Kesalahan Stratejik: IPO Anak Perusahaan Pertamina


Pertamina dikabarkan sedang merencanakan IPO untuk anak perusahaannya. Terjadi pro dan kontra. Ada pro kontra karena aspek politik. Ada juga pro kontra karena terkait kecurigaan adanya kecurangan-kecurangan dengan motif ekonomi dibalik  rencana tersebut. Nah, sebagaimana tulisan-tulisan sebelumnya, saya akan membahasnya hanya dari kaca mata strategic management. Apa masalah Pertamina? Apa untungnya IPO anak perusahaan? Apa ruginya? Apa alternatifnya? Apa argumen nya? Saya akan menuliskannya dengan format poin-poin.

  1. Ada banyak masalah di Pertamina. Menurut saya masalah yang paling urgen dan stratejik adalah ketidakmampuan BUMN itu mengelola ladang minyak milik negeri ini. Data per Agustus 2018 setelah akuisisi Blok Rokan dari Chevron yang ditelusuri SNF Consulting, kantor konsultan tempat saya berkarya,  menunjukkan bahwa Pertamina hanya mampu mengelola 15 dari 88 blok Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Dari 15 tersebut hanya 3 blok sepenuhnya dioperasikan oleh Pertamina.  Sisanya bekerja sama dengan pihak lain. Dua blok bekerja sama dengan Medco, satu blok dengan perusahaan daerah, dan 10 blok dengan perusahaan asing.
  2. Selain Pertamina, dalam daftar perusahaan lokal Medco mengelola 9 blok. Dari jumlah tersebut, 2 bekerja sama dengan Pertamina, 7 dikelola sendiri. Masih ada Lapindo yang mengelola satu blok. Ada juga Hexindo yang mengelola satu blok. Dengan demikian, secara keseluruhan perusahaan asing mengelola 72 blok alias 84% dari seluruh blok minyak di Indonesia. Rinciannya, 10 blok bekerja sama dengan Pertamina dan 62 blok murni asing. Angka tersebut jelas sekali menggambarkan permasalahan utama Pertamina: tidak mampu mengelola kekayaan minyak negri ini. Menyerahkan sebagian besar (84%) pengelolaan ladang minyak dan gas kepada perusahaan asing
    Ayah menggandeng anak

    Anak perusahaan harus bisa dikontrol sepenuhnya oleh induknya

  3. Apa penyebab ketidakmampuan tersebut? Tentu ada banyak penjelasan. Tetapi secara umum adalah masalah kelayakan ekonomi yang ujung-ujungnya adalah modal beserta cost of capital yang menyertainya. Ladang-ladang minyak tersebut tidak layak menurut analisis cost of capital pertamina tetapi layak menurut pesaing-pesaingnya. Atau dengan bahasa lain, Pertamina kalah bersaing dengan kompetitor-kompetitornya dalam memberikan manfaat kepada SKK migas sebagai pemilik blok blok minyak.
  4. Mengapa tidak layak? Karena melihat laporan keuangan Pertamina, selama ini sumber pendanaan adalah utang. Dengan utang maka bunga dan pengembalian pokok akan menjadi beban cash flow yang harus ditanggung oleh hasil tambang. Jika menggunakan dana bank bunganya sekitar 10% bahkan lebih. Lalu pokoknya rata-rata adalah 20% pertahun jika masa kreditnya 5 tahun. Butuh 30% lebih pengembalian kas dari sumur minyak agar Pertamina tidak kedodoran secara arus kas.
  5. Bagaimana pesaing asing? Mereka umumnya adalah perusahaan fully public company. Tidak ada pemegang saham pengendali. Dengan demikian, mereka dapat dengan ringan menerbitkan saham di lantai bursa untuk mendapatkan modal melalui rights issue. Tuntutan cashflow atas dana rights issue hanyalah berupa pembayaran dividen. Tidak seperti utang yang pokoknya harus dikembalikan. Umumnya, dividen perusahan perusahan global adalah antara 1-3% dari nilai saham. Inilah yang harus dibayar kepada investor hasil dari ladang ladang minyak yang mereka tambang. Badingkan, Pertamina 30% lebih, mereka 1-3%. Maka, tentu saja mereka dapat memberikan keuntungan bagi hasil kepada SKK migas jauh lebih besar dari pada yang bisa dilakukan oleh pertamina. Beban arus kas Pertamina untuk setiap proyek penambangan 10x lipat bahkan lebih dari pada mereka
  6. Nah, dalam suasana masalah besar itu, Pertamina berencana mendapatkan dana seperti mereka yaitu dana ekuitas melalui penerbitan saham baru anak perusahaannya. Langkah seperti ini pernah dilakukan oleh beberapa BUMN. Salah satunya adalah Bank BRI dengan menerbitkan saham baru anak perusahaannya yaitu Bank BRI Syariah melalui mekanisme IPO.
  7. Bank BRI Syariah telah melakukan IPO pada bulan Mei 2018. Aksi korporasi yang  menerbitkan 2,62 miliar lembar saham baru tersebut diserap publik dengan menerima total dana Rp 1,33 triliun
  8. Kapitalisasi pasar Bank BRI, induknya, pada saat itu adalah Rp 390 triliun. Artinya, seandainya saat itu BRI melakukan rights issue dengan menerbitkan saham baru sebesar 10% saja, akan mendapatkan dana sekitar Rp 39 triliun. Uang yang jauh lebih besar dan lebih murah dibanding dengan anak perusahaan yang melakukan IPO. Uang itu kemudian bisa disuntikkan BRI syariah melalui penerbitan saham baru anak perusahaan tersebut. Seluruh saham baru diserap oleh BRI sebagai induk sehingga si anak tetap 100% dalam kontrol induk.
  9. Bahkan jika BRI melakukan ini lebih awal, Bank Mutiara yang sebelumnya sahamnya dipegang BPPN atau yang kemudian menjadi LPA sebagai institusi negara tidak perlu dilepas kepada Jtrust Bank. Pada tahun 2014 bank asal Jepang itu mengakuisisi  Bank Mutiara dengan harga Rp 4,41 Triliun. Kini bank Mutiara telah diubah namanya menjadi Jtrust bank.
  10. Laba pertamina berdasarkan laporan keuangan teraudit 2018 adalah USD 2,659 miliar alias Rp 38 triliun. Laporan 2019 belum tersedia di website resmi perusahaan. Berpatokan pada laba tersebut dan benchmark pada rasio harga terhadap laba (PER) Chevron yang sebesar 43,65, maka jika saat ini Pertamina menerbitkan 10% saham baru melalui IPO, akan mendapatkan dana sekitar Rp 166 triliun. Dan yang menarik, uang itu tidak perlu dikembalikan seperti uang bank. Cukup membayar dividen sebagaimana dengan proporsi yang dijanjikan melalui prospektus.
  11. Inilah argumen pertama. Bahwa IPO alias menerbitkan saham baru oleh anak perusahaan itu sara finansial kalah powerful dengan penerbitan saham baru (baik IPO maupun rights issue setelah itu) oleh induknya.
  12. Diluar masalah keuangan ada masalah otoritas dalam hierarki manajemen. Dalam sebuah perusahaan atau organisasi apapun, dibutuhkan otoritas yang cukup sesuai hierarki manajemen. Direktur utama bersama seluruh direksi sebagai pimpinan tertinggi perusahaan harus memiliki otoritas penuh untuk memerintah seluruh anak buahnya dari vice president sampai office boy atau selevel. Otoritas penuh baik secara langsung atau tidak langsung melalui delegasi wewenang berupa SOP dan struktur organisasi. Itulah mengapa masyarakat paham bahwa seorang karyawan yang tidak mau dimutasi misalnya sama artinya dengan mengundurkan diri. Otoritas ini penting untuk menjalankan beban amanat besar yang berada dalam pundak direksi.
  13. Seorang direktur anak perusahaan pada dasarnya adalah bagian dari struktur organisasi induknya. Direktur anak perusahaan bisa diperintah oleh direksi. Seorang direksi anak perusahaan pada hakikatnya adalah seorang manajer dengan level tertentu di Pertamina. Direksi Pertamina bisa mengangkat, memecat, atau memutasi seorang direktur anak perusahaan tanpa ada campur tangan pihak lain.
  14. Ketika sebuah anak perusahaan melakukan IPO, saat itulah otoritas direksi ini dilucuti. Ada pemegang saham lain yang harus ikut RUPS dan menandatangani keputusan penggantian direksi anak perusahaan. Ada otoritas lantai bursa terkait pergantian direksi perusahaan listed.
  15. Itulah mengapa misalnya saja Aqua hengkang dari lantai bursa alias delisted begitu diakuisisi oleh Danone. Demikian juga Mount Elizabeth Hospital hengkang dari lantai bursa Singapura begitu diakuisisi oleh IHH, sebuah perusahaan rumah sakit dari Kuala Lumpur. Begitu diakuisisi, Aqua dan Mount Elizabeth berkedudukan sebagai anak perusahaan.
  16. Untuk delisting anak perusahaannya Danone dan IHH harus melakukan tender offer di lantai bursa. Memberikan penawaran kepada pemegang saham lain dengan harga tinggi jauh diatas harga pasar untuk memperoleh otoritas mutlak itu. Membayar berapapun alias at any cost untuk berjalannya sebuah hirarki organisasi. Inilah argumen kedua. Bahwa IPO anak perusahaan itu salah secara hirarki
  17. Ada pandangan bahwa IPO anak perusahan dibutuhkan untuk keterbukaan dan akuntabilitas. Ini argumentasi yang benar tetapi mestinya tidak diberlakukan untuk  sebagian dari aset pertamina yaitu si anak perusahaan. Yang benar adalah bahwa akuntabilitas harus dilakukan untuk seluruh aset Pertamina dan dengan demikian yang mestinya IPO adalah Pertamina sebagai induk. Agar aset pertamina yang sebesar USD 64,728 miliar alias Rp 928 triliun itu bisa dikelola dengan akuntabilitas sesuai standar tata kelola perusahaan modern. Tidak seperti saat ini yang belum listed. Inilah argumentasi ketiga.
  18. Dengan tiga argumen diatas, maka IPO mestinya dilakukan oleh pertamina, bukan anak perusahaannya. IPO Pertamina sebagai bagian dari konsolidasi BUMN. Namun demikian, terhadap keputusan logis ini banyak pihak yang keberatan karena IPO pertamina dinilai sama dengan menjual aset negara apalagi minyak dan gas adalah aset stratejik bangsa.
  19. Keberatan itu mengandung dua kesalahan. Kesalahan pertama adalah memandang bahwa Pertamina adalah alat negara untuk penguasaan bumi air udara dan kekayaan yang  terkandung didalamnya sebagaimana amanat UUD 45. Yang benar, alat penguasaan itu ada pada SKK migas. Lembaga yang kini dipimpin Dwi Soetjipto itu hingga kini sampai kapanpun  termasuk ketika Pertamina IPO tetap menguasai 100% ladang minyak dan gas di bumi pertiwi. Kedudukan Pertamina adalah sebagai kontraktor atau operator. Kedudukan pertamina sama persis dengan Chevron, BP, Petrochina, atau perusahaan operator ladang minyak apapun. Operator ini mengikat perjanjian pengoperasian dengan SKK migas sebagai pemilik sepenuhnya ladang minyak
  20. Kesalahan kedua adalah tidak bisa membedakan antara aset perusahaan dengan aset pemegang saham. Sesuai Undang-Undang PT, begitu sebuah perseroan terbatas didirikan, aset yang sebelumnya milik pendiri telah dipisah dan dilepas menjadi aset milik perusahaan yang didirikannya. Imbalan atas pelepasan aset ini adalah saham dengan jumlah lembar dan nilai tertentu sesuai akta perusahaan. Jadi begitu negara mendirikan sebuah perseroan terbatas bernama Pertamina, maka asetnya sebesar modal disetor telah dilepas dan menjadi aset Pertamina. Pada saat itu juga aset yang dilepas itu diganti dengan aset berupa 090.697 lembar saham dengan nilai nominal (par value) Rp 1 juta per lembar saham.
  21. Ketika menerbitkan 10% saham baru melalui IPO, saham pemerintah sejumlah 133.090.697 lembat itu sama sekali tidak ada yang dijual. Pemegang saham baru akan menyetor uang dengan nilai Rp 166 triliun (berdasar benchmark PER Chevron) kepada Pertamina dengan imbalan 14.787.855 lembar saham baru dengan nilai nominal Rp 1 juta. Dengan demikian yang dijual adalah “tanda tangan notaris” berupa saham baru. Total saham Pertamina akan menjadi 147.878.552 lembar, 133.090.697 lembar tetap menjadi aset negara, 14.787.855 lembar menjadi aset pemegang saham baru.
  22. Dengan jumlah lembar saham baru dan nilai tersebut, artinya harga setiap lembar saham baru yang dibayar oleh investor adalah Rp 11,2 juta. Secara akuntansi, dari Rp 11,2 juta itu Rp 1 juta akan dicatat sebagai saham, sisanya, Rp 10,2 juta akan dicatat sebagai agio saham alias tambahan modal disetor alias additional paid in capital. Atau, dari total Rp 166 triliun, Rp 14,788  triliun menjadi  saham, Rp 151,212 triliun menjadi agio saham. Inilah “upeti” dari pemegang saham baru yaitu sebagai penghargaan terhadap intangible asset Pertamina berupa corporate brand, keahlian, sistem manajemen, hubungan dengan pemasok, kekayaan sejarah dan sebagainya.
  23. Tetapi kesalahan kedua ini memang masih menjadi opini banyak orang dan banyak pihak. Apa yang terjadi pada saat debat kandidat presiden tahun 2019 lalu bisa menjadi gambaran. Saat itu Capres Jokowi menyatakan bahwa Capres Prabowo memiliki lahan seluas  220 ribu hektar di Kalimantan Timur dan 120 ribu hektar di Aceh Tengah. Pernyataan ini terjadi tentu karena Capres Jokowi tidak membedakan antara aset Capres Prabowo sebagai pemegang saham dengan aset perusahan yang sahamnya dipegang oleh Capres Prabowo. Sebuah pernyataan yang tidak sesuai  dengan undang-Undang PT.
  24. Dalam debat itu Prabowo menanggapi bahwa memang benar ia memiliki aset ini tetapi sewaktu waktu akan mengembalikan lahan ini kepada negara jika negara membutuhkan. Jawaban ini juga menunjukkan bahwa Capres Prabowo juga tidak membedakan antara aset dirinya sebagai pribadi dan aset perusahaan yang sahamnya dipegang sebagai badan hukum PT. Sebuah tanggapan yang juga tidak sesuai dengan Undang Undang PT
  25. Jika Capres Prabowo mengikuti Undang Undang PT, tanggapannya kurang lebih akan begini “Pak Jokowi sekarang kan masih Presiden. Silahkan Bapak cek kepada kepala BPN atau kepada Dirjen Pajak karena tanah yang Bapak Maksud sudah bersertifikat BPN dan semua sudah dilaporkan dalam SPT. Dan saya jamin, pernyataan Bapak itu salah total. Saya sama sekali tidak memiliki tanah itu”
  26. Setelah debat itu, Wapres JK menanggapi bahwa memang benar Prabowo memiliki lahan itu. Tetapi proses kepemilikannya dilakukan secara legal formal dan sah. Proses kepemilikan itu berada dalam koordinasi nya dalam pemerintahan. Tanggapan Wapres JK ini juga setali tiga uang. Tidak sesuai dengan Undang-Undang PT.
  27. Nah, itulah pandangan banyak orang. Pandangan banyak pihak. Akibatnya adalah opini bahwa IPO Pertamina identik dengan menjual aset negara. Sebuah cara pandang yang bertentangan dengan Undang Undang PT dan harus diluruskan. Tetapi tentu saja tidak mudah meluruskan apa yang dalam bahasa jawa disebut salah kaprah Kesalahan yang terjadi secara masal. SNF Consulting sebagai corporate citizen terus menerus melakukan peran edukasi ini. Sosialisasi  Undang Undang PT sebagai bentuk operasional dari pelaksanaan Pancasila dan UUD 45. Tulisan yang kini Anda baca itu adalah bentuk dari upaya itu. Edukasi untuk memperkuat enam pilar kemerdekaan ekonomi umat  dan bangsa.
  28. Dengan tiga argumentasi beserta penjelasannya di atas, dapat disimpulkan bahwa IPO anak perusahaan Pertamina adalah sebuah langkah yang salah sehingga tidak perlu dieksekusi. Yang harus dilakukan adalah IPO Pertamina dilanjutkan dengan rights issue secara terus menerus agar Pertamina mampu menyelesaikan masalah pokoknya. Mampu mengoperasikan sebagian besar ladang minyak dan gas milik negeri ini. bahkan seperti Chevron, mampu mengoperasikan tambang minyak milik berbagai negara lain di seluruh penjuru dunia. Mengibarkan tinggi-tinggi sang merah putih di berbagai negara dalam kedudukannya sebagai perusahaan operator tambang. Allahu akbar! Merdeka!

*)Artikel ke-271 ini ditulis pada tanggal 30 Juni 2020 oleh Iman Supriyono, CEO & founder SNF Consulting

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca juga:
Garuda, pailit atau korporatisasi?
Krakatau Steel: Tercekik Utang

Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?
Garuda: Utang Melebihi Aset
Ahok dan kemustahilan Pertamina

 

5 responses to “Kesalahan Stratejik: IPO Anak Perusahaan Pertamina

  1. Ping-balik: Ahok dan Kemustahilan Pertamina | Catatan Iman Supriyono

  2. Penjelasan yg detail, yg jadi masalah adalah BUMN atau PT plat merah tidak bisa independen dalam mengelola aset perusahaan. Saya setuju dg go publik perusahaan akan berjalan dan bersaing secara sehat.
    Dukungan politik ataupun ATM politikus akan hilang bila semua BUMN dipublik, persaingan usaha semakin yg pada akhirnya harga produksi akan terkontrol dan terukur.

  3. Benar-benar mencerahkan ust….
    Maturnuwun atas ilmunya, semoga ke depan para pemimpin bangsa Indonesia benar-benar berkualitas dan faham tentang berbagai mekanisme pengelolaan aset negara secara benar. Butuh revolusi akhlaq

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s