Giant Tutup: Sulitnya Menemukan Kembali RPD


Senin, 7 Juni 2021. Saya bersama anak-anak berbelanja “perpisahan” dengan Giant AR Hakim Surabaya. Dan pada perpisahan ini saya bersama anak-anak berbelanja dengan nilai nominal terbesar sepanjang pengalaman kami sekeluarga berbelanja di gerai milik PT Hero Supermarket Tbk itu. “Termakan” diskon besar-besaran menjelang tutup.

Toko dekat rumah ini pernah menginspirasi saya sampai terbitnya tulisan ini. Inspirasi tentang cinta sepasang suami istri yang merintis pendirian perusahaan. Cinta yang berbuah sebuah konsep bisnis baru di Indonesia ketika itu.  Cinta yang berbuah Hero sebagai sebuah korporasi supermarket pertama. Sesuatu yang dalam corporate life cycle (CLC) disebut sebagai revenue and profit driver (RPD) dan terbukti sukses.

Giant tutup sebagai sebuah kegagalan menemukan kembali RPD

Kini, Giant hampir tutup. Sebagai perusahaan, Hero ini sedang menjalani fase-fase penting dalam sejarahnya. Tentu ada pelajaran penting dari perjalanan perusahaan ini. Pelajaran tentang spirit bisnis. Pelajaran tentang CLC. Pelajaran tentang RPD. Pelajaran tentang IPO Trap. Saya akan menuliskannya dengan kerangka CLC dalam bentuk poin-poin. Selamat menyimak.

  1. Keberadaan Giant di Indonesia bermula dari tahun 1954 ketika MS Kurnia bersama kakaknya, Wu Guo Chang, mendirikan CV Hero yang bergerak di bisnis makanan dan minuman impor. Inilah step pertama dalam CLC. MS Kurnia yang lahir 1 Desember 1934 ini sudah biasa berjualan makanan sejak bangku sekolah. Tahun 1959 Wu Gou Chang mengundurkan diri. Bisnis sepenuhnya dilanjutkan oleh MS Kurnia.
  2. Kehidupan keluarga MS Kurnia yang sepenuhnya menggantungkan nafkahnya pada Hero  menunjukkan bahwa perusahaan telah melalui tahap kedua yaitu rugi, lanjut tahap ketiga yaitu break event point (BEP), dan berikutnya tahap keempat yaitu laba.
  3. Tahun 1970-an MS Kurnia berama istri, dibantu seorang ekspatriat asal Kanada, Mr Charles Turton, melakukan survei toko ritel modern ke Singapura. Survei ini menghasilkan konsep bisnis supermarket. Tanggal 31 Agustus 1971 dibukalah supermarket pertama Hero di Jalan Faletehan 23 Jakarta.  
  4. Dilakukannya survei ke Singapura mengindikasikan bahwa Hero telah berada pada tahap proses menemukan RPD. Sampai proses tahap kelima CLC ini kita tidak bisa memotretnya secara eksak melalui laporan keuangan perusahaan. Jadi sifatnya hanya perkiraan. Saat itu Hero belum tercatat di lantai bursa sehingga laporan keuangannya belum tersedia.
  5. Proses menemukan RPD terus berjalan. Satu demi satu gerai Hero supermarket dibuka. Tahun 1980 Hero telah memiliki 9 gerai. Ini menunjukkan bahwa perusahaan telah menemukan RPD nya. Perusahaan telah berada pada step keenam dalam CLC. Membuka kurang lebih satu gerai tiap tahun sepanjang dekade 1970-an.
  6. Tanggal 21 Agustus 1989, Hero melakukan IPO. Ini adalah penanda perusahaan telah berada pada step keenam dalam CLC yaitu scale up. Saat dimana perusahaan berekspansi dengan dana berkali-kali lipat laba. Lebih dari 5x laba.
  7. Dengan penerbitan saham melalui IP0 ini MS Kurnia sebagai pendiri mengalami dilusi sehingga sahamnya menjadi 50,1%. Sisanya dimiliki oleh PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) sebanyak 10,42%, SSV Netherland BV sebanyak 10,20%, Mulgrave 7,63% dan publik 21,65%.
  8. Angka 50,1% yang dipegang pendiri ini menunjukkan bahwa Hero sudah berada pada titik kritis korporatisasi. Titik kritis ini mestinya hanya boleh terjadi saat sistem manejemen perusahaan sudah terbentuk. Bila belum, maka perusahaan akan berjalan tanpa pimpinan yang kuat. Cenderung akan mengalami IPO Trap. Perjalanan Hero berikutnya menunjukkan bahwa kesalahan ini benar-benar terjadi.
  9. Mestinya, sekali menerbitkan saham, termasuk melalui IPO, Hero hanya menerbitkan maksimum sekitar 10%. Dengan cara ini, Hero akan mendapatkan dua keuntungan. Pertama adalah masih adanya ruang untuk melakukan scale up  yaitu berekspansi dengan dana lebih dari 5x laba secara terus-menerus. Caranya adalah terus menerus menerbitkan saham lagi untuk ekspansi dan pendiri tidak kehilangan kendali. Kendali baru boleh dan harus terlepas saat sistem manajemen terbentuk. Scale up tetap jalan tanpa ada pemegang saham pengendali tetapi perusahaan tetap berjalan dengan baik dengan sistem manajemen.
  10. Selanjutnya, titik kritis benar-benar harus dilewati. Hero sebagai korporasi terus berekspansi dengan menerbitkan saham baru. Akhirnya perusahaan konglomerasi Jardine Matheson menjadi pemegang saham pengendali. Sebagaimana dalam tulisan-tulisan di web korporatisasi.com yang lain, konglomerasi itu bersifat banci. Tidak memiliki core competence dan cost of capitalnya cenderung mahal.
  11. Tahun 2002 Hero sebagai korporasi mulai membuka gerai Giant. Karena brand ini berasal dari Malaysia, maka Hero tentu mengoperasikannya dengan lisensi dari prinsipalnya yaitu Dairy Farm. Dairy Farm sendiri juga mengalami nasib seperti Hero. Salah langkah dalam  menjalani step by step CLC dan akhirnya ada konglomerasi Jardine Matheson sebagai pemegang saham pengendali.
  12. Sejak tahun 1990-an, dunia retail tanah air berubah. Supermarket besar perlahan tapi pasti tergusur oleh kehadiran masif minimarket. Pemain utamanya adalah Indomaret disusul oleh Alfamart. Maka, kehadiran Giant oleh Hero sebagai perusahaan bisa dibaca bahwa supermarket Hero sudah tidak lagi berfungsi sebagai RPD. Ini adalah hal biasa dalam CLC.
  13. Perbahanan masyarkat bisa menjadikan perusahaan kehilangan RPD yang sebelumnya telah dimilikinya dan menjadi sarana scale up. Namanya juga siklus. Ada kenaikan ada penurunan. Hero sebagai korporasi kehilangan Hero supermarket sebagai RPD. Perusahaan dipaksa untuk menemukan kembali RPD.
  14. Andai saja Hero tidak salah langkah saat IPO, proses menemukan kembali RPD ini masih bisa dipimpin oleh keluarga pendiri. Ini sangat penting. Sangat urgen. Disiplin dan spirit keluarga pendiri sangat dibutuhkan ketika ukuran perusahaan belum memenuhi syarat untuk terbentuknya sistem manajemen.
  15. Tapi ini sudah terjadi pada Hero. Maka, proses menemukan kembali RPD Hero dikendalikan oleh konglomerasi Jaardine Matheson yang tidak memiliki kompetensi. Secara natural konglomerasi memang tidak memiliki core competence yang dibutuhkan untuk menemukan dan menemukan kembali RPD. Hasilnya, sebagai perusahaan Hero membuka Guardian, IKEA, Jason, dan Starmart.  Mencomot merek-merek yang sudah ada dari perusahaan lain. Tidak benar-benar berproses menemukan kembali RPD seperti yang dilakukan pendiri sejak tahun 1970 sampai akhir tahun 1980-an.
  16. Proses menemukan kembali RPD memang tidak mudah. Dan, hari-hari ini, proses tutupnya Giant kembali menjadi bukti bahwa proses itu belum sukses dilakukan oleh Hero sebagai korporasi.
  17. Secara keuangan, tahun 2013 perusahaan memperoleh laba Rp 671 miliar. Naik lebih dari 2x lipat dari tahun sebelumnya yang Rp 303 miliar. Omzetnya Rp 11,9 triliun. Naik 13% dari tahun sebelumnya yang Rp 10,5 triliun. Ini menunjukkan bahwa proses menemukan kembali RPD akibat gempuran kehadiran minimarket sejak tahun 1990-an menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
  18. Tahun 2014 omset masih meningkat menjadi Rp 14,8 triliun. Tapi laba justru menurun tinggal menjadi Rp 44 miliar. Ekspansi yang ditandai dengan pertumbuhan omzet tidak menghasilkan pertumbuhan laba. Dengan ini maka Hero tidak lagi menggenggam RPD. Pertumbuhan omzet tidak berbuah pertumbuhan profit.
  19. Tahun 2015 omzet menjadi Rp 14,4 triliun tapi justru perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp 144 miliar. Menegaskan bahwa perusahaan telah kehilangan RPD dan kembali berjuang mencapai  step ke-4 dalam CLC yaitu menghasilkan laba.
  20. Tahun 2016 omzet turun menjadi Rp 13,7 triliun dan perusahaan menghasilkan laba Rp 121 miliar. Tahun 2017 omzet turun lagi tinggal Rp 13,0 triliun dan perusahaan mengalami kerugian Rp 191 miliar. Ini menujukkan bahwa perusahaan belum sukses mempertahankan posisi pada  step ke-4 dalam CLC yaitu laba pada tahun 2016. Subsidiary dari kongolomerasi Jardine Matheson ini makin sulit menghadapi pertumbuhan masif bisnis online.
  21. Tahun 2018 omzet stagnan pada Rp 13,0 triliun dan kembali rugi besar Rp 1,3 tiliun.  Tahun 2019 omzet kembali turun menjadi Rp 12,2 dengan rugi tahun berjalan Rp 28 miliar. Tahun 2020 omzet turun lagi menjadi Rp 8,9 triliun dengan kerugian Rp 1,2 triliun. Tahun 2020 kondisi menjadi berat seiring dengan munculnya pandemi yang berkepanjangan.
  22. Triwulan pertama tahun 2021 omzet Rp 1,8 triliun. Turun 31%  dibanding triwulan pertama tahun sebelumnya yang sebesar 2,6 triliun. Penurunan terus yang tak terbendung ini menunjukkan bahwa perusahaan masih harus terus berjuang dan belum sukses menemukan kembali RPD nya seiring dengan perubahan pasar.
  23. Akhir 2012 saldo laba Rp 1,4 triliun. Akhir triwulan pertama 2021 saldo laba menjadi Rp 1,4 triliun. Dengan demikian akumulasi rugi sepanjang tahun 2013 sampai triwulan pertama 2021 adalah Rp 2,8 triliun. Rata-rata kerugian adalah sekitar Rp 400 miliar per tahun.
  24. Jika kerugian ini terus berjalan maka nilai ekuitas yang kini Rp 1,9 triliun dalam waktu 5 tahun akan minus.  Inilah akibat dari proses pencarian kembali RPD yang tidak kunjung sukses. Sekali lagi, salah satu penyebab utamanya adalah Hero sebagai korporasi adalah anak perusahaan dari sebuah perusahaan konglomerasi. Sebagai anak perusahaan seluruh strategi tergantung induk. Sementara sebagai perusahaan konglomerasi si induk tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk melakukan proses menemukan kembali RPD. Konglomerasi adalah sebuah perusahaan “banci” yang tidak jelas “jenis kelamin” nya apakah sebagai operating company atau investing company.
  25. Apakah tidak ada solusi? Tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Hanya saja terkadang solusi itu adalah ibarat pil pahit yang harus ditelan. Siapkah manajemen Hero melakukannya? Kita tunggu saja sampai 5 tahun ke depan…..

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI

Baca juga:
Korporatisasi perusahaan keluarga
Korporatisasi menghindari pseudo CEO
Waskita Beton digugat pailit: anak sakit induk sakit
Harapan BSI, nyata atau fatamorgana
BUMN berjamaah merger akuisisi
Wika gali lobang tutup lobang
SWF antara harapan dan belenggu
Corporate life cycle
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal

Artikel ke-331 karya Iman Supriyono ini ditulis di Surabaya, pada tanggal 8 Juni 2021

28 responses to “Giant Tutup: Sulitnya Menemukan Kembali RPD

  1. Ping-balik: BTS Meal McD: Tantangan Langkah Kedelapan CLC | Korporatisasi

  2. Ping-balik: Cristiano Ronaldo Merugikan Coca Cola? | Korporatisasi

  3. Ping-balik: Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi? | Korporatisasi

  4. Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi

  5. Selamat malam Pak. Saya Asep Saifuddin Spv Maison Feerie Wil Barat. Kebetulan sy pernah bekerja di Hero Group medio thn 2014. Jardine matheson memang induk Hero Group, namun di bawah JM ada Dairy Farm yg punya kompetensi sangat bagus di bidang retail. Dairy farm jd holding dr beberapa supermarket ternama sprti GNC, Shopwise, Guardian, Marketplace, etc. Jadi sebetulnya JM hanya berfungsi sebagai investor dana. Giant sendiri hanya sebagian kecil dr portofolio Dairy Farm Global. Saat ini industri retail offline menghadapi disrupsi yg luar biasa dr online retailer. Inilah yang membuat Giant harus me-redefine kembali format bisnisnya. Faktanya, msh banyak bisnis Dairy farm yang msh sehat dan adaptable dgn disrupsi.

    Mohon Bpk bisa cross check dulu atau mungkin bisa bekerja dulu di bidang retail baru akan paham ceruknya. Terima kasih.

    • Terimakasih atas komentarnya. Keputusan pemegang saham pengendali adalah penentu mutlak bagi sebuah perusahaan.

      • Betul Pak. Di JM sendiri ada Keswick Family yang dominan & juga menempatkan keluarganya di Dairy Farm. Masing2 keswick Family member punya kompetensi yang tdk main2. Bahkan kini sdh 4 generasi.

        Itulah mengapa Giant disuntik mati, karena memang sedang berproses redefinisi RPDnya. Bisa digoogling Pak kiprah keluarga Keswick di dunia bisnis.

  6. Ping-balik: Scale Up: Betulan atau Omong Doang? | Korporatisasi

  7. Ping-balik: Faktor Kali Alias RPD | Korporatisasi

  8. Ping-balik: Pedal Gas: Revenue & Profit Driver | Korporatisasi

  9. Ping-balik: Corong Menuju RPD | Korporatisasi

  10. Ping-balik: Funneling Marketing: Corong RPD | Korporatisasi

  11. Ping-balik: N250 & Kemustahilan Habibie | Korporatisasi

  12. Ping-balik: Rebranding: Ya atau Tidak? | Korporatisasi

  13. Ping-balik: Rebranding Jangan Sembarangan | Korporatisasi

  14. Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi

  15. Ping-balik: Bom Waktu PDAM Surabaya | Korporatisasi

  16. Ping-balik: Tidak Macet: Mandat Penuh Pemerintah | Korporatisasi

  17. Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi

  18. Ping-balik: Entrepreneur: Memulai, Visi Besar &Perceraian | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Cokroaminoto – Zara: Jalan Sunyi Para Pebisnis | Korporatisasi

  20. Ping-balik: Daun Jati: Puluhan Tahun Kerja Keras | Korporatisasi

  21. Ping-balik: Corporate Life Cycle | Korporatisasi

  22. Ping-balik: RPD Starbucks: Kegagalan Yang Baik | Korporatisasi

  23. Ping-balik: “Terpaksa” Waralaba | Korporatisasi

  24. Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi

  25. Ping-balik: Biaya Belajar atau Biaya Kebodohan: Pilih Mana? | Korporatisasi

  26. Ping-balik: Starbucks Saudi: Sang Putri Menyelam | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s