Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi?


Garuda terancam pailit. Masalahnya begitu pelik. Paling tidak ada tiga masalah berat yang dihadapi maskapai kebanggaan ini. Masalah pertama adalah adalah masalah industri yang terpengaruh pandemi. Maskapai penerbangan sangat terpukul oleh pandemi yang sudah berjalan dua tahun ini. Belum ada tanda yang kuat bahwa pandemi berakhir dalam waktu dekat ini. Omzet pasti masih jeblok. Casfhlow operasional pasti minus. Tidak bisa dihindari.

Masalah kedua adalah buruknya kinerja direksi dan komisaris dalam menjalankan tugas. Ada tugas adminsitratif, ada tugas stratejik. Tidak perlu sampai melihat kinerja stratejiknya. Kinerja administratifnya saja sudah buruk. Laporan keuangan terlambat. Laporan akhir tahun 2020 sampai saat saya menulis artikel ini belum terbit. Padahal sekarang mestinya laporan kuartal pertama 2021 sudah terbit.

Simalakama: dimakan muntah-muntah. Tidak dimakan mati.

Masalah ketiga adalah kondisi keuangan yang buruk. Ekuitasnya minus. Artinya, jika seluruh  asetnya dijual dengan harga sesuai catatan akuntansi Garuda sudah tidak mampu membayar seluruh kewajibannya. Dengan kondisi seperti ini, kreditur terancam tidak dapat menerima haknya. Bahkan menggugat pailit pun kreditur tetap terancam tidak menerima haknya.

Masalah ketiga ini sudah sampai pada urusan arus kas. Pengumuman otoritas bursa untuk melakukan suspensi transaksi saham Garuda mulai tanggal 18 Juni menjadi bukti. Otoritas bursa menyebut penyebab suspensi adalah kegagalan Garuda membayar kupon (bunga atau bagi hasil) atas surat utang (obligasi, sukuk) yang telah diterbitkannya.

Nah, dengan tiga masalah tersebut, garuda benar-benar terancam. Gugatan pailit hanya menunggu waktu. Penyelamatnya hanya kesabaran kreditur untuk menunggu. Kita hanya berharap. Ekuitas minus artinya kreditur pun hampir tidak punya harapan. Kecuali ada aset yang belum menjadi jaminan spesifik (jaminan bank) yang bisa dijual di atas nilai buku.

Lalu, tidak adalah jalan keluar bagi Garuda? Mari kita mencermatinya. Saya akan menuliskannya dalam bentuk poin-poin.

  1. Gagal bayar yang berakibat suspensi saham adalah lonceng kematian bagi garuda. Nyawa garuda saat ini tergantung kepada para kreditur. Gagal bayar menjadi pembuka pintu bagi para kreditur untuk mengajukan gugatan pailit kepada Garuda.
  2. Sesuai laporan Garuda terbaru yaitu triwulan ketiga 2020, per 30 September 2020 ekuitasnya adalah minus USD 455,58 Juta. Dengan kurs saat ini nilainya adalah Rp 6,60 triliun. Inilah nilai buku (book value) Garuda. Artinya, jika seluruh aset dijual dengan harga sesuai catatan akuntansi untuk membayar utang, Garuda masih ada sisa utang Rp 6,60 triliun yang belum terbayar.
  3. Harga saham terakhir sebelum suspensi adalah Rp 222. Dengan jumlah lembar saham yang telah diterbitkan sebesar 25.886.576.253 lembar, maka nilai pasar (market value) Garuda sebagai perusahaan adalah Rp 5,75 triliun.
  4. Artinya, Garuda masih memiliki intangible aset sebesar Rp 12,35 triliun. Intangible aset adalah selisih antara book value dengan market value. Sumbernya adalah apa-apa yang dimiliki Garuda tetapi tidak tercatat di akuntansi seperti merek yang kuat, jaringan pasar yang kuat, hubungan dengan leasor, hubungan dengan pemasok, kepercayaan customer dan sebagainya.
  5. Jika Garuda dipailitkan, artinya asetnya akan dijual oleh likuidator sebagai aset fisik secara protolan.  Tanah dijual, gedung dijual, pesawat dijual, mobil dijual dan sebagainya. Itu pun akan terpotong aset properti yang sudah menjadi agunan spesifik  dan menjadi hak kreditur secara langsung. Dengan demikian, jika Garuda pailit, intangible aset Rp 12,35 triliun itu akan menguap begitu saja.
  6. Nah, maka, pailit adalah sesuatu yang sangat merugikan. Yang paling rugi secara langsung tentu pemegang saham. Yang dirugikan secara tidak langsung adalah seluruh masyarakat Indonesia mengingat Garuda adalah BUMN. Artinya, secara tidak langsung Garuda adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia akan kehilangan flag carrier yang dibanggakan dan telah diperjuangkan dengan susah payah sejak pendiriannya.
  7. Lalu, apa alternatif Garuda selain pailit? Masih ada yaitu menguangkan intangible aset. DANA yang diperoleh digunakan untuk penyelamatan. Bagaimana caranya? Mari kita cermati.
  8. Yang harus dilakukan pertama kali untuk penyelamatan ini adalah penghematan. Garuda harus memotong habis beban-beban dan kebutuhan pengeluaran kas yang memungkinkan. Intinya, potong habis sampai benar-benar minimum. Sekeder Garuda bisa hidup. Gaji pegawai dipotong, gaji direksi diptong, gaji komiris dipotong, tutup rute yang merugikan, dan sebagainya. Intinya adalah supaya Garuda bisa tetap terbang dan setiap penerbangan bisa menghasilkan laba kotor (gross margin) walaupun tidak banyak. Sekedar untuk mengulur nafas.
  9. Pada saat yang sama, Garuda harus melakukan lobi kepada seluruh kreditur untuk bisa memberi waktu. Secara legal ini bisa ditempuh dengan permohonan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) secara suka rela kepada pengadilan. Intinya Garuda harus meminta belas kasihan kreditur.
  10. Setelah itu, dihitung berapa kebutuhan dana untuk penyelamatan. Kebutuhan pokoknya adalah pembayaran kewajiban kepada kreditur dan biaya operasional minimal. Dihitung kebutuhan sampai perkiraan pandemi berakhir dan industri penerbangan pulih. Untuk kebutuhan ini sudah terbantu dari gross margin dari penerbangan yang tetap berjalan. Sebagai gambaran, misalkan setelah dihitung dibutuhkan dana Rp 20 triliun.
  11. Langkah berikutnya, Garuda harus menerbitkan saham baru sebagai langkah teknis proses korporatisasi untuk kebutuhan tersebut. Dengan angka contoh Rp 20 triliun tersebut, maka Garuda harus menerbitkan saham dengan jumlah lembar saham sebesar Rp 20 triliun dibagi harga pasar saham terakhir yaitu Rp 222. Diperoleh 90,09 miliar lembar.  Dengan penerbitan saham baru ini,  total lembar saham Garuda akan menjadi 115,98 lembar. Dengan demikian, seluruh saham eksisting saat ini akan terdilusi sebesar 77,68%. Dengan demikian, saham pemerintah yang saat ini 60,54% akan terdilusi menjadi 13,51%.
  12. Penerbitan saham baru dalam kondisi seperti saat ini bagi Garuda adalah sebuah korporatisasi terpaksa. Namanya terpaksa pasti kondisinya tidak bagus. Harganya tidak bagus. Mesinya, andai tidak terpaksa, Garuda bisa melakukannya pada saat nilai intangible assetnya berada di posisi tertinggi. Secara historis ini terjadi pada 27 Juli 2012. Saat itu harga saham Garuda adalah Rp 760. Jika dilakukan saat itu dilakukan dengan penerbitan jumlah lembar saham yang sama Garuda akan menerima dana Rp 68,46 triliun. Sudah lebih dari cukup untuk melunasi utang-utang Garuda yang bejibun. Terutama utang jangka panjang. Posisi utang jangka panjang pada tanggal 30 septermber 2020 adalah USD 5,67 miliar alias Rp 82,15 triliun dengan kurs hari ini. Tapi ini hanya berandai-andai. Tidak bisa lagi dilakukan.
  13. Nah, maka baik korporatisasi maupun likuidasi adalah buah simalakama bagi Garuda. Memilih Korporatisasi Garuda tidak lagi menjadi BUMN karena dilusi. Tetapi pemerintah masih memiliki saham dan kelak akan menerima dividen setelah Garuda pulih.
  14. Bisakah Garuda menerbitkan saham baru untuk keperluan itu dan saham tersebut dibeli oleh pemerintah? Andai pemerintah punya “uang dingin” bisa. Tetapi sayangnya pemerintah kita sejak jaman tahun 45 memilih APBN defisit. Defisitnya ditambal dengan utang. Pemerintah hanya punya “uang panas”. Artinya, jika pemerintah membeli saham yang diterbitkan Garuda, dananya akan berasal dari dana utang. Malangnya, dana utang tidak bisa digunakan untuk berinvestasi melalui ekuitas berupa pembelian saham seperti itu.
  15. Memilih likuidasi pemerintah akan kehilangan semuanya termasuk intangible aset Garuda. Bahkan kementerian BUMN sebagai representasi pemegang saham bisa digugat oleh kreditur untuk membayar kewajiban-kewajiban Garuda dengan kas negara jika terbukti di pengadilan bahwa pemegang saham mengintervensi keputusan bisnis direksi. Direksi dan komisaris pun bisa digugat untuk membayar utang Garuda dengan harga pribadinya jika terbukti telah melalaikan tugasnya di pengadilan.
  16. Maka, dari simalakama tersebut, korporatisasi adalah pilihan terbaik dari yang ada. Dan positifnya, Garuda akan menjadi fully corporatized company sebagaiman korporasi-korporasi penguasa pasar dunia. Mencapai step kedelapan dari corporate life cycle
  17. Pertanyaannya, siapa yang mampu  melakukan itu? Ini butuh direksi yang benar benar faham bisnis dan berjaringan luas. Siapa itu? Garuda harus memanggil kembali mantan direksi dan CEO alias direktur utama yang merupakan orang karier di Garuda. Orang yang merintis karier dari fresh graduate di Garuda sampai menjadi CEO. Orang seperti Arif Wibowo yang merintis karier di Garuda mulai dari lulus kuliah sampai menjadi dirut Citilink dan akhirnya dirut Garuda sangat dibutuhkan dalam suasana seperti ini. Komisarisnya pun harus orang sekelas. Direksi dan komisaris tidak bisa diisi orang yang tidak punya pengalaman panjang di industri penerbangan dan tidak pernah menjadi direksi di Garuda Indonesia. Kondisinya gawat dan butuh kecepatan bertindak. Tidak ada lagi waktu belajar. Apalagi mereka yang asal dicomot dan masih harus diikutkan kursus komisaris atau kursus direksi

Bisakah Garuda melalui masa kritis ini? Saya yakin bisa. Asal mau menelan pil pahitnya. Asal mau memakan buah simalakamanya dengan baik. Garuda adalah kehormatan negeri merah putih ini. Garuda adalah marwah bangsa ini. Mari kembali ambil semangat para pendahulu dengan pekik perjuangan 45 mereka. Allahuakbar! Merdeka!

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI

Baca juga:
Giant Tutup: Menemukan kembali RPD
Korporatisasi perusahaan keluarga
Korporatisasi menghindari pseudo CEO
Waskita Beton digugat pailit: anak sakit induk sakit
Harapan BSI, nyata atau fatamorgana
BUMN berjamaah merger akuisisi
Wika gali lobang tutup lobang
SWF antara harapan dan belenggu
Corporate life cycle
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal

Artikel ke-335 karya Iman Supriyono ini ditulis kantornya, SNF Consulting, Jalan Pemuda 60-70 Surabaya, pada tanggal 19 Juni 2021

24 responses to “Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi?

  1. Ping-balik: Garuda, Evergrande: Beresi Utang Sebelum Terlambat | Korporatisasi

  2. Ping-balik: Japfa, Bangun! | Korporatisasi

  3. Ping-balik: Sodexo: Catering Olympiade Bisa! | Korporatisasi

  4. Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi

  5. Ping-balik: Kesetiaan Pearson: Penerbit Terbesar Dunia | Korporatisasi

  6. Ping-balik: Ramadhan Eksekusi | Korporatisasi

  7. Ping-balik: Rugi Pertamina – PLN: Rumor atau Fakta? | Korporatisasi

  8. Ping-balik: Starbucks: Kegagalan Yang Baik | Korporatisasi

  9. Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi

  10. Ping-balik: Pertamina Versus Petronas 2021: Siapa Pemenangnya? | Korporatisasi

  11. Ping-balik: Investasi Telkom ke Goto: Strategic Fool? | Korporatisasi

  12. Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi

  13. Ping-balik: Pertaruhan Hidup Mati Goto | Korporatisasi

  14. Ping-balik: Iklan Holywings: Salah Karyawan atau Direksi? | Korporatisasi

  15. Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi

  16. Ping-balik: Revlon: Sejarah & Kepailitan | Korporatisasi

  17. Ping-balik: Alfamart Vs. Sari Roti: Adu Kuat, Bukan Hulu Hilir | Korporatisasi

  18. Ping-balik: Palugada atau Fokus: Hyundai Vs. Astra | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi

  20. Ping-balik: PKPU & Kepailitan: DPUM | Korporatisasi

  21. Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi

  22. Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi

  23. Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi

  24. Ping-balik: Kesalahan Stratejik: IPO Anak Perusahaan Pertamina | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s