Pseudo artinya sesuatu yang bukan sesungguhnya. Semu. Dummy. Pseudo director adalah direktur yang tidak sesungguhnya. Direktur semu. Terlihat seperti direktur tetapi sejatinya bukan. Ini adalah fenomena yang harus dihindari dalam pengelolaan perusahaan karena merugikan perusahaan itu sendiri.

Contoh fenomena seperti ini adalah kasus vonis 8 tahun penjara, denda Rp 1 Miliar dan membayar ganti rugi senilai Rp 284 Milyar bagi Karen Agustiawan, mantan direktur Pertamina. Mantan direktur BUMN (SOE, state owned company) minyak ini dihukum karena dianggap bersalah dalam transaksi akuisisi Blok Basker Manta Gummy, Australia yang memang rugi. Hakim menetapkan Karen bersalah karena terbukti mengabaikan prosedur investasi di Pertamina pada akuisisi yang dilakukan tahun 2009 ini. Melakukan investasi tanpa persetujuan bagian legal dan dewan komisaris.
Dalam tata kelola perusahaan, melakukan investasi adalah otoritas direktur yang ditunjuk oleh para pemegang saham dalam RUPS. Tugas dan wewenang direktur adalah mengelola aset untuk menghasilkan laba. Atas tugas ini direktur wajib mempertanggungjawabkannya melalui forum RUPS berikutnya. Melaporkan seluruh pergerakan aset baik berupa uang maupun apapun adalah kewajiban direktur sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Pemegang saham menunjuk akuntan publik untuk mengaudit laporan direktur.
Tahun 2009 sebagai direktur Karen telah melakukan kewajibannya dengan laporan keuangan teraudit. Tahun tersebut Pertamina memperoleh laba Rp 15,797 Triliun. Laporan tersebut telah disahkan oleh pemegang saham melalui RUPS. Artinya, sebagai direktur utama Karen telah menjalankan tugasnya dengan baik dan pertanggungjawabannya sudah diterima oleh pemegang saham melalui RUPS.
Lalu mengapa bulan Juni 2019 Karen divonis begitu berat? Mengapa harus mengembalikan uang Rp 284 Milyar? Ini tidak bisa dijawab jika Karen dipandang sebagai direktur. Sebagai direktur ia sukses menghasilkan laba sangat besar. Bahwa ada sebagian dari bisnis gagal itu hal wajar. Ibarat perusahaan mini market yang punya belasan ribu gerai seperti Alfamart, tidak mungkin seluruh gerai menghasilkan laba. Pasti ada gerai yang rugi bahkan ditutup. Sangat mungkin ada ratusan gerai yang rugi. Tetapi direktur tetap akan disebut sukses jika perusahaan secara keseluruhan menghasilkan laba.
Sebagai direktur Karen juga memiliki otoritas penuh untuk membuat prosedur operasional apapun yang biasanya dituangkan dalam bentuk SOP. SOP ditandatangani direktur. Dengan demikian SOP adalah bentuk delegasi wewenang direktur kepada anak buahnya. Artinya kesalahan melanggar SOP hanya berlaku untuk anak buah direktur. Sedangkan direktur sendiri memiliki wewenang yang cukup untuk bertindak diluar SOP bahkan mengubah SOP.
Secara tata kelola, direktur juga berwenang membuat keputusan menyangkut aset perusahaan tanpa persetujuan komisaris. Jika komisaris harus menyetujui keputusan direktur justru sejatinya wewenang eksekusi telah berpindah ke komisaris. Dan jika wewenang eksekusi berpindah kepada komisaris, lalu siapa yang melakukan pengawasan? Mensyaratkan persetujuan komisaris pada prosedur investasi justru mengacaukan tata kelola perusahaan.
Nah, vonis berat bagi Karen baru bisa dipahami jika memandang bahwa Karen adalah pseudo director. Pseudo CEO. Keharusan adanya persetujuan bagian legal dan komisaris yang menjadi dasar vonis hakim menunjukkan bahwa sejatinya Karen bukan direktur sesungguhnya. Bukan direktur utama yang sesungguhnya. Bukan CEO. Karen hanyalah seorang direktur semu. Seorang direktur-direkturan. Bukan direktur betulan. Bukan direktur sesungguhnya.
Fenomena pseudo director atau pseudo CEO tidak hanya terjadi pada Pertamina atau BUMN lain. Tetapi juga terjadi pada berbagai perusahaan keluarga. Ini yang harus diwaspadai oleh banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia mengingat masih dominannya peran perusahaan keluarga di dunia bisnis negeri tercinta ini.
Dengan alasan menyerahkan kepada profesional, direktur pada perusahaan keluarga bukan dijabat oleh si pendiri. Bisa anak, cucu, sanak saudara atau orang lain. Bukan si pemegang saham pengendali. Pendiri perusahaan memposisikan hanya sebagai pemegang saham. Atau kadang sekaligus sebagai komisaris.
Karena posisi pendiri masih memegang hampir 100% saham, apapun yang menjadi kemauannya akan menjadi keputusan RUPS. Pemegang saham bisa mendiktekan apapun kemauannya kepada direksi maupun komisaris. Apalagi jika komisarisnya adalah si pemegang saham pengendali itu sendiri.
Pada banyak perusahaan keluarga, komisaris diposisikan sebagai atasan direktur. Keputusan direksi harus disetujui dan ditandatangani oleh komisaris. Posisi direktur pun tidak benar-benar menjadi direktur. Direktur hanya bisa membuat usulan keputusan. Bukan mengambil keputusan. Posisinya hanyalah pseudo director.
Paling tidak ada enam efek negatif fenomena pseudo director. Efek pertama adalah kerancuan otoritas. Efek ini terjelaskan dengan ungkapan “yang perang tidak pegang senjata, yang pegang senjata tidak perang”. Jika persaingan di pasar diibaratkan pertempuran, direktur adalah pemimpin pasukan di medan perang. Sebagai pimpinan pasukan tentu direksi seharusnya membawa “senjata” berupa wewenang pengambilan keputusan. Tetapi ini tidak terjadi karena posisinya hanyalah sebagai pseudo director. Keputusan harus disetujui oleh komisaris atau pemegang saham. Padahal komisaris atau pemegang saham tidak berada di medan perang. Fenomena ini hanya akan menghasilkan pasukan yang lemah dalam pertempuran.
Akibat kedua, fenomena pseudo director juga berakibat kekacauan tata kelola perusahaan. Mestinya keberadaan komisaris adalah berperan sebagai pengawas terhadap keputusan direktur. Tetapi karena komisaris berperan sebagai pengambil keputusan, tidak ada yang bisa menjadi pengawasnya. Jika misalnya terjadi kesalahan dalam sebuah keputusan, komisaris akan cenderung diam. Tidak bisa menegur direktur. Takut juga memanggil pemegang saham untuk melakukan RUPS. Mengapa? Tidak mungkin komisaris menyalahkan dirinya sendiri. Lebih baik diam. Akhirnya mekanisme check and balance dalam tata kelola tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Justru membahayakan.
Efek negatif ketiga adalah hilangnya tanggung jawab hukum direksi. Mestinya, segala tindakan hukum perusahaan menjadi tanggung jawab direksi. Tetapi ini tidak akan terjadi pada fenomena pseudo director. Misalnya ada keputusan perusahaan yang berakibat tuntutan hukum, direksi bisa dengan mudah mengelak dengan menunjukkan bukti bahwa keputusan dibuat oleh komisaris dengan menunjukkan dokumen tanda tangan komisaris. Komisaris akan terpaksa menggantikan direksi dalam tanggung jawab hukum.
Efek negatif keempat adalah dilema gaji direktur. Secara normal direktur bertanggung jawab terhadap perbuatan perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Atas tanggung jawab ini, direktur digaji tinggi. Bahkan bisa tinggi sekali. Tetapi ini akan rugi jika dilakukan pada kondisi fenomena pseudo director. Mestinya perusahaan cukup menggaji rendah untuk seorang pseudo director. Tetapi juga sulit untuk mencari direktur yang mau digaji rendah. Dilema ini akan berakibat perusahaan akan kesulitan untuk memiliki direktur yang berkualitas.
Efek negatif kelima adalah lemahnya sistem manajemen perusahaan. Walaupun bukan sebagai direktur, pendiri atau ahli waris pendiri akan menjadi raja di perusahaan. Apapun keputusannya akan menjadi keputusan perusahaan. Bisa saja SOP, job description KPI sudah tertulis secara rinci sebagai perwujudan dari sistem manajemen. Tetapi adanya raja yang berkuasa mutlak akan mengacaukan semuanya.
Efek keenam adalah akibat dari efek kelima yaitu rendahnya daya tarik bagi kandidat SDM berkualitas. Anak-anak muda terbaik akan lebih nyaman bekerja di perusahaan dengan sistem manajemen kuat. Promosi atau demosi murni didasarkan pada sistem. Mereka tidak suka bekerja pada perusahaan yang sistem manajemennya tidak bagus. Adanya raja berakibat promosi dan demosi akan didasarkan pada like & dislike sang raja. Bekerja seolah-olah hanya sebagai “pembantu” bagi sang raja.

Hindari Pseudo CEO. Ikuti KELAS TATA KELOLA PERUSAHAAN dari SNF Consulting via Zom, Rabu, 20-5-20, 09.30 WIB. Daftar: https://wa.me/+6281358447267
Itulah kelemahan-kelemahan fenomena pseudo director. Perusahaan akan makin parah jika fenomena ini ditambah lagi dengan munculnya fenomena pseudo corporate. Apa itu pseudo corporate? Bagaimana solusi keduanya? Ikuti terus http://www.imansu.com
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
***Ditulis oleh Iman Supriyono, konsultan senior dan direktur SNF Consulting, http://www.snfconsulting.com. Tulisan ini berasal dari artikel yang pernah dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya yang sudah diedit, ditambah dan disempurnakan oleh penulisnya.
Konsep pseudo CEO dan pseudo corporate ini sebetulnya bagus sekali. Sayang perusahaan konsultan SNF tidak ada kantor cabang di Jakarta ya ? Kalau ada pasti banyak yang tertarik. Jakarta pusat pembuatan kebijakan dan pusat perputaran uang. Salam.
Klien Jakarta dilayani juga. SNF siap datang ke jakarta
Ping-balik: Tercekik: Separah Apakah Krakatau Steel? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Monopolistik Air Minum Danone: PDAM Menyerah? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kampus Sekolah Pesantren, Jangan Berbisnis! | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Presiden Harus Cetak Uang Rp 100 T Untuk Sejuta Rumah? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Semen Indonesia: Jebloknya Arus Kas Pasca Akuisisi Super Mahal Holcim | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Zero Black Out, Mampukah PLN? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sari Roti, Intangible Asset: Menguangkannya? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Erick Thohir Jadi Raja Utang atau BUMN Insyaf? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Perusahaan Keluarga Haruskah Melakukan Korporatisasi? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Direktur & Komisaris: Rancunya Peran Stratejik & Administratif | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: CEO Baru Garuda: Optimis atau Pesimis? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Karen Agustiawan, Pseudo CEO Pertamina dan Vonis Penjara | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Corona & Dekorporatisasi BUMN oleh Erick Thohir | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Tata Kelola Perusahaan: Penguasaan Ekonomi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Wardah, Dahlan Iskan & Konsolidasi Kosmetik Nasional | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pertamina Vs. ExxonMobil: Bisakah Dimaklumi Ruginya? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sheryl Sandberg: Ibu, Direktur, Triliuner | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Karen Agustiawan, Pseudo CEO Pertamina dan Vonis Penjara – SNF Consulting
Ping-balik: Waskita di Tepi Jurang: Koreksi Diri Atau Mati? | Korporatisasi
Ping-balik: Vaksin Covid: Yunior-Senior Astra Zeneca-Kimia Farma | Korporatisasi
Ping-balik: Mengapa Unicorn Kita Dikuasai Asing? | Korporatisasi
Ping-balik: Gedung Saja Tidak Cukup: Menara 165 Colliers | Korporatisasi
Ping-balik: Pancasila Versus Al Quran, Pilih Mana? | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda Masker Lima: Masalah Tata Kelola | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda, Inalum, Pertamina : Direksi & Komisaris Lalai? | Korporatisasi
Ping-balik: Giant Tutup: Sulitanya Menemukan Kembali RPD | Korporatisasi
Ping-balik: BTS Meal McD: Tantangan Langkah Kedelapan CLC | Korporatisasi
Ping-balik: Cristiano Ronaldo Merugikan Coca Cola? | Korporatisasi
Ping-balik: Utang Segunung: Pusingnya Direksi Garuda | Korporatisasi
Ping-balik: Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi? | Korporatisasi
Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi
Ping-balik: Scale Up: Betulan atau Omong Doang? | Korporatisasi
Ping-balik: Bom Waktu PDAM Surabaya | Korporatisasi
Ping-balik: Tidak Macet: Mandat Penuh Pemerintah | Korporatisasi