Ada 4 level pertumbuhan bisnis sebuah perusahaan. Tumbuh dalam laba, omzet, aset dan nilai pasar. Saya akan menjelaskan dengan contoh. Sebuah perusahaan bergerak di bisnis resto dengan ratusan gerai. Sebut saja PT ABC atau singkatnya ABC. ABC dalam setahun menghasilkan laba Rp 100 M.
Sapi perah adalah julukan untuk sebuah perusahaan yang berada pada level pertumbuhan paling bawah. ABC pada contoh di atas disebut sapi perah jika seluruh laba diambil sebagai dividen oleh pemegang saham. Angkanya bisa dibaca dari laporan arus kaas perusahaan. Seluruh laba yaitu Rp 100 M sebagaimana contoh di atas dibagi sebagai dividen. Sama sekali tidak ada yang dialokasikan untuk investasi. Inilah level terburuk dalam pertumbuhan perusahaan. Level sapi perah. Inilah level pertama pertumbuhan perusahaan.

Level pertama ini juga bisa terjadi tanpa pengambilan dividen. Caranya adalah dengan menggunakan seluruh laba untuk berbisnis lain. Kembali ke ABC di atas. Laba tidak untuk menumbuhkan bisnis resto dengan membuka gerai baru. Tetapi untuk membuka bisnis rental mobil, kebun buah, laundry, atau apapun selain resto. Hasilnya adalah perusahaan konglomerasi. Sebuah perusahaan yang “banci”.
Level kedua lebih baik dari level pertama. ABC pada contoh di atas akan menjadi perusahaan level kedua jika dari laba Rp 100M selurunya digunakan untuk berinvestasi. Untuk membangun gerai resto baru. Sama sekali tidak diambil sebagai dividen. Pemegang saham melakukan puasa. Puasa senin kamis jumat sabtu minggu selasa rabu. Hehehe.
Mengencangkan ikat pinggang. Itulah nama yang tepat untuk perusahaan yang berada di level kedua ini. seluruh laba dikonsentrasikan untuk pertumbuhan. Pemegang sahamnya hidup sederhana. Para pengusaha Tionghoa generasi awal terkenal dengan karakter ini. Mereka dikenal dengan kesuksesannya membangun bisnis.
Berikutnya dalah level ketiga. ABC akan disebut berada pada level pertumbuhan ketiga jika dari laba Rp 100 M tetap dibiarkan sebagai laba ditahan. Tidak ada yang diambil sebagai dividen. Tetapi tidak cukup hanya dengan laba ditahan. Adanya tambahan aset dari laba tersebut juga memberi peluang ABC untuk mendapatkan tambahan utang. Jika Rp 100 M menjadi agunan maka bank akan memberi pinjaman sekitar Rp 70M. Maka, total dana investasi untuk ekspansi adalah Rp 170 M. Atau 1,7 x laba.
Jika setiap perolehan laba diperlakukan seperti itu, maka perusahaan seperti ini akan memiliki rasio utang terhadap ekuitas (DER) sebesar 0,7. Dalam berbagai industri angka DER seperti ini masih aman. Cukup memberi ruang pertumbuhan. Tetapi masih cukup aman dari risiko gagal bayar.
Level keempat adalah level tertinggi. Dicapai dengan melakukan seperti yang dilakukan sampai level ketiga, plus dengan penerbitan saham baru. Level keempat ini disebut sebagai scale up. Yaitu berekspansi membangun resto baru dengan dana lebih dari 5x laba dengan struktur modal yang aman. Sebesar 1,7 x laba diperoleh dari laba ditahan dan pinjaman. Sisanya yaitu 3,3 x laba diperoleh dari menerbitkan saham baru. Baik secara private placement di luar lantai bursa. Maupun di lantai bursa melalui IPO maupun rights issue setelahnya. Cara inilah yang akan menjadikan perusahaan tumbuh secara eksponensial dalam hal laba, omzet, aset, par value, book value, maupun market valuenya.
Utang kan riba? Tidak selalu. Ada yang tidak riba. Seperti utang dagang, atau penerbitan sukuk, atau utang dengan skema murabahah kepada bank syariah. Memberi tempat kepada bank syariah untuk ikut tumbuh melayani masyarakat. Mengelola idle money jangka pendek milik masyarakat.
Apakah scale up bisa dilakukan tanpa utang? Bisa. Bahkan juga bisa dilakukan dengan tetap membagikan dividen. Perusahaan tetap bisa berekspansi dengan 5x laba bahkan lebih. Kembali pada contoh ABC di atas. Ekstermnya, scale up tetap bisa dilakukan dengan seluruh laba dibagikan sebagai dividen sekaligus tanpa utang. Caranya adalah dengan menerbitkan saham baru dengan nilai 5x laba. Duit dari hasil menguangkan intangible asset. Duit dari hasil proses korporatisasi.
Apakah scale up tidak berisiko tinggi? Scale up akan aman jika perusahaan sudah menemukan Revenue and Profit Driver (RPD). Salah satu tandanya adalah sudah menemukan tingkat kegagalan yang akurat dan bisa ditanggulangi. Scale up ibarat pedal gas dalam sebuah mobil. Tingkat kegagalan ibarat pedal rem dalam sebuah mobil. Jangan coba-coba ngegas jika perusahaan belum menemukan pedal remnya. Scale up dalam kondisi belum menemukan RPD sama dengan memfotokopi keagalaan. Jika dilakukan perusahaan akan menjadi mangsa empuk bagi para perampok budiman.
Bagaimana perusahaan Anda? Sapi perah, mengencangkan ikat pinggang, berani utang, atau scale up?

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Baca juga:
Wakaf Modern Untuk Keabadian Amal dan Kemerdekaan Ekonomi
Artikel ke-338 karya Iman Supriyono ini ditulis di SNF Consulting House of Management pada tanggal 2 Juli 2021
Ping-balik: Perusahaan Dakwah: Korporatisasi | Korporatisasi
Ping-balik: Entrepreneur CEO Komisaris, Amankan Uang Investor! | Korporatisasi
Ping-balik: Investasi ROI 4000 % Lebih | Korporatisasi
Ping-balik: Bank Jago Melangit: Karena Kinerja? | Korporatisasi
Ping-balik: Mitra Keluarga Menyalip Siloam: Modal Murah 2% Per Tahun | Korporatisasi
Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi
Bagaimana dgn menumbuhkan koperasi, apakah harus melakukan simpanan khusus equity kepada anggota yang mampu, karena menerbitkan saham koperasi tidak bisa.
Atau dengan cara koperasi membuat perusahaan (PT) .
itulah kelemahan koerasi. simpanan khusus ekuitas juga tidak mungkin dilakukan oleh koperasi. itulah kenapa raja beras global dari australia SunRice mengubah diri dari koperasi menjadi perseroan terbatas
Ping-balik: Monopolistik: Tumbuh Pesat atau Mati | Korporatisasi
Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi