PT Waskita Beton Precast Tbk. (WBP) digugat pailit. Penggugatnya adalah PT Hartono Naga Persada, pemasoknya. Alasan dari gugatan yang dilayangkan tanggal 31 Maret 2021 adalah kegagalan anak perusahaan Waskita Karya itu dalam melakukan pembayaran kewajibannya sesuai komitmen. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, Waskita Karya sebagai induknya sakit parah. Apakah WBP juga sakit? Seberapa parahkah sakitnya sehingga terancam pailit? Saya akan menuliskannya dalam bentuk poin-poin. Selamat menyimak

- Tahun 2020 pendapatan WBP adalah Rp 2,21 triliun. Pendapatan ini menurun 70% dari pendapatan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 7,47 triliun. Penurunan pendapatan sebesar ini pasti akan menjadi beban berat. Ketika pendapatan tinggi tentu perusahaan harus menambah sumber daya ini dan itu untuk mengelolanya. Dan sumber daya itu tentu menjadi beban finansial. Lalu ketika pendapatan itu tiba-tiba menurun tidak bisa serta-merta beban itu dihilangkan begitu saja. Pasti berat.
- Dengan pendapatan Rp 2,21 triliun, beban pokok pendapatan WBP adalah Rp 5,56 triliun. Terjadi rugi kotor sebesar Rp 3,35 triliun. Artinya, setiap Rupiah yang diperoleh oleh WBP mengakibatkan kerugian sebesar 1,5 rupiah. Berapa pun omzet yang diperoleh akibatnya adalah menambah rugi kotor.
- Dengan beban yang besar, akhirnya WBP menutup tahun 2020 dengan rugi tahun berjalan sebesar Rp 4,76 triliun.
- Melihat struktur modalnya, total aset WBP adalah Rp 10,56 triliun. Dari aset tersebut, Rp 9,40 triliun berasal dari utang. Modal sendiri alias ekuitasnya hanya Rp 1,16 triliun. Utangnya adalah 8,1 kali modal sendiri. Maka, jika tahun 2021 ini WBP masih bekerja seperti tahun lalu dan tidak memperbaiki diri, ekuitasnya akan tergerus habis dan bahkan minus. Artinya, seluruh asetnya tidak cukup untuk membayar seluruh kewajibannya.
- Dalam kondisi rugi sebesar di atas, WBP masih melaporkan arus kas operasional positif Rp 606 miliar. Secara matematis ini tidak mungkin terjadi kecuali ada hak-hak pihak lain yang bersifat operasional yang tidak dibayarkan. Adanya gugatan pailit mengkonfirmasikan hal ini.
- Bahkan lebih parah lagi, penerimaan kas operasional dari pelanggan adalah Rp 3,33 triliun. Lebih besar dari pendapatan. Matematisnya, ini hanya bisa terjadi dengan cara menagih piutang lebih cepat dari pada kemampuannya memperoleh pendapatan. Ini terkonfirmasi dari penurunan tagihan bruto kepada pihak yang berelasi. Akhir tahun 2019 sebesar Rp 2,94 triliun, menurun menjadi Rp 1,29 triliun pada akhir tahun 2020. Tagihan kepada pihak tak berelasi Rp 1,22 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp 132 miliar pada akhir 2020. Artinya, manajemen WGT telah melakukan berbagai upaya untuk menambal kas operasional tahun 2020. Orang Jawa menyebutnya nrethek-nrethek. Kesana kemari mencari uang untuk menambal kebutuhan.
- Salah satu kontributor besar kerugian dan beratnya kas operasional adalah pembayaran biaya bunga. WBP mengeluarkan kas Rp 581 miliar untuk pembayaran bunga. Secara laba rugi, utang yang besar mengakibatkan perusahaan menanggung beban bunga sebesar Rp 530 miliar. Adanya sedikit selisih dengan pembayaran bunga pada arus kas kemungkinan terjadi karena ada beban bunga tahun sebelumnya yang baru dibayar tahun ini.
- Modal disetor WBP adalah Rp 2,64 triliun. Terdapat tambahan modal disetor (agio saham) Rp 3,94 triliun pada ekuitasnya. Ini artinya WBP berhasil menjual saham baru (melalui lantai bursa) dengan harga jauh lebih besar dari pada nilai nominalnya di akta saat IPO. Nilai nominal Rp 100. Saat IPO laku dijual dengan harga Rp 490. Selisih antara keduanya dicatat sebagai tambahan modal disetor. Namun demikian, baik modal disetor maupun tambahan modal disetor sudah ludes oleh akumulasi kerugian yang sebesar Rp 4,89 triliun. Tinggal menyisakan ekuitas seperti tersebut pada poin nomor 4. Modalnya sudah melayang jauuuh.
- Secara stratejik, IPO anak usaha itu suatu kesalahan. Mestinya sebaliknya. Yang sudah IPO pun ditarik kembali. Delisting. Seperti delistingnya Aqua dari lantai bursa begitu menjadi anak perusahaan Danone melalui akuisisi. Atau juga delistingnya Sarihusada (susu SGM) begitu menjadi anak perusahaan Nutricia melalui akuisisi. Di luar negeri pun demikian. Mount Elizabeth Hospital Singapura pun delisting begitu menjadi anak perusahaan IHH Health dari Malaysia. Delisting dilakukan agar anak perusahaan benar-benar berfungsi sebagai anak perusahaan. Seluruh kebijakannya sepenuhnya bisa dikontrol oleh direksi induk perusahaan tanpa campur tangan pihak eksternal siapa pun. Manajemen induk berotoritas penuh untuk menggerakkan anak perusahaan
- Sudah IPO-nya salah, volume IPO-nya juga salah. WBP IPO dengan menerbitkan 40% saham baru. Ini berakibat IPO Trap seperti yang sekarang dialami WBP. Juga sekaligus menunjukkan bahwa WBP tidak memiliki visi pertumbuhan berkelanjutan. Mestinya paling banter 10% dan setelah itu terus-menerus menerbitkan lagi sebesar maksimum 10% lagi untuk pertumbuhan berikutnya. Tumbuh pesat secara berkelanjutan sesuai dengan pola kurva korporatisasi dari SNF Consulting

Itulah berbagai persoalan WBP. Kuat sekali tanda-tanda bahwa perusahaan produsen beton pracetak ini sedang sakit parah. Persis seperti induknya yang juga sakit parah. Lalu tidak adakah solusinya? Ada. Setiap masalah ada solusi. Setiap penyakit ada obatnya. Kecuali mau mati. Tetapi tentu saja WBP harus menelan pil pahit untuk itu. Tanpa pil pahit itu, mudah sekali bagi pengadilan niaga untuk memutus pailit WBP. Tapi masih ada kesempatan untuk perbaikan. SNF Consulting sebagai perusahaan konsultan anak bangsa siap membantu formula untuk pil pahit tersebut. WBP bisa!
Artikel ke-324 karya Iman Supriyono ini ditulis di Palembang di sela-sela rapat klien SNF Consulting pada tanggal 10 April 2021.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga:
Harapan BSI, nyata atau fatamorgana
BUMN berjamaah merger akuisisi
Wika gali lobang tutup lobang
SWF antara harapan dan belenggu
Corporate life cycle
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Ping-balik: Waskita di Tepi Jurang: Koreksi Diri Atau Mati? | Korporatisasi
Secara legal, yang namanya SPK/PO berkekuatan hukum yang jika ada pelanggaran hak dan kewajiban bs bermuara tuntutan pada hukum. Harusnya manajemen kan sdh paham itu. Tapi mengapa ada piutang yang msh ditunda pembayarannya? Apakah demi image arus kas positif?
Mungkin terpakso 😀
Luar biasa. Mss ku
tengyu apresisainya
Ping-balik: Garuda Tanpa Mudik: Utang Melebihi Aset | Korporatisasi
Ping-balik: Vaksin Covid: Yunior-Senior Astra Zeneca-Kimia Farma | Korporatisasi
Ping-balik: Mengapa Unicorn Kita Dikuasai Asing? | Korporatisasi
Ping-balik: Gedung Saja Tidak Cukup: Menara 165 Colliers | Korporatisasi
Ping-balik: Pancasila Versus Al Quran, Pilih Mana? | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda Masker Lima: Masalah Tata Kelola | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda, Inalum, Pertamina : Direksi & Komisaris Lalai? | Korporatisasi
Ping-balik: Giant Tutup: Sulitanya Menemukan Kembali RPD | Korporatisasi
Ping-balik: BTS Meal McD: Tantangan Langkah Kedelapan CLC | Korporatisasi
Ping-balik: Cristiano Ronaldo Merugikan Coca Cola? | Korporatisasi
Ping-balik: Utang Segunung: Pusingnya Direksi Garuda | Korporatisasi
Ping-balik: Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi? | Korporatisasi
Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi
Ping-balik: Scale Up: Betulan atau Omong Doang? | Korporatisasi
Ping-balik: Revlon: Sejarah & Kepailitan | Korporatisasi
Ping-balik: Alfamart Vs. Sari Roti: Adu Kuat, Bukan Hulu Hilir | Korporatisasi
Ping-balik: Palugada atau Fokus: Hyundai Vs. Astra | Korporatisasi
Ping-balik: Bom Waktu PDAM Surabaya | Korporatisasi
Ping-balik: Tidak Macet: Mandat Penuh Pemerintah | Korporatisasi