Waskita di Tepi Jurang: Koreksi Diri Atau Mati?


Laporan keuangan Waskita Karya (Persero) Tbk. tahun 2020 menyebut rugi tahun berjalan sebesar  Rp 9,50 triliun. Rugi tersebut adalah buah dari omzet yang tinggal Rp 16,19 triliun. Turun 48% dari pendapatan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 31, 39 triliun. Seberapa gawat kondisi Waskita? Mengapa bisa terjadi? Apa risikonya? Apa solusinya? Bisakah SWF diharapkan menyelamatkan Waskita seperti yang pernah ditulis oleh Dahlan Iskan dalam sebuah artikelnya? Saya akan menjelaskannya dalam bentuk poin-poin. Selamat menyimak.

Waskita: koreksi diri atau mati?
  1. Seberapa parah kondisi Waskita? Ada beberapa poin yang bisa menggambarkannya. Pertama, pendapatan tahun 2020 adalah Rp 16,19 triliun sementara harga pokok pendapatannya adalah Rp 18,17 triliun. Artinya, setiap rupiah pendapatan Waskita membutuhkan harga pokok sebesar Rp 1,12 rupiah. Setiap menghasilkan Rp 1 Waskita menuai rugi Rp 0,12. Jika seperti ini bertahan, maka berapa pun naiknya pendapatan Waskita justru akan menjadikan ruginya semakin besar.
  2. Dari pendapatan tersebut, yang berasal dari jasa konstruksi adalah Rp 14,23 triliun. Dari bisnis core competence Waskita ini perusahaan harus mengeluarkan beban pokok pendapatan sebesar Rp 13,33 triliun. Artinya, bisnis pada bidang core competence ini menghasilkan laba kotor sebesar Rp 0,9 triliun. Penyebab ruginya adalah bisnis non core competence. Bisnis di luar jasa konstruksi yaitu berupa kepemilikan jalan  tol.
  3. Kedua, dari total aset Rp 105,59 triliun, sebesar Rp 89,01 triliun berasal dari utang. Modal sendiri alias ekuitasnya hanya Rp 16,58 triliun. Dengan demikian, utangnya adalah 5,37 kali ekuitas. Angka yang biasa disebut DER ini memang super duper tinggi. Waskita adalah raja utang tingkat dewa. Ini salah satu yang menyebabkan Waskita berada di tepi jurang. Atas utang jumbo tersebut, biaya bunga yang harus ditanggung adalah Rp 4,74 triliun. Super berat apalagi setiap rupiah pendapatannya justru mendatangkan kerugian seperti pada poin nomor 1 di atas
  4. Ketiga, arus kas operasional Waskita memang positif sebesar Rp 411 miliar. Tetapi positifnya ini adalah buah dari pemaksaan. Ini terlihat dari arus kas dari pelanggan sebesar Rp 23, 39 triliun. Angkanya jauh di atas pendapatan dari pelanggan yang Rp 16,19 triliun. Ini bisa dibaca bahwa Waskita melakukan penagihan kepada pelanggan jauh lebih besar dari pada pendapatannya. Piutang kepada pengguna jasa berelasi misalnya, tahun lalu Rp 11,48 triliun kini tinggal 7,86 triliun alias turun Rp 3,62 triliun. Penurunan ini jauh lebih besar dari pada angka positif Rp 411 miliar. Artinya, Waskita menikmati apa-apa yang telah dilakukannya tahun-tahun sebelumnya untuk menambal arus kas operasionalnya yang super seret tahun 2020. Jadi pada dasarnya arus kas operasionalnya minus. Rugi dan arus kas minus adalah paduan yang menunjukkan posisi Waskita di tepi jurang.
  5. Keempat, dari jumlah aset sebagaimana di atas, terdapat aset berupa goodwill sebesar Rp 2,00 triliun. Goodwill tersebut berasal dari akuisisi 5 perusahaan. Goodwill muncul dalam transaksi akuisisi saat nilai buku perusahaan yang diakuisisi lebih kecil dari harga akuisisi. Artinya, Waskita telah mengakuisisi 5 perusahaan tersebut dengan harga di atas nilai buku. Sebenarnya, ini adalah hal yang wajar dalam sebuah akuisisi. Tetapi, akuisisi seperti ini tidak bisa dibiayai dengan uang utang. Di sini letak kesalahan Waskita. Membiayai akuisisi dengan uang utang. Rugi dan arus kas minus adalah konsekuensi. Goodwill pun harus disusutkan dan makin memperdalam kerugian perusahaan. Apalagi akuisisi dilakukan terhadap perusahaan di luar bidang di luar core competence. Kelima perusahaan yang diakuisisi bergerak pada properti jalan tol. Di luar kompetensi Waskita sebagai perusahaan konstruksi. Poin nomor 2 menjelaskan akibat dari kesalahan ini.
  6. Kelima, masih ada lagi aset tak berwujud dengan nilai yang jauh besar dibanding goodwill tersebut. Waskita mencatatkan aset tak berwujud berupa hak penguasaan jalan tol sebesar Rp 53,87 triliun. Aset ini tentu saja sebagian besar dibayar dengan uang betulan yang berasal dari utang. Adanya kerugian dan arus kas yang kedodoran menunjukkan bahwa investasi besar yang dibayar dengan uang utang ini pada tahun 2020 tidak bisa memberi imbal hasil seperti yang diharapkan. Memang seperti inilah karakter aset properti. Tidak bisa langsung dinikmati.
  7. Ketujuh, rugi tahun berjalan adalah Rp 9,50 triliun. Jika tanpa perbaikan, tidak sampai 2 tahun kerugian sebesar itu akan menguras ekuitas yang kini sebesar Rp 16,58 triliun. Ekuitas akan negatif.
  8. Dari  tujuh poin kondisi bahaya tersebut, Waskita benar-benar berada di tepi jurang yang curam. Pertanyaannya, bagaimana alternatif solusinya? Berikut ini berapa alternatif.  Alternatif  pertama, Waskita harus menjual aset-aset di luar core competence-nya. Baik berupa anak perusahaan maupun yang langsung dimiliki oleh perusahaan. Dari struktur asetnya, yang paling banyak membebani adalah aset properti konsesi jalan tol sebagaimana pada poin nomor 6 dan goodwill sebagaimana pada poin nomor 5. Jika aset itu bisa dijual dengan harga buku, Waskita akan mendapatkan uang Rp 55,87. Jika ini bisa dilakukan maka Waskita akan langsung bisa membayar seluruh utang jangka panjangnya yang sebesar Rp 40,77 triliun. Beban bunga sebesar Rp 4,74 triliun pun akan hilang. Sisanya bisa untuk melakukan perbaikan sana-sini sedemikian hingga perusahaan tidak rugi. Arus kas operasionalnya pun tidak minus lagi
  9. Siapa yang bisa membeli atau mengakuisisi aset sebesar itu? Dahlan Iskan dalam tulisannya mengharapkan SWF bisa menyelesaikan. Tapi dengan kondisi seperti tulisan saya ini, tidak mungkin SWF bisa menyelesaikannya. Uang SWF terlalu kecil untuk membayarnya. Andaikan pun ada dana dari luar negeri, masuknya ke SWF pasti melalui pintu utang. Uang utang tidak bisa digunakan untuk akuisisi. Jika nekat, ini hanya akan memindahkan masalah Waskita kepada SWF. Dengan kondisi akan lebih parah karena pasti ada biaya-biaya terkait transaksi akuisisinya.
  10. Yang memungkinkan melakukan akuisisi adalah perusahaan yang memiliki uang dingin. Ciri uang dingin adalah tidak ada bunga dan tidak perlu dikembalikan. Cost of capital-nya rendah sekitar 2-3% per tahun. Dan ini tidak mungkin dilakukan kecuali perusahaan yang telah berada pada step ke 7 atau 8 dalam Corporate life cycle. Malangnya, di Indonesia perusahaan seperti itu sangat amat langka. Atau bahkan tidak ada. Jadi hanya bisa berharap kepada perusahaan asing.
  11. Alternatif kedua, Waskita masih  memiliki intangible aset yang berpotensi menjadi uang. Nilai pasar (orang sering salah kaprah menyebutnya sebagai valuasi) adalah Rp 15,34 triliun. Sedangkan nilai bukunya (ekuitas setelah dikoreksi dengan hak minoritas) adalah Rp 7,53 triliun. Artinya, ada intangible asset sebesar Rp 7,81 triliun. Intangible asset ini bisa diuangkan dengan menerbitkan saham baru. Misalkan saja Waskita  menerbitkan 10% saham baru, akan diperoleh dana 1,53 triliun. Sekitar separuh dari angka itu berasal dari penjualan intangible asset.
  12. Alternatif ketiga, Waskita haru melakukan efisiensi terhadap biaya pokok pendapatan. Untuk bidang konstruksi, saya kira ini tidak terlalu sulit dilakukan mengingat pengalaman panjang Waskita di bidang ini. Tapi untuk di luar konstruksi, tentu akan sangat sulit atau bahkan mustahil dilakukan dalam dua tahun ini. Padahal rugi duta tahun lagi saja sudah akan menghabiskan ekuitas Waskita.
  13. Dari ketiga alternatif tersebut, mana yang bisa dilakukan? Mengingat besarnya masalah, ketiganya harus dilakukan secara simultan. Waskita harus benar-benar mengoreksi diri. Jika tidak, jurang yang curam sudah dihadapkan. Kematian sudah di depan mata.
  14. Siapa yang bisa memutuskan upaya koreksi diri itu? mestinya direksi. Tetapi karena Waskita belum fully corporatized, otoritas itu belum berada pada tangan direksi. Otoritasnya masih berada di tangan pemegang saham alias pemerintah. Fenomena pseudo CEO terjadi di Waskita. Direaksi yang “maju perang”, tetapi “senapan”-nya dibawa oleh pemegang saham. Berat.
Ikuti acaranya. Daftar http://www.klikwa.net/snfconsulting

Itulah kondisi BUMN kita ini. Berada pada masalah besar. Berada di tepi jurang. Dan solusinya pun membutuhkan langkah besar. Waskita harus mengoreksi diri. Atau mati.  Tidak ada alternatif lain. Mampukah Waskita mengambil keputusan berat itu? Semoga!

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA SNF Consulting

Baca juga:
Waskita Beton digugat pailit: anak sakit induk sakit
Harapan BSI, nyata atau fatamorgana
BUMN berjamaah merger akuisisi
Wika gali lobang tutup lobang
SWF antara harapan dan belenggu
Corporate life cycle
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal

*)Artikel ke-321 karya Iman Supriyono ini ditulis di SNF Consulting House of Management pada tanggal 2 April 2021

5 responses to “Waskita di Tepi Jurang: Koreksi Diri Atau Mati?

  1. Pak Iman, kerugian yg dialami Waskita, apakah ada pengaruh dari Pandemi atau murni kesalahan manajemen atau krn penugasan dari pemerintah (PSO) ?

  2. 1. Untuk Waskita apakah sdh memiliki RPD pak ?
    2. Untuk menyelesaikan masalah2 di Waskita & Wika
    ( https://korporatisasi.com/2019/12/05/wika-bumn-gali-lobang-tutup-lobang/#comments ) apakah merger (https://korporatisasi.com/2019/01/29/bumn-berjamaah-merger-akuisisi-korporatisasi-investment-company/) merupakan langkah terbaik pak ?

    • Waskita di bisnis konstruksi sudah. tapi bisnis jalan tol masih belaajr dan kedodoran banget. Untuk merger memang sudah seharusnya semua bumn konstruksi merger jadi satu. bisnis properti jalan tolnya harus dijual dulu untuk agar bisa terus hidup

  3. Ping-balik: Waskita Beton Digugat Pailit: Induk Sakit Anak pun Sakit | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s