Intangible asset. Saya yakin kalangan bisnis sering mendengar dan menggunakan istilah itu. Bagaimana membangun intangible asset? Bagaimana mengubah intangible asset menjadi uang tunai? Ikuti penjelasan berikut ini:

Ketika makan pagi dengan roti tawar menjadi budaya, Sari Roti menikmatinya sebagai pasar dan sebagai intangible asset yang bisa diuangkan menjadi modal murah
- Kalau perusahaan Anda membeli mesin, maka akan ada uang yang dikeluarkan. Ada bukti transaksi yang valid dan legal. Dengan mudah bukti transaksi tersebut dibukukan dengan sistem akuntansi. Mesin akan ditampilkan di neraca beserta nilainya. Inilah tangible asset.
- Tetapi, kalau para karyawan perusahaan Anda bekerja keras membenahi sistem manajemen maka hasil kerja mereka tidak bisa dimasukkan ke dalam akuntansi. Memang tidak ada bukti transaksi. Pun tidak ada uang yang keluar untuk pekerjaan itu. Mereka sedang membangun apa yang disebut intangible asset.
- Contoh intangible asset lain: kekuatan merek, hubungan kuat dengan pemasok, hubungan kuat dengan distributor, kekuatan team riset, lokasi yang premium, dan sebagainya.
- Ada dan dirasakan secara nyata dalam perusahaan. Tetapi tidak muncul dalam akuntansi. Itulah sifat intangible asset. Yakin perusahaan Anda terus membangun intangible asset kan?
- Kabar baiknya, ada cara untuk mengubah intangible asset menjadi uang kas. Menjadi tangible asset. Dan uang tersebut bisa dipakai untuk membeli tangible asset baru. Atau untuk membangun intangible asset lebih lanjut.
- Sebagai gambaran, mari kita perhatikan Sari Roti. Laporan keuangan terbarunya menunjukkan bahwa nilai total aset penguasa pasar roti tanah air itu adalah Rp 4,408 triliun. Total utangnya adalah Rp 2,500 triliun. Dengan demikian aset bersihnya (aset dikurangi utang, ekuitas) adalah Rp 1,908 triliun.
- Dengan jumlah lembar saham sebesar 6.186.488.888 lembar maka nilai aset bersih per lembar saham adalah Rp. 308 per lembar saham.
- Harga saham Sari Roti hari ini adalah Rp 1.315 per lembar. Dengan demikian bisa dibaca bahwa nilai dari intangible asset Sari Roti adalah Rp 1.315 dikurangi Rp. 308 alias Rp 1.007 per lembar saham.
- Secara total perusahaan nilai intangible asset adalah sebesar nilai seluruh perusahaan (market cap) Rp 8,14 triliun dikurangi aset bersih 1,908 triliun yaitu Rp 6,23 triliun. Perhatikan bahwa nilai intangible asset lebih besar yaitu 3,3 kali dari tangible asset.
- Bagaimana Sari Roti menguangkan intangible assetnya? Jika saat ini Sari Roti menerbitkan saham baru sebesar 1 miliar lembar maka publik investor akan menyerapnya dengan harga Rp. 1.315 per lembar. Sesuai harga pasar. Sari roti akan mendapatkan Rp 1,315 triliun. Rinciannya, Rp. 308 miliar adalah untuk membayar tangible asset dan sisanya yaitu Rp. 1,007 triliun untuk membayar intangible asset.
- Saham baru 1 miliar lembar itu setara dengan 13,9% dari total saham setelah penerbitan saham baru. Inilah persentase dilusi kepemilikan si pemegang saham lama. Dilusi yang dibonusi Rp. 1,007 triliun dari total Rp. 1,315 triliun.
- Apakah dilusi tersebut tidak merugikan pemegang saham? Tentu saja tidak. Rp 1,007 triliun itu kedudukannya dalam perusahaan adalah seperti laba ditahan. Menjadi hak seluruh pemegang saham. Lama maupun baru. Artinya, pemegang saham lama berhak sebesar 86,1% dari angka itu. Pemegang saham baru 13,9%. Angka ini persis seperti proporsi kepemilikan dari pemegang saham baru.
- Setelah masuk di perusahaan, uang itu akan digunakan untuk modal ekspansi. Meluaskan pasar dan meningkatkan kapasitas produksi yaitu membangun pabrik baru. Otomatis akan meningkatkan laba perusahaan. Peningkatan laba akan dinikmati oleh seluruh pemegang saham dengan komposisi 86.1 % dinikmati pemegang saham lama dan 13,9% dinikmati pemegang saham baru. Dilusi itu nikmat.
- Pertanyaannya, kenapa pemegang saham baru mau membeli saham yang nominalnya (par value, nilai di akta perusahaan) Rp. 20 dengan harga Rp. 1.315 alias 66x dari harga saham yang dibayar oleh pendiri? Tidak lain adalah karena adanya intangible asset tadi. Penghargaan terhadap pengalaman, merek, kekuatan manajemen, kekuatan hubungan dengan pemasok, kekuatan saluran distribusi dan lain-lain yang tidak bisa dicatat secara akuntansi.
- Pertanyaan lebih lanjut, mengapa pemegang baru tetap mau membeli padahal tahu bahwa ROI pada harga tersebut adalah hanya 2,9%? Tidak lain adalah karena investor melihat adanya potensi capital gain yang besar. Sejarahnya, PT. Nipon Indosari Corpindo berdiri tahun 1995. Artinya, harga Rp. 20 per lembar saham tahun 1995 kini, 24 tahun kemudian, naik menjadi 66x. Naik 66 x lipat dalam waktu 24 tahun. Investasi properti pun kalah. Dulu Rp. 20 kini Rp 1.315. Dengan stabilitas pertumbuhan omzet dan laba Sari Roti, pertumbuhan seperti itu dipercaya oleh investor juga akan terjadi pada masa yang akan datang. Ini memungkinkan karena Sari Roti terus menerus menerbitkan saham baru untuk ekspansi seperti selama ini.
Ikuti kelas MENGUANGKAN INTANGIBLE ASSET via Zoom. Daftar: https://wa.me/62813584447267 - Itulah kenapa Sari Roti terus menerus menerbitkan saham baru untuk pengembangan perusahaan. Tahun 2017 menerbitkan 1,125 miliar lembar saham baru (setara dengan 18% total saham setelah penerbitan saham baru) dengan harga Rp. 1.275 sehingga total menerima Rp. 1,434 triliun. Dalam prospektusnya dana tersebut akan digunakan untuk membangun 4-6 pabrik baru.
- Penerbitan saham baru terus menerus adalah proses korporatisasi. Bisa dilakukan baik di lantai bursa maupun di luar lantai bursa. Hasilnya adalah perusahaan fully public company. Perusahaan yang terbebas dari fenomena pseudo CEO. Perusahaan yang mampu menghadapi fenomena crowding effect. Perusahaan yang mampu menghadapi fenomena career choice effect. Perusahaan yang mampu mengakuisisi. Bukan diakuisisi. Silakan baca link-link tersebut untuk bahasan lebih detail.

Demikianlah cara menguangkan intangible asset. Artinya, perusahaan yang tidak pernah menerbitkan saham baru selain saham pendiri berarti perusahaan tersebut tidak pernah menjual intangible assetnya kepada investor. Karena tidak pernah dijual maka juga tidak pernah diketahui berapa nilai intangible assetnya. Rugi kan? Perusahaan Anda bagaimana? Sudah seperti Sari Roti?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga:Intangible asset yang membakar habis tangible asset
*)Artikel ke-220 ini ditulis di Jakarta oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting
Ping-balik: Direktur & Komisaris: Rancunya Peran Stratejik & Administratif | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: N250 & Kemustahilan Habibie | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: SNF Consulting: Peran Sosial & Pembiayaannya | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Erick Thohir Jadi Raja Utang atau BUMN Insyaf? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Perusahaan Keluarga Haruskah Melakukan Korporatisasi? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Waralaba atau Korporatisasi? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Perusahaan Berkemajuan: Toyota | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Jiwasraya-Prudential Si Kakak-Adik Beda Nasib: Masalah Stratejik atau Fraud? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Dilusi Itu Nikmat: Cleo | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Lacoste: Merek yang Bernilai Jauh Lebih Tinggi dari Produknya | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Obituari Gus Sholah: Estafet Perbankan Umat | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Scale Up: Betulan atau Omong Doang? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sendyakala BUMN: Dierencankan atau Pasrah? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sendyakala BUMN: Dierencanakan atau Pasrah? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pajak: Dikejar Petugas atau Beramal? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Ironi Buy Back OJK: Dekorporatisasi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: IPO Trap: Dua Putra Utama Makmur | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Mengapa Koperasi Kita Kerdil? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kurangi Jumlah Entrepreneur | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: WIKA: BUMN Gali Lobang Tutup Lobang | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Bekerja di Perusahaan Kecil, Bisakah Kaya Raya? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Utang Segunung dan Pusingnya Direksi Garuda | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Terpaksa: Agung Podomoro | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: ROE & ROI: Bayi Melawan Raksasa | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Saham Pendiri Non Dilutif, Mungkinkah? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sentul City: Intangible Asset Membakar Tangible Asset | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Samudera Indonesia: Pejuang Dulu Pejuang Kini | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pertamina: IPO Anak Perusahaan? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pizza Hut Terancam Bangkrut? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Corporate Life Cycle | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kesalahan Wakaf Saham: Bagaimana Perbaikannya? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pizza Hut Era Pandemi: Singkirkan Gengsi! | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Investasi Aman ROI 445% | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Corporate Life Cycle – SNF Consulting
Ping-balik: Jiwasraya-Prudential Si Kakak-Adik Beda Nasib: Masalah Stratejik atau Fraud? – SNF Consulting
Ping-balik: WIKA: Gali Lobang Tutup Lobang – SNF Consulting
Ping-balik: Mengapa Koperasi Kita Kerdil? – SNF Consulting
Ping-balik: CLS: Mengapa Gojek & Tokopedia Harus Merger? | Korporatisasi
Ping-balik: CLC: Mengapa Gojek & Tokopedia Harus Merger? | Korporatisasi
Ping-balik: Waskita di Tepi Jurang: Koreksi Diri Atau Mati? | Korporatisasi
Ping-balik: Bagaimana Gadjah Tunggal – Sjamsul Nursalim Mengembalikan Rp 4,58 T? | Korporatisasi
Ping-balik: Tesla: Laba Setelah 16 Tahun Rugi | Korporatisasi
Ping-balik: Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi? | Korporatisasi
Ping-balik: Sapi Perah: 4 Level Pertumbuhan Bisnis | Korporatisasi
Ping-balik: IPO Bukalapak: Prospektif atau Buang Uang? | Korporatisasi
Ping-balik: Entrepreneur CEO Komisaris, Amankan Uang Investor! | Korporatisasi
Ping-balik: Bank Jago Melangit: Karena Kinerja? | Korporatisasi
Ping-balik: Rebranding: Ya atau Tidak? | Korporatisasi
Ping-balik: Rebranding Jangan Sembarangan | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda, Evergrande: Beresi Utang Sebelum Terlambat | Korporatisasi
Ping-balik: Si Tukang Bakso Triliuner | Korporatisasi
Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner - SMN Digest
Ping-balik: PHK Goto dan Investasi Telkomsel | Korporatisasi
Ping-balik: Jamaah Shalahuddin | Korporatisasi