Bank Syariah Indonesia (BSI) hadir dengan sambutan yang luar biasa. Penuh opmisme. Harapan tinggi diletakkan dipundaknya. Pertanyaannya, apaka BSI akan mampu memenuhi harapan itu? Atau hanya fatamorgana? Mari kita cermati. Saya akan menuliskannya dalam bentuk poin-poin. Semua angka adalah ditampilkan sesuai kaidah pembulatan.
- Sebagaimana dokumen resmi rencana mergernya, ada tiga bank perserta merger. Masing -masing adalah Bank BRI Syaraiah (BRIS) dengan aset Rp 50 triliun, ekuitas Rp 5 triliun, dan laba Rp 122 miliar. Bank Syariah Mandiri (BSM) dengan asat Rp 114 triliun, ekuitas Rp 10 triliun, dan laba Rp 726 miliar. Bank BNI Syariah (BNIS) dengan aset Rp 51 triliun, ekuitas Rp 5 triliun, laba Rp 230 miliar. Semua angka adalah berdasar laporan semester pertama 2019
- Berdasarkan dokumen tersebut juga, bank hasil merger menurut angka pro forma akan memiliki aset Rp 215 triliun, ekuitas Rp 20 triliun, dan laba Rp 1 triliun.
- Begitu besarkah hasil penggabungan itu? Mari kita bandingkah dengan perbankan nasional. Bank Mandiri beraset Rp 1 236 triliun, ekuitas Rp 190 triliun, dan laba Rp 16 triliun. Bank BRI aset Rp 1 288 triliun, ekuitas Rp 191 triliun, laba Rp 21 triliun. Bank BCA aset Rp 870 triliun, ekuitas Rp 160 triliun, dan laba Rp 14 triliun. Tampak sekali dibandingkan dengan tiga pemain utama industri pergankan tanah air itu BSI masih sangat kecil
- Mungkin ada yang akan memprotes bahwa perbandingan itu tidak apple to apple. BRI, Mandiri dan BCA kan bukan bank syariah? Justru itu tantangannya. Bagaimana bank syariah berperan tidak kalah dengan bank konvensional di percaturan industri perbankan negeri ini
- Bagaimana jika dibandingkan dengan bank syariah global? Menurut data yang dikutip www.thasianbanker.com, bank syariah terbesar dunia adalah Al Rajhi bank dari Saudi Arabia dengan aset USD 111,3 miliar alias Rp 1 565 triliun, ekuitas USD 13,8 miliar (Rp 194 triliun) dan laba USD 1,3 miliar (Rp 18 triliun). Terbesar kedua adalah Dubai Islamic Bank dengan aset USD 80,3 miliar, ekuitas USD 9,9 miliar dan laba USD 577 juta. Kedua sampai kesepuluh masing masing adalah Kuwait Finance House, Maybank Islamic, Qatar Islamic Bank, Alinma Bank, Abu Dhabi Islamic Bank, Masraf Al Rayan, Al Baraka Banking Group, dan CIMB Islamic Bank. Malaysia hadir dengan dua bank yaitu Maybank Islamic dan CIMB Islamic. CIMB Islamic beraset USD 26,1 miliar (Rp 367 triliun), ekuitas USD 1,6 miliar (Rp 22 triliun), laba USD 49 juta (Rp 689 miliar).
- Untuk menyamai aset CIMB Islamic, sesuai angka di atas, BSI harus menambah aset sebesar Rp 152 triliun. Dengan asumsi syarat kecukupan modal minumum (CAR) 12%, maka untuk mencapai aset seperti CIMB Islamic dibutuhkan modal (ekuitas) sekitar Rp 44 trilun.
- Dengan posisi ekuitas sebagaimanadi atas yang Rp 20 triliun, masih dibutuhkan tambahan ekuitas Rp 24 triliun untuk bisa mengejar CIMB Islamic. Padahal, jika laba tahunan diasumsikan sama dengan dua kali laba semesteran, maka tiap tahun BSI akan memperoleh laba Rp 2 triliun. Jika laba tersebut tetap dan tidak pernah diambil sebagai dividen dibutuhkan wakatu 12 tahun untuk bisa mengejar CIMB Islamic. Jikapun laba naik, tidak mungkin akan bisa dicapai dalam waktu 4 tahun kedepan yaitu tahun 2025 sebagaimana yang selama ini didengung-dengungkan. Padahal yang dikejar dalam waktu sepanjang itu juga terus berlari
- Tidak adakah cara lain untuk mencapatakn tambahan modal sebesar Rp 24 triliun itu dalam wakktu dekat? Sebenarnya ada. Kapitalisasi pasar BSI saat ini adalah Rp 111 triliun. Jika BSI melakukan penerbitan saham baru (rights issue) sebesar 22% saham, akan diperoleh Rp 24 triliun. Persis seperti yang dibutuhkan untuk mengejar CIMB Islamic dalam perhitungan di atas.
- Dan tentu saja pelaksanaannya tidak bolehh sekali rights issue. Tetapi dilakukan bertahap supaya lebih optimal. Misal tahap pertama 10% dengan memperoleh dana Rp 11 triliun. Dana itu diputar dulu untuk meningkatankan aset. Genjot program promosi agar masyarkat menyimpan uangnya di BSI. Dengan demikian laba akan meningkat. Selanjutnya, right issue tahap kedua dengan menerbitkan 10% saham pereolehannya sudah akan jauh lebih tinggi ari pada tahap pertama. Efeknya akan seperti bola salju.
- Sayang seribu sayang, tradisi rights issue tidak berlaku di dunia korporasi indonesia pada umumnya. Perusahaan-perusahaan Indonesia masih bermindset mempertahankan keberadaan pemegang saham pengendali. BRI, BNI, Mandiri dan BTN yang sudah lebih lama IPO pun tidak punya tradisi rights issue. Jangan heran jika misalnya BRI yang jauh lebih tua dari Maybank tapi asetnya hanya sekitar separuh Maybank.
- Masih banyak yang memandang right issue BUMN sama dengan menjual aset negara. Takut. Pandangan ini salah total. Tapi masih banyak yang berpersepsi seperti ini. OJK pun masih mengatur bahwa bank harus memiliki pemegang saham pengendali. BSI tidak bisa seperti CIMB yang sudah tidak lagi ada pemegang saham pengendali. Yang sudah mencapai fully corporatized dalam 8 step corporate life cycle. Yang tidak tidak perlu lagi takut hilangnya pengendalian karena melakukan rights issue.
- Dengan mindset seperti itu, right issue BSI itu hanya sekedar fatamorgana. Perkembangan BSI akan menunggu akumulasi laba. Itupun tidak akan sepenuhnya karena negara butuh dividen untuk APBN. Laba tidak bisa diharapkan untuh menjadi pemicu pertumbuhan. Kecuali ada perubahan paradigma dalam waktu singkat. Ada revolusi mindset menjadi korporatisasi. Semoga.

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga:
Corporate Life Cycle
Korporatisasi Langkah Demi Langkah
Korporatisasi: Asal Muasal
SWF: investment company BUMN
*)Artikel ke-311 karya Iman Supriyono ini ditulis di kantornya, SNF Consulting, pada tanggal 5 Pebruari 2021
Saya baca artikel Bpk dari linkedin. Kebetulan saya bekerja di Bank Indonesia sebagai komite adhoc perwakilan BI, dalam merger Bank Syariah Indonesia. Sebetulnya wacana untuk rights issue sudah diakomodasi dalam corporate plan BRIS dan BNIS, karena ada event merger maka otomatis akan dikonsolidasikan corporate plan existing dengan BSM termasuk rencana right issue tersebut.
Terimakasih telah membaca tulisan saya. Semoga BSI bisa tumbuh dengan memanfaatkan intangible assetnya melalui rights issue terus menerus sampai membesar sekelas bank Mandiri
Bismillah…
Alhamdulillah masih ada yg berfikir progresif positif menanggapi tulisan saran yth mas Supriyono ini. Semoga niat baik nan ikhlas ini Alloh catat se khhoirul amal.
Publik tunggu IMPLEMENTASI dari WACANA ” corporate plan ” BSI ini.
Langka nya KEJUJURAN dan NIAT & KOMITMEN di negeri ini ( + 62 ) masih jadi HANDICAP apapun yg di PLANNING kan.
Barakallohu fikum mas Supriyono. Wassalamu’alaykum.
Terimakasih apresiainya. Moga kedepan BSI lebih baik
Semoga hidup tanpa riba
aamin yaa Rabb
Ping-balik: Waskita di Tepi Jurang: Koreksi Diri Atau Mati? | Korporatisasi
Ping-balik: Bagaimana Gadjah Tunggal – Sjamsul Nursalim Mengembalikan Rp 4,58 T? | Korporatisasi
Ping-balik: Waskita Beton Digugat Pailit: Induk Sakit Anak pun Sakit | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda Tanpa Mudik: Utang Melebihi Aset | Korporatisasi
Ping-balik: Vaksin Covid: Yunior-Senior Astra Zeneca-Kimia Farma | Korporatisasi
Ping-balik: Mengapa Unicorn Kita Dikuasai Asing? | Korporatisasi
Ping-balik: Gedung Saja Tidak Cukup: Menara 165 Colliers | Korporatisasi
Ping-balik: Pancasila Versus Al Quran, Pilih Mana? | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda Masker Lima: Masalah Tata Kelola | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda, Inalum, Pertamina : Direksi & Komisaris Lalai? | Korporatisasi
Ping-balik: Giant Tutup: Sulitanya Menemukan Kembali RPD | Korporatisasi
Ping-balik: BTS Meal McD: Tantangan Langkah Kedelapan CLC | Korporatisasi
Ping-balik: Cristiano Ronaldo Merugikan Coca Cola? | Korporatisasi
Ping-balik: Utang Segunung: Pusingnya Direksi Garuda | Korporatisasi
Ping-balik: Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi? | Korporatisasi
Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi
Ping-balik: Scale Up: Betulan atau Omong Doang? | Korporatisasi
Ping-balik: Bom Waktu PDAM Surabaya | Korporatisasi
Ping-balik: Tidak Macet: Mandat Penuh Pemerintah | Korporatisasi