philips Morris. Agar perusahaan tetap unggul dari generasi ke generasi. Agar perusahaan terhindar dari kutukan generasi ketiga. Generasi pertama mendirikan, generasi kedua menikmati, generasi ketiga menghancurkan.

Karya ke-491 Iman Supriyono yang ditulis untuk dan diterbitkan oleh Majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi November 2025

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Awam: Kaki Lima Lalu Rahmatan Lil Alamin.


Jombang-Nganjuk, 1940-an. Debut bisnis pertama Ahmad Wasil Maksum adalah sebagai pedagang keliling di kawasan sekitar Ngimbang, Mojosari, dan Kertosono. Yang dijual adalah lampu semprong. Lampu dengan bahan bakar minyak tanah itu adalah kebutuhan pokok setiap rumah tangga pada jamannya. Lampu yang nyala apinya dilindungi tabung kaca gendut di bagian bawah itu adalah andalan keluarga saat jaringan kabel listrik belum menyebar seperti sekarang.

Modal kecil risiko kecil. Itulah rintisan bisnis Wasil. Modal kecil karena tidak dibutuhkan investasi berupa gedung atau tempat usaha. Investasi yang mestinya menyedot dana jauh lebih besar di banding modal untuk pengadaan stok barang. Apalagi jika gedung atau bangunannya dibeli. Akan butuh modal berlipat.

Risiko kecil karena tidak ada waktu daluwarsa untuk barang dagangannya. Tidak juga basi. Satu-satunya kemungkinan adalah pecah atau rusak. Tabung kaca pelindung nyala api memang tipis dan mudah pecah. Tangki minyak tanah pun terbuat dari kaca yang juga masih rawan pecah. Walaupun tidak serawan pelindung nyala api karena terbuat dari bahan kaca yang jauh lebih tebal.

Masih ada risiko rusak pada alat pengatur besar kecil nyala api. Pegangan pemutar berupa plat berbentuk bulat bisa terlepas. Tangkai logam penghubung pegangan pemutar dengan roda gigi penggerak sumbu bisa lepas. Sumbu yang berfungsi untuk menyerap minyak tanah untuk dibakar dan menghasilkan nyala terang bisa sobek. Tapi itu semua bisa diperbaiki. Bahkan ketika itu ada tukang yang bekerja melayani jasa perbaikan lampu minyak tanah.

Singkat cerita, bisnis Wasil pun menghasilkan laba. Tapi sebagaimana dalam delapan siklus  hidup perusahaan, laba yang merupakan tahap keempat merupakan persimpangan jalan. Banyak pengusaha yang menjadikan bisnisnya sebagai sapi perah. Semua laba digunakan untuk kebutuhan di luar bisnis. Tidak banyak yang meneruskan tahap laba ini menuju tahap-tahap berikutnya.

Dalam persimpangan ini Wasil tidak salah jalan. Laba digunakan untuk pertumbuhan bisnis. Laba digunakan untuk menambah barang dagangan. Perkakas rumah tangga yang lain pun menjadi stok dagangannya. Piring, cendok, gelas, panci, baskom, wajan dan sebagainya.

Sebagaimana yang selalu diceritakan ke anak-anaknya, Wasil berprinsip “Kalau hari ini saya biasa makan Rp 10 ribu,  besok untung 40 ribu saya  tetap makan 10 ribu. Jika untung 100 ribu saya tetap makan 10 ribu. Jika untung  Rp 1 juta saya tetap makan 10 ribu. Jika untung 5 juta, baru saya makan 20 ribu sampai 30 ribu”. Laba digunakan untuk menambah barang dagangan.

Karena dagangan yang makin banyak maka tidak bisa lagi dijajakan secara berkeliling. Wasil pun menggelar dagangan  di pasar Ngimbang, Jombang. Dengan demikian status bisnis Wasil meningkat dari pedagang keliling menjadi pedagang yang menetap.

Strategi pedagang yang menetap di suatu lokasi berbeda dengan pedagang keliling. Maka, pada saat itu Wasil pun terus berpikir dan berstrategi agar dagangannya laris. Dalam istilah saat ini, Wasil harus memikirkan bagaimana meningkatkan foot trafc yaitu jumlah orang datang ke tokonya. Ia juga harus memikirkan strategi bagaimana mengonversi dari foot trafic untuk benar-benar bertransaksi. Bagi yang sudah bertransaksi Wasil harus memasang strategi untuk melakukan upsellling yaitu meningkatkan nilai transaksi tiap pembeli.

Pada fase ini pun Wasil bisa melaluinya dengan baik.  Laba terus dikumpulkan untuk menambah modal. Sampai suatu saat Wasil bisa membuka toko di depan pasar Babat. Di tempat baru tentulah Wasil harus memutar otak untuk strategi terbaik.

Pengalaman panjang sebagai pedagang perkakas rumah tangga dan perkakas dapur tentu saja menjadikan Wasil punya hubungan yang baik dengan para pemasok. Mereka adalah para pedang grosir di Surabaya. Intinya adalah bagaimana mendapatkan barang dagangan dengan kualitas baik dengan harga yang bersaing. Inilah yang dijadikan senjata kunci  Wasil dalam strategi bisnisnya.

Di samping menjual barang kepada konsumen akhir di tokonya, Wasil juga menjual barang dagangannya kepada para pedagang lain di pasar Babat. Harganya sama dengan harga kulakan di Surabaya. Akibatnya, satu demi satu para pedagang perkakas rumah tangga di pasar Babat berpindah kulakan ke Wasil. Tidak perlu jauh-jauh ke Surabaya.  

Ahmad Wasil Maksum bersama istri

Maka, omzet Wasil pun meningkat drastis. Dengan demikian, Wasil pun bisa membeli barang dagangan di para pedagang grosir di Surabaya dengan harga yang lebih rendah lagi. Wasil pun bisa menurunkan harga lagi. Maka, para pedagang dari Babat, Bojonegoro, Tuban Jombang dan sekitarnya pun banyak berkulakan di toko Wasil. Omzet pun terus tumbuh. Bisnis pun terus tumbuh.

Kini tokoh Muhammadiyah kecamatan Babat, Lamongan, ini telah tiada. Tapi generasi keduanya terus mewarisi semangat dan integritas Wasil. Laba terus digunakan untuk pertumbuhan bisnis. Keluarga tetap hidup bersahaja. Tetap menjaga kepercayaan pelanggan. Juga kepercayaan pemasok. Awam yang merupakan singkatan dari Ahmad Wasil Maksum kini menjadi merek ritel ternama dengan puluhan gerai di kawasan Babat dan sekitarnya.

Bisnis yang memperoleh laba adalah tahap keempat dalam siklus hidup korporasi. Semoga generasi penerus Wasil bisa mengembangkan Awam menjadi korporasi sejati. Ciri pokoknya adalah perusahaan yang menjadi rahmatan lil alamin. Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Dan Kami tidak menyuruhmu kecuali menjadi rahmat bagi seru sekalian alam. Demikian ayat ke 107 dari Surat Al Anbiya.

Semoga kelak Awam akan menjadi perusahaan rahmatan lil alamin. Menjadi sarana menebar rahmat bagi seluruh dunia. Bukan hanya untuk Indonesia. Bukan hanya untuk Babat.  Masih butuh melalui tahap kelima, keenam, ketujuh sebelum akhirnya berada pada tahap kedelapan yaitu sebagai korporasi sejati. Sukses selalu untuk Awam.

Karya ke-490 Iman Supriyono yang ditulis untuk dan diterbitkan oleh Majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi Oktober 2025

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

RS Siloam – RS Muhammadiyah: Tingginya Derajat Ilmu


Allah meninggikan derajat orang beriman dan orang yang berilmu. Ayat ke 11 dari Surat Al Mujadilah ini pas sekali untuk menjelaskan fenomena RS Siloam yang baru berdiri tahun 1996 bisa  beromzet Rp 12,2 triliun. Labanya Rp 950 miliar. Jauh meninggalkan RS Muhammadiyah yang sudah berdiri sejak tahun 1923. Usia 29 tahun mengalahkan usia seabad lebih.

Bahkan tidak sedikit saya jumpai dokter spesialis dari kalangan warga atau simpatisan Muhammadiyah menjadi dokter di RS Siloam. Logo Siloam yang Anda juga tahu pun dengan senang hati dikenakan pada jas atau baju seragam kerjanya. Inilah fenomena ilmu. Fenomena ditinggikannya derajat mereka yang berilmu.

Logo Siloam di jas kerja dokter

Ilmu apa? Tidak lain adalah ilmu tentang menguangkan intangiblle asset. Perhatikan laporan keruangan teraudit terbaru Siloam. Perusahaan dengan 40 lebih unit rumah sakit itu beraset Rp 14,2 triliun.

Dari mana sumbernya? Paling tidak ada lima sumber. Sumber pertama tentu berasal dari setoran para pendiri. Sumber pertama ini berkontribusi tidak lebih dari Rp 162 miliar. Sumber Kedua adalah yang berasal dari puasanya para pendiri dan pemegang saham yaitu laba ditahan hanya Rp 2,8 triliun. Sumber ketiga adalah  dari utang jangka panjang (bank dll.) hanya Rp 358 miliar. Sumber keempat dana dari utang dagang (dari pemasok dll) jauh lebih besar yaitu Rp 5 triliun.

Dari mana sumber aset terbesar? Tidak lain dari sumber kelima yaitu agio saham Rp 5,7 triliun.  Angka ini berasal dari menguangkan intangible asset melalui penerbitan saham baru. Karena ini angka historis, maka proses menguangkan intangible aset itu sudah dilakukan pada mala lalu melalui private palcement, IPO maupun rights issue. Ketiganya adalah cara perusahaan “mencetak” uang yaitu menerbitkan saham lalu saham tersebut dijual kepada para investor. Prosesnya dilakukan di depan notaris.

Andai  hari ini Siloam menerbitkan saham baru, saham yang secara akta notaris berharga Rp 12,5 Rupiah per lembar itu akan diborong investor dengan harga Rp 2 180. Artinya, Rp 12,5 adalah saham, Rp 2 167,5 adalah agio saham.

Saat ini Siloam telah menerbitkan 13 miliar lembar. Jika menerbitkan 1 miliar lembar lagi, perusahaan akan mendapatkan dana Rp 2,18 triliun. Yang menjadi saham adalah Rp 12,5 miliar, selebihnya, Rp 2,17 triliun akan menjadi agio saham. Menjadikan total agio saham menjadi hampir Rp 8 triliun.

Agio saham itu fungsinya sama dengan laba ditahan. Untuk membangun atau akuisisi rumah sakit baru.  Dengan demikian, Siloam bisa punya paling tidak 10 unit rumah sakit baru. Maka Siloam akan memiliki lebih dari 50 rumah sakit. Para dokter spesialis akan makin senang bergabung. Masyarakat akan makin percaya Siloam. Mereknya akan makin kuat. Intangible assetnya lebih tinggi. Harga saham naik lagi. Siloam mendominasi layanan kesehatan tanah air. Bahkan mengalahkan rumah sakit pemerintah.

Derajat Siloam menjadi sangat tinggi di mata masyarakat. baik masyarakat awam maupun masyarakat medis. Persis seperti isi surat Almujadilah ayat 11. Tinggi derajatnya karena memiliki ilmu agio saham yang diamalkan secara terus menerus. Anda para pembaca pelaku bisnis rumah sakit mesti belajar dan mengamalkan ilmu agio saham jika ingin derajat tinggi seperti Siloam. Agio saham adalah bagian dari ilmu korporatisasi.

Karya ke-489 Iman Supriyono ditulis di SNF Consulting house of management, Surabaya, pada tanggal 2 September 2025

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga:
Saham Halal atau Haram?

Dari Pikulan Ke Juragan


Mbah Anu, sebut saja begitu. Sebagaimana umumnya para pemuda di kampungnya, selulus SD mbah Anu muda langsung lungo. Sebuah istilah di kampung mbah Anu yang artinya adalah pergi ke luar kota  meninggalkan kampung halaman dengan menjual jajanan tradisional produksi kampungnya. Secara harfiah lungo berarti pergi.

Ada beberapa kota favorit menjadi tujuan lungo. Yang dipilih mbah Anu adalah Semarang. Sebuah kota yang bisa dijangkau dengan bus dengan sekitar 5 jam perjalanan. Tentu saja tanpa tol karena ketika itu belum ada tol.

Barang dagangan mbah Anu dibeli dari para juragan. Sebuah istilah khas kampung mbah Anu untuk menyebut orang-orang yang berprofesi sebagai pengusaha home industry produsen jajanan tradisional khas kampung itu.

Dari juragan, barang dagangan itu dimasukan pada dua kotak kayu. Keduanya kemudian diangkat dengan pikulan.  Kedua kotak digantung pada ujung pikulan. Pikulan adalah  batang bambu sepanjang sekitar 1,5 m yang sudah dibentuk sedemikian rupa.

Dengan memikul barang dagangan, mbah Anu dan kawan-kawan seprofesi berjalan kaki menuju jalan raya yang dilalui bus antar kota. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk mencapai lokasi pemberhentian bus. Tentu saja keringat akan menemani perjalanan  memikul kotak sampai naik bus.

Sesampai di Semarang, mbah Anu dan kawan-kawan akan menuju pondok mboro. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah rumah sederhana yang bisa menampung orang-orang seperti mbah Anu  untuk menginap. Mbah Anu dan kawan-kawan mesti membayar pondok mboro secara tunai tiap  hari dengan rupiah tertentu.

Jangan bayangkan pondok mboro seperti hotel dengan kamar-kamar. Tidak, pondok mboro adalah ruangan besar yang bisa digunakan tidur bersama-sama mbah Anu dan kawan-kawan dengan menggelar tikar sekedarnya.

Rutinitas mbah anu setiap pagi adalah keluar dari pndok mboro memikul kotak. Tujuannya adalah sekolah-sekolah di sekitar. Di sekolah-sekolah itulah mbah Anu dan kawan-kawan menjajakan panganan tradisionalnya untuk anak-anak sekolah.

Selepas jam sekolah para pedagang masih melanjutkan berjualan di tempat-tempat keramaian. Tempat anak-anak berkumpul. Demikian hari-hari mbah Anu dan kawan-kawan seprofesinya sampai sore dan kemudian kembali ke pondok mboro untuk beristirahat.

Jika dagangan di kotak sudah habis, mbah Anu dan kawan-kawan akan pulang kembali ke kampung halamannya untuk bertemu keluarga beberapa hari.  Selanjut akan kembali kulakan ke juragan dan lungo lagi.

&&&

Aktivitasnya sama. Tapi cara mengelola uangnya berbeda. Itulah gambaran mbah Anu dengan kawan-kawan seprofesinya. Untuk makan sehari-hari misalnya, kawan-kawan mbah anu biasa mengambil lauk pauk ayam atau daging. Minumnya es teh atau es campur. Mbah Anu berbeda. Mbah anu suka makan dengan lauk pauk tahu tempe. Minum air putih. Berhemat.

Nah, karena berhemat, setiap dagangan habis dan pulang ke kampung halamannya, mbah anu bisa membeli seekor kambing. Tentu saja sebagian akan dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Uang kawan-kawan mbah anu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Sekali lungo biasanya butuh waktu sekitar sebulan. Dengan demikian, tiap bulan kambing mbah Anu pun bertambah. lama-lama kambingnya banyak. Bertambah karena membeli. Juga bertambah karena kambing-kambing itu pada beranak.  Lama-lama beberapa ekor kambing dijual untuk dibelikan sapi. Sapi pun beranak pinak.

Selanjutnya, beberapa sapi dijual. Uangnya digunakan untuk membeli alat-alat produksi. Mbah Anu pun memproduksi sendiri dagangannya. Statusnya pun berubah menjadi juragan. Memproduksi barang dagangan bukan hanya untuk dijual sendiri. Tapi juga dijual oleh para pedagang kawan-kawan mbah Anu. Bahkan mbah  Anu juga menjual  dagangannya dengan kemasan bermerek.

Kini, setelah sekitar 40 tahun menekuni bisnis, mbah anu adalah orang terkaya di kampung halamannya. Sawahnya luas. Mobilnya bagus-bagus. Anak-anaknya dikuliahkan di fakultas kedokteran. Ada yang sudah menjadi dokter spesialis laris di daerahnya. Para menantu pun dokter. Bahkan dokter spesialis juga. Anak terakhirnya masih kuliah di fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi swasta ternama di Surabaya. Uang pangkalnya hampir setengah milyar.

&&&

Pembaca yang baik, yang dilakukan mbah Anu tidak berbeda dengan kawan-kawan seprofesinya. Yang berbeda adalah manajemen keuangannya. Kawan-kawan mbah Anu memperlakukan bisnis sebagai sapi perah. Semua laba habis untuk keperluan non bisnis. Mbah Anu tidak. Mbah Anu hanya menggunakan sebagian laba untuk keperluan hidup sehari-hari. Sebagian lainnya untuk pengembangan bisnis. Bisnis berkembang dan mbah Anu pun menjadi orang terkaya di kampungnya.

Bisnis mbah Anu kini berada pada tahap ke 4 dari 8 proses korporatisasi. Jika dilanjutkan dengan 4 langkah berikutnya, bisnis mbah Anu bisa berkembang menjadi perusahaan fast moving consumer good seperti Nestle yang kini bernilai CHF 186 miliar alias IDR 3700 triliun lebih. Atau seperti Danone yang kini bernilai EUR 49 miliar atau IDR 900 triliun lebih. Menjadi korporasi sejati rahmatan lil alamin. Semoga.

Karya ke-488 Iman Supriyono yang ditulis untuk dan diterbitkan oleh Majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi September 2025

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

HUT RI Ke-80: Raja Utang Bisa Merdeka?


Sepanjang 2024 nilai seluruh IPO di BEI adalah Rp 14,35 triliun. Nilai seluruh rights issue sepanjang tahun tersebut adalah Rp 34,42 triliun. Total keduanya adalah 48,77 triliun. Bagi sebuah perusahaan, IPO maupun rights issue artinya meningkatkan ekuitas. Meningkatkan modal sendiri.

Bandingkan dengan peningkatan utang. Total emisi obligasi dan sukuk korporasi sepanjang 2023 nilainya adalah Rp 139  triliun.

Belum lagi penyaluran kredit perbankan.  Statistik perbankan Indonesia OJK  menyebut bahwa per 31 Desember 2024 posisi kredit seluruh bank di Indonesia adalah Rp  12 264 triliun. Akhir tahun sebelumnya Rp 11 621 triliun.  Dengan demikian sepanjang tahun 2024 perbankan telah  menggelontorkan dana utang Rp 643 triliun kepada pelaku ekonomi.

Jumlah antara emisi obligasi dan peningkatan posisi kredit perbankan adalah Rp 782 triliun. Nilainya 16 kali penambahan ekuitas melalui IPO dan rights issue.

&&&

IPO dan rights issue adalah transaksi antara investor dengan investee. Para pemegang saham adalah investor. Perusahaan-perusahaan yang menerima dana adalah investee.

Kredit bank dan obligasi/sukuk adalah transaksi antara kreditur dengan debitur. Kreditur adalah pihak pemberi utang. Debitur adalah pihak penerima utang. Dalam bahasa yang lebih lugas, transaksi kreditur debitur bisa disebut rentenir-raja utang. Rentenir adalah pihak yang memberi utang. Raja utang adalah pihak yang menerima utang.

Kita sering mendengar protes karena utang pemerintah yang ugal-ugalan. Dalam laporan keuangan pemerintah pusat teraudit terakhir, tahun 2023 (Laporan teraudit 2024 belum terbit), posisi utang jangka panjang dalam negeri pemerintah pusat adalah Rp 6 959 triliun. Pemerintah sering dicela sebagai raja utang. Tapi kita harus tahu, raja utang tidak akan pernah ada kecuali ada krediturnya. Utang pemerintah hampir 7 ribu triliun itu diperoleh dari masyarakat Indonesia yang menjadi kreditur melalui ORI dan sejenisnya. Ingat, nama lugas dari kreditur adalah rentenir.

Narahubung: http://www.bit.ly/snfconsulting

Jadi hubungan rentenir-raja utang jauh lebih subur makmur dari pada hubungan investor investee. orang lebih suka menyimpan uang di bank dari pada berinvestasi. Kampus-kampus mengumpulkan dana abadi tapi ujung-ujungnya juga diutangkan alih-alihi diinvestasikan. Bahkan nazir wakaf pun memilih lebih memilih mengutangkan aset wakaf melalui sukuk, CWLS dan sejenisnya. Raja utang ketemu rentenir. Itulah negeri sampean. Negeri saya juga hehehehe.

&&&

Apa akibat suburnya praktik rentenir raja utang? Saya tidak perlu menjelaskan. Anda sudah merasakannya sendiri. Bangsa yang kuat adalah bangsa investor. Bukan bangsa raja utang. Di hadapan rentenir, raja utang akan seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Raja utang bisa merdeka?

Narahubung: http://www.bit.ly/snfconsulting

Hari ini kita merayakan 80 tahun kemerdekaan. Apa artinya merdeka tapi seperti kerbau yang dicocok hidungnya di hadapan rentenir? Saatnya berubah. Saatnya  menyuburkan hubungan investor ketemu investee. Bukan raja utang ketemu rentenir. Anda orang pribadi, kampus-kampus pengelola dana abadi, nazir wakaf dan siapapun mari berubah dari kreditur menjadi investor. Kita perbaiki negeri ini. Semoga peringatan 81 tahun kemerdekaan taun depan segalanya sudah menjadi lebih baik. Merdeka!

Karya ke-487 Iman Supriyono yang ditulis selepas menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam rangka detik-detik proklamasi di kereta api Mutiara Timur pada tanggal 17 Agustus 2025

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga
Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?
Nglempoh: Menyelesaikan Utang Segunung
Garuda: Utang Melebihi Aset

Nglempoh: Menyelesaikan Utang Segunung


Sudah belasan tahun sukses di dunia bisnis. Sudah belasan kali ganti mobil baru.  Uang melimpah. Orang mengenalnya sebagai pebisnis sukses.

Tapi saat usianya hampir menyentuh angka 40 segalanya berubah. Penyebabnya adalah kebaikan hatinya. Fulan, sebut saja begitu, memang baik hati dan suka menolong kawan-kawannya. Salah satu yang ditolongnya adalah seorang pelaku bisnis pembibitan alias hatchery bandeng. Dipinjami uang secara bertahap sedikit demi sedikit sampai angkanya mencapai ratusan juta.

Ratusan juta uang sekarang mungkin kecil. Tapi ini ratusan juta tahun 90-an. Jadi ini adalah tentang uang besar. Sampai suatu titik si pebisnis pembibitan menyerah. Menghentikan bisnis. Dan demi tanggung jawabnya, sisa aset bisnis pembibitan bandeng pun diserahkan kepada si Fulan dalam rangka pelunasan hutang.

Dengan tabungan yang masih ratusan juta, si Fulan melanjutkan bisnis pembibitan bandeng tersebut. Uang tabungan dialirkan ke bisnis yang bagi Fulan hal baru itu. Sedikit demi sedikit selama beberapa tahun. Sampailah si Fulan kehabisan uang tabungan.

Kepalang basah, akhirnya si Fulan pun mencari utang kesana kemari. Semangatnya adalah agar bisnis pembibitan bandengnya berjalan dan kelak akan menghasilkan uang.

Tapi ternyata  tidak mudah. Bisnis pembibitan terus merugi. Utang menumpuk. Pada titik itu, si Fulan memutuskan menghentikan bisnis pembibitan bandeng dengan meninggalkan utang ratusan juta.

Saya mengenal Fulan pada saat kejatuhannya ini. Saat itu dia tinggal di kamar kos sederhana di sebuah kampung pinggiran kota Surabaya. Benar-benar pinggiran karena di seberang jalan dari kamar kos  nya sejauh mata memandang hanya ada hamparan rawa-rawa

Beberapa tahun Fulan menjalani saat-saat berat dalam kehidupannya. Bisnis pendidikan yang dirintisnya dan sukses memberinya banyak uang merana.  Waktu dan energinya habis untuk mengurusi bisnis pembibitan bandeng.

Pada umur yang hampir menyentuh angka 40 itu pun dia belum menikah. Keterpurukan bisnis menjadikannya tidak berani menikah. Bukan semata keterpurukan finansial, tapi sudah tembus pada keterpurukan semangat. Mentalnya berada pada titik nadzir.

Dalam kondisi seperti itu, dia mendatangi sorang pamannya. Berkeluh kesah dan minta nasehat. Dari sang paman inilah kemudian si Fulan mendapatkan sebuah petuah sakti: nglempoh. Sebuah kata dalam bahasa jawa yang artinya adalah memosisikan diri sebagai orang yang lumpuh. Orang yang tidak bisa berjalan. Kakinya tidak kuat menahan beban badan sehingga untuk bergerak hanya bisa merengek dalam posisi duduk.

Bahasa lainnya: kembali ke titik nol.  Menanggalkan segala atribut yang selama ini pernah dia sandang: pengusaha sukses, mobil bagus, karyawan banyak, uang melimpah. Semua harus dibuang dari dalam diri.

Dalam keterpurukan, Fulan memang seperti tidak berani menghadapi kenyataan. Sehari-hari hanya bersembunyi di kamar kos. Menghindar dari kawan-kawan. Menghindar dari orang lain. Tidak ada mobil. Tidak ada motor. Bahkan juga tidak ada sepeda angin sekalipun.

Nah, semenjak menjalani konsep nglempoh, Fulan menggunakan sisa uangnya untuk membeli sepeda motor. Bukan sepeda motor baru, tapi motor butut  yang usianya sudah lebih dari 10 tahun. Dengan motor inilah dia kemudian kembali lagi aktif mengurusi bisnis.

Berani naik motor butut adalah perubahan luar biasa. Sebelumnya dia malu melakukannya. Gengsi. Tapi demi menjalankan konsep nglempoh semua gengsi dibuang. Menganggap diri bukan siapa-siapa. Maka, naik motor butut pun kembali menjadi biasa.

Dari situ segala proses recovery berlangsung. Ketemu orang sana-sini untuk kembali mengurusi dan memasarkan bisnis lamanya. Sedikit demi sedikit kondisi bergerak. Omzet perlahan tapi pasti terus naik. Singkat kata, usaha lamanya kembali berjalan dengan baik. Perlahan lahan ia bayar utang yang menumpuk. Uang tabungan pun kembali di tangan. Lalu bisa membeli rumah. Lalu kembali bisa beli mobil bagus. Lalu bisa berinvestasi sana sini. Dan……di Fulan pun akhirnya berani menikah. Fulan telah kembali menjadi pebisnis sukses. Telah kembali menjadi manusia sukses.

&&&

Pembaca yang baik, belakangan ini banyak yang mengeluh dunia bisnis lagi lesu. Banyak pabrik berhenti produksi. PHK dimana-mana. Jika Anda termasuk pelaku bisnis yang sedang mengalami kondisi tersebut, tempuhlah jalur nglempoh. Menghadapi keterpurukan yang amat sangat, nglempoh adalah obat mujarab. Kembali ke titik nol. Kembali seperti saat tidak punya apa-apa. Tanggalkan semua gengsi. Lalu sedikit demi sedikit menapaki kembali jalan sukses seperti yang dulu pernah Anda lalui.

Karya ke-486 Iman Supriyono yang ditulis untuk dan dimuat oleh Majalah Matan edisi September 2025, terbit di Surabaya.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga
RPD: Kegagalan Yang Baik