Sholat berjamaah berpahala dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendiri-sendiri. Ini adalah konsep dasar yang dipahami umat Islam sehingga masjid-masjid selalu memiliki program sholat berjamaah lima waktu dan didatangi kaum muslim. Dalam dunia bisnis, sejarah perusahaan-perusahaan yang kini menguasai ekonomi dunia selalu penuh dengan proses merger, akuisisi, korporatisasi dan hadirnya investment company. Proses itu adalah aplikasi konsep berjamaah dalam ekonomi.
Sayang seribu sayang, diibaratkan sholat berjamaah, masih banyak pelaku bisnis yang enggan datang ke masjid dan berdalih “Ngapain sholat berjamaah kalo gua tidak jadi imam”. Akibatnya ekonomi negeri ini dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Karena mereka kekuatannya “dua puluh tujuh derajat”. Sedangkan disini masih satu derajat karena “shalatnya” tidak berjamaah. Mental yang sudah “sholat sendirian” ini sudah dikikis lebih dari seabad lalu oleh perusahaan-perusahaan yang kini menguasai ekonomi dunia seperti Boeing, Airbus, Unilever, Toyota, dan lain-lain.

Jika berjamaah, BUMN memiliki kekuatan penuh untuk menjayakan negeri ini di kancah percaturan antar bangsa. Bagaimana caranya? Bagaimana korporatisasi BUMN? Bagaimana merger dan akuisisi antara BUMN? Perlukah holding untuk BUMN-BUMN dengan bidang sejenis? Berikut ini pokok-pokok pemikiran stratejik hasil diskusi internal berbasis data dan hasil riset di SNF Consulting, www.snfconsulting.com, kantor tempat saya beraktivitas dan berkarya sehari-hari:
- Menurut BPS, posisi 2017 Pemerintah RI memiliki 105 BUMN yang terdiri dari 14 Perum, 84 Persero dan 17 Persero Tbk. Beberapa diantaranya telah memiliki akar sejarah telah hadir di dunia bisnis jauh sebelum RI berdiri bahkan lintas abad. BUMN memiliki potensi yang luar biasa besar.
- Tetapi sayang sekali potensi tersebut belum terkelola dengan optimal. Sebagai gambaran, PTDI mestinya sebaya dengan Embraer, BUMN Brazil, yang kini menjadi produsen pesawat komersial terbesar ketiga di dunia setelah Boeing dan Airbus. Pos Indonesia mestinya berpeluang menjadi seperti DHL, kantor pos Jerman. Bank BRI yang usianya 2x lipat Maybank tetapi asetnya hanya separuh Maybank.
- Untuk itu selanjutnya dibutuhkan strategi yang tepat untuk mengelola potensi yang ada agar menjadi kekuatan bisnis.
Kasus seperti penjualan Indosat bisa dihindari jika BUMN melakukan konsolidasi dengan pola korporatisasi
- Berdasarkan potensi pengembangannya, BUMN dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang telah memiliki revenue and profit driver (RPD) dan yang belum memilikinya. Yang memiliki RPD berarti sudah pada pada tahap kelima corporate life cycle. RPD adalah aset yang begitu dimiliki oleh sebuah perusahaan akan langsung meningkatkan pendapatan (revenue) dan profit (laba). Sebagai gambaran, RPD bagi sebuah perusahaan penerbangan adalah pesawat terbang. Perusahaan penerbangan disebut telah memiliki RPD jika sudah terbukti mampu terus-menerus menambah armada pesawat dan mengoperasikannya untuk memperoleh pendapatan dan laba. RPD bagi sebuah perusahaan semen adalah pabrik semen yang begitu dibangun langsung meningkatkan pendapatan dan laba. RPD bagi sebuah perusahaan perbankan adalah peningkatan modal disetor yang langsung memperbaiki CAR, ekspansi pendanaan, ekspansi kredit dan berujung laba.
- BUMN yang telah memiliki RPD berpotensi dikembangkan agar ber pertumbuhan tinggi untuk mengibarkan Sang Merah Putih tinggi-tinggi di kancah bisnis global di bidangnya masing-masing. Melakukan scale up alias tahap keenam dari corporate life cycle. Mampu berekspansi di pasar berbagai negara asing melalui akuisisi perusahaan sejenis di luar negeri.
- BUMN yang belum menemukan RPD harus dilakukan proses penemuan kembali (reinventing) core competence-nya sampai memperoleh RPD.
- BUMN yang sudah memiliki RPD dapat dikelompokkan menjadi 2: Persero Tbk dan Persero yang belum Tbk. Yang sudah Tbk digenjot ekspansinya melalui rights issue secara terus-menerus. Yang belum Tbk disegerakan untuk menjadi Tbk atau bila bila ukurannya masih belum optimal bisa melakukan korporatisasi di luar lantai bursa.
- Jika dalam satu industri (bidang) terdapat lebih dari satu BUMN harus dilakukan konsolidasi melalui akuisisi atau merger. Bukan dengan pembentukan holding company di bidang tersebut. Sebagai gambaran, di sektor perbankan ada 4 BUMN yang sudah Tbk yaitu BRI, Bank Mandiri, BNI dan BTN. Keempat bank tersebut masing masing memiliki kapitalisasi pasar pada hari ini sebesar 466T, 340T, 168T dan 28T dengan PER masing-masing 16x, 17x, 13x, dan 9x. Artinya, jika melakukan merger atau akuisisi, keempat bank BUMN tersebut akan memiliki kapitalisasi pasar Rp 1002T dengan PER 16 (rata-rata). Gabungan dari bank ini jauh lebih powerfull dibanding Maybank misalnya yang market capital nya MYR 169,69 Milyar (IDR 576 T) dengan PER 13. Juga lebih powerfull daripada OCBC bank yang SGD 49,38 Milyar (IDR 513T) dengan PER Juga lebih powerfull daripada bank UOB yang SGD 43,61 Milyar (IDR 474 T) dengan PER 13,08.
Merger dan akuisisi adalah solusi bagi BUMN. Mau?
- Secara hitungan kondisi saat ini, gabungan keempat bank BUMN tersebut misalnya saja akan mampu mengakuisisi bank CIMB yang market cap nya sebesar MYR 54 Miliar (IDR 185 T) dengan PER 11 cukup dengan menerbitkan saham baru (rights issue) sebesar sekitar 18 % dari total saham (dihitung dengan persentase setelah rights issue).
- merger dan akuisisi juga harus dilakukan terhadap anak perusahaan BUMN yang berada pada industri yang sama. Rumah sakit seperti RS Pertamina, RS Pelabuhan, RS anak BUMN yang lain dilepas dari BUMN didivestasi dari BUMN induknya membentuk BUMN baru di bidang perumahsakitan. Bank Syariah anak perusahaan Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BTN dan bank BNI didivestasi dari induknya menjadi satu bank syariah besar.
- Mengapa merger atau akuisisi dan bukan holding company? untuk menjawab pertanyaan ini harus dipahami bahwa sebuah holding company (investment company) adalah perusahaan yang tidak memiliki operasional sehingga juga tidak memiliki pendapatan operasional. Pendapatannya sepenuhnya berasal dari dividen perusahaan-perusahaan yang sahamnya dipegang (investee) dan capital gain jika saham tersebut dijual. Banyak kesalahpahaman tentang holding company.
- Maka yang tepat dalam terminologi holding adalah saham pemerintah di seluruh BUMN dialihkan pada satu perusahaan holding alias investment company. Bentuknya seperti Temasek (Singapura) atau Khazanah (Malaysia). Jika ini terjadi maka RI akan memiliki sebuah investment company (IC) dengan kekuatan sekelas Temasek. IC tersebut juga akan mampu menyuntik perusahaan-perusahaan start up seperti Gojek atau sejenisnya dengan menganggarkan sekitar 0,1 sampai 0,2% dari total aset kelolaannya.
Kekuatan BUMN akan menjadi raksasa jika dikonsolidasikan dengan cara yang tepat
- Konsolidasi BUMN tambang dengan mengalihkan saham pemerintah di beberapa perusahaan tambang kepada PT Inalum adalah model yang tepat. Dengan demikian PT Inalum menjadi sebuah perusahaan besar yang telah memiliki RPD. Seperti contoh BUMN perbankan diatas, Inalum memiliki kekuatan mengakuisisi perusahaan-perusahaan tambang sejenis di berbagai negara dengan modal dari lantai bursa melalui IPO dan rights issue secara terus menerus. Menjadi perusahaan pertambangan kelas dunia dengan lokasi tambang di berbagai negara. Apa yang dilakukan Vale si BUMN Brazil bisa menjadi contoh. Bagaimana Vale bisa mengakuisisi Inco Canada termasuk anak perusahaannya di Sorowako Indonesia yang kemudian di-rebranding menjadi Vale Indonesia.
- Koreksi sedikit dari model Inalum adalah kebijakan utang untuk akuisisi PT Freeport Indonesia. Strategi ini tidak tepat. Mestinya adalah dengan melakukan korporatisasi yaitu penerbitan saham baru Inalum melalui lantai bursa.
- Model konsolidasi perusahaan tambang pada PT Inalum mesti terus-menerus dilakukan di berbagai sektor bidang garap BUMN. Intinya, pilih perusahaan yang paling besar di sektor itu. Lalu alihkan seluruh saham pemerintah di BUMN lain di sektor itu pada perusahaan terbesar tersebut. Akhirnya seluruh BUMN sektor tersebut akan menjadi anak perusahaan dari BUMN yang terbesar.
- Selanjutnya akan hanya ada satu BUMN pada setiap industri (bidang). BUMN ini didorong untuk terus membesar dengan terus menerus menerbitkan saham baru untuk membiayai ekspansi pada RPD-nya. Inilah yang akan menjadikan cost of capital ekspansi BUMN menjadi sangat rendah. Hanya sekitar 2-3% pertahun. Dengan angka ini BUMN akan leluasa melakukan ekspansi baik melalui pertumbuhan organik maupun melalui anorganik dengan akuisisi di berbagai negara.
- RI pun akan memiliki banyak BUMN sekelas DHL, Embraer, Vale dan lain-lain. Mengibarkan Sang Merah Putih di berbagai negara. Membanggakan bangsa. Menguatkan rupiah secara terus-menerus dengan memompakan uang dari berbagai penjuru dunia. Generasi muda kita akan menjadi direksi berbagai anak perusahaan BUMN di berbagai negara. Bisa. Semoga.
Ditulis oleh Iman Supriyono di SNF Consulting, 29 Januari 2019
Bagus pak tulisannya u menambah khasanah teori optimalisasi bumn di negara kita
Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Investment Company: Memulainya? | Catatan Iman Supriyono
Lebih parah sektor perkebunan. Tidak satupun BUMN perkebunan yang Tbk. Mungkin ini Salah satu penyebab BUMN sektor perkebunan tidak mengalami pertumbuhan significant (dalam hal luas pengelolaan lahan) sejak tahun 2000, melewatkan masa pertumbuhan lahan yang sangat agresif oleh banyak perkebunan swasta. Termasuk juga terlihat belum mencoba untuk beroperasi dimanca negara (Afrika). Banyak perusahaan perkebunan besar yang sudah mulai aktif beroperasi di Afrika (Simedarby-Malaysia, Olam International, Wilmar, dll).
Memang secara laporan keuangan (outdated annual report) sepertinya BUMN perkebunan kurang efisien dibanding perusahaan perkebunan Tbk.
Sekali sekali mohon diulas Cak Iman, tentang BUMN perkebunan.
Terima kasih.
Ping-balik: Pertamina: IPO Anak Perusahaan? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Corporate Life Cycle | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Corporate Life Cycle – SNF Consulting
Ping-balik: Harapan Bank Syariah Indonesia, Nyata atau Fatamorgana? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? – SNF Consulting
Ping-balik: SWF: Antara Harapan dan Belenggu | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Wakaf ACR: Fulbright Dari Timur | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Wakaf: Agar Rp 10 Triliun Tidak Melayang Tiap Tahun | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Waskita di Tepi Jurang: Koreksi Diri Atau Mati? | Korporatisasi
Ping-balik: Bagaimana Gadjah Tunggal – Sjamsul Nursalim Mengembalikan Rp 4,58 T? | Korporatisasi
Ping-balik: Waskita Beton Digugat Pailit: Induk Sakit Anak pun Sakit | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda Tanpa Mudik: Utang Melebihi Aset | Korporatisasi
Ping-balik: Vaksin Covid: Yunior-Senior Astra Zeneca-Kimia Farma | Korporatisasi
Ping-balik: Gedung Saja Tidak Cukup: Menara 165 Colliers | Korporatisasi
Ping-balik: Pancasila Versus Al Quran, Pilih Mana? | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda Masker Lima: Masalah Tata Kelola | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda, Inalum, Pertamina : Direksi & Komisaris Lalai? | Korporatisasi
Ping-balik: Giant Tutup: Sulitanya Menemukan Kembali RPD | Korporatisasi
Ping-balik: BTS Meal McD: Tantangan Langkah Kedelapan CLC | Korporatisasi
Ping-balik: Cristiano Ronaldo Merugikan Coca Cola? | Korporatisasi
Ping-balik: Utang Segunung: Pusingnya Direksi Garuda | Korporatisasi
Ping-balik: Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi? | Korporatisasi
Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi
Ping-balik: Scale Up: Betulan atau Omong Doang? | Korporatisasi
Ping-balik: Investasi Telkom ke Goto: Strategic Fool? | Korporatisasi
Ping-balik: Merger & Akuisisi: Transaksi RPD | Korporatisasi
Ping-balik: Bom Waktu PDAM Surabaya | Korporatisasi
Ping-balik: Tidak Macet: Mandat Penuh Pemerintah | Korporatisasi
Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi
Ping-balik: Manfaat Bagi Sesama: 4 Ukuran Perusahaan | Korporatisasi