Hari raya tahun ini akan kita lalui dengan larangan mudik. Bagi sebagian orang, tanpa mudik artinya adalah penghematan. Apalagi jika kampung halaman berada nun jauh di sana. Apalagi jika anggota keluarganya banyak. Tanpa mudik artinya adalah penghematan biaya transportasi dan segenap biaya ikutannya. Bisa menguras persediaan uang. Dan tentu ini positif.
Tapi bagaimana tanpa mudik dalam kaca mata pelaku bisnis? Mari kita perhatikan apa yang dialami Garuda Indonesia. Sebuah perusahaan penerbangan yang mestinya panen pendapatan saat lebaran. Puncak-puncaknya lalu lintas penerbangan. Tiket dijual mahal pun tetap diburu pemudik. Bahkan jadwal penerbangan tambahan pun tetap dipenuhi penumpang.
Mari kita lihat sebelum pandemi. Tahun 2019. Pendapatan alias omzetnya adalah USD 4,57 miliar. Dalam Rupiah hari ini adalah Rp 65,79 triliun. Hingga saya menulis artikel ini, 15 April 2021, laporan akhir tahun 2020 belum terbit. Tetapi sampai akhir September, pendapatannya baru mencapai USD 1,14 miliar. Turun 68% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang USD 3,54 miliar.
Penurunan 68% tentu bukan main-main. Akibat yang paling terasa adalah kerugian. Nilainya adalah USD 1,09 miliar alias Rp 15,97 triliun. Rugi tersebut menggerus ekuitas alias modal sendiri Garuda. Benar-benar tergerus. Akhir September 2019 masih USD 721 juga. Akhir September 2020 menjadi minus 456 juta alias minus Rp 6,68 triliun. Artinya, jika seluruh aset Garuda dijual sesuai harga perolehan dan digunakan untuk membayar seluruh utangnya masih kurang Rp 6,68 triliun. Jadi pemegang saham sudah tidak punya lagi klaim terhadap aset. Yang ada adalah bagian utang.

Nah, bagaimana ketika tahun ini pemerintah menetapkan larangan mudik? Tentu masa panen akibat arus mudik tidak akan datang. Dan, harapan Garuda untuk memanen uang mudik pun tidak terjadi. Ini memang masih bersifat perkiraan. Apa yang terjadi sebenarnya baru bisa kita ketahui saat laporan keuangan sudah terbit. Paling tidak laporan keuangan bulan triwulan kedua.
Tapi tampaknya ini masih akan lama. Sedangkan laporan akhir tahun 2020 pun belum bisa dibaca di laman otoritas bursa. Laporan triwulan pertama 2021 tidak mungkin bisa kita baca sebelum laporan akhir tahun 2020 terbit. Dan publik sekarang masih menunggu laporan akhir tahun 2020 maskapai national flag carrier ini.
&&&
Pembaca yang baik, pandemi memang urusan nyawa. Dan urusan nyawa tentu lebih penting dari pada urusan kinerja perusahaan. Maka, larangan mudik bisa dibaca sebagai kepedulian pemerintah terhadap nyawa warga negaranya. Mengesampingkan kinerja ekonomi.
Garuda Indonesia hanyalah contoh. Akan ada banyak perusahaan-perusahaan yang sangat terdampak oleh larangan mudik ini. Untuk sekedar menyebut, salah satunya adalah perusahaan operator atau pemilik konsesi jalan tol. Tahun 2020 Waskita Karya misalnya, membukukan rugi tahun berjalan Rp 9 triliun lebih. Mestinya lebaran ini juga mendapatkan panen dari padatnya arus mudik. Tetapi dengan larangan ini tentu harapan itu juga akan tinggal harapan. Sulit untuk menjadi kenyataan.
Terkait dengan mudik juga akan berpengaruh pada perusahaan perhotelan. Biasanya, hotel-hotel di daerah penuh saat mudik. Orang-orang orang kota yang mudik ke kampung halaman butuh tempat tidur. Tidak mungkin semua tertampung di rumah keluarga. Tetapi dengan larangan mudik ini semua juga akan sekedar harapan.
Akan masih banyak daftar mereka-mereka yang terdampak larangan mudik. Tetapi kehidupan selalu begitu. Seperti roda. Ada saat di atas. Ada saat di bawah. Ada masa panen raya. Ada masa paceklik. Yang sukses adalah yang bisa bersiap menghadapi masa paceklik. Seperti Nabi Yusuf yang justru bisa menolong banyak orang saat terjadi paceklik 7 tahun. Garuda tampaknya belum siap. Anda bagaimana?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga:
Waskita Beton digugat pailit: anak sakit induk sakit
Harapan BSI, nyata atau fatamorgana
BUMN berjamaah merger akuisisi
Wika gali lobang tutup lobang
SWF antara harapan dan belenggu
Corporate life cycle
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasa
Artikel ke-326 karya Iman Supriyono ini ditulis untuk dan telah dimuat di majalah Matan edisi Mei 2021, terbit di Surabaya.
Untuk Garuda apa solusi nya pak ?
Apa di jual aja ke swasta pak ?
Apa masih perlu memiliki national flag carrier ?
Dijual dengan ekuitas negatif itu artinya pembelinya menanggung utang. Dan itupun uangnya tidak akan masuk ke perusahaan. Uang akan masuk kepada pemegang saham yang menjual sahamnya. Jadi tidak akan menjadi solusi bagi Garuda. Yang menjadi solusi adalah Garuda menerbitkan saham baru. Uangnya akan masuk ke Garuda untuk penanggulangan masalah yang ada
Untuk penerbitan saham baru, saham pemerintah menjadi terdilusi, kepemilikan negara menjadi berkurang.
Untuk saham2 bumn gmn pak kalo persyaratan nya hanya boleh dibeli oleh wni , sehingga kepemilikan saham bumn hanya milik bangsa indonesia saja.
Seperti ide nya pak said didu.
Ping-balik: Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi? | Korporatisasi
Ping-balik: Garuda, Evergrande: Beresi Utang Sebelum Terlambat | Korporatisasi
Ping-balik: Japfa, Bangun! | Korporatisasi
Ping-balik: Sodexo: Catering Olympiade Bisa! | Korporatisasi
Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi
Ping-balik: Kesetiaan Pearson: Penerbit Terbesar Dunia | Korporatisasi
Ping-balik: Ramadhan Eksekusi | Korporatisasi
Ping-balik: Rugi Pertamina – PLN: Rumor atau Fakta? | Korporatisasi
Ping-balik: Starbucks: Kegagalan Yang Baik | Korporatisasi
Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi
Ping-balik: Pertamina Versus Petronas 2021: Siapa Pemenangnya? | Korporatisasi
Ping-balik: Investasi Telkom ke Goto: Strategic Fool? | Korporatisasi
Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi
Ping-balik: Pertaruhan Hidup Mati Goto | Korporatisasi
Ping-balik: Iklan Holywings: Salah Karyawan atau Direksi? | Korporatisasi
Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi
Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi
Ping-balik: PKPU & Kepailitan: DPUM | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi
Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi
Ping-balik: Kesalahan Stratejik: IPO Anak Perusahaan Pertamina | Korporatisasi