Tercekik: Separah Apakah Krakatau Steel?


Separah apakah Krakatau Steel? Masihkah ada harapan? Apa inti permasalahannya? Bagaimana alternatif solusinya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering mengemuka di berbagai diskusi yang saya ikuti. Berikut ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar BUMN produsen baja itu. Saya menuliskannya murni dari kaca mata strategic management, terlepas dari konteks politik sebagai BUMN.  Saya akan menuliskannya dalam bentuk poin-poin. Krakatau Steel selanjutnya saya sebut KS.

kuda tercekik

Tercekik

  1. Omzet (pendapatan) KS sejak tahun 2010 sampai tahun 2018 dalam miliar USD (mata uang dalam laporan KS adalah USD): 1,64, 2,03, 2,29, 2,08, 1,87, 1,32,  1,34, 1,45, dan 1,74. Artinya, dalam rentang waktu tersebut pendapatan KS naik 6%. Dari angka ini jelas sekali pendapatannya stagnan.
  2. Ibarat anak sekolah, seorang siswa disebut berprestasi rata-rata jika nilainya persis seperti rata rata kelas. Demikian juga perusahaan, sebuah perusahaan disebut berprestasi rata-rata sama dengan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi kita tumbuh tiap tahun sekitar 5%.  Jika tumbuh 5% (per tahun) sejak tahun 2010 maka mestinya tahun 2018 omzet KS sudah USD 2,42 miliar. Dengan omzet 2018 hanya USD 1,74 maka pertumbuhan rata-rata tahunan selama 2010-2018 hanya 0,75 %  per tahun alias tidak sampai 1% per tahun. KS mengalami stagnansi
  3. Bagaimana labanya? Tahun 2010 dan 2011 masing masing masih laba USD: 140 juta dan USD 151 juta. Setelah itu mulai 2012 sampai 2018 rugi masing-masing (USD juta) 20, 14, 157, 327, 181, 86 dan 77. Secara akumulatif terjadi kerugian USD 571 juta dalam periode 9 tahun tersebut. Dua tahun laba, Tujuh tahun terakhir mengalami kerugian. Jadi sepanjang periode tersebut KS menderita kerugian akumulatif sebesar USD 571 juta alias sekitar Rp 8 triliun. KS terus menumpuk kerugian
  4. Laba dihasilkan dari aset. Aset KS akhir 2010 adalah USD 1,93 miliar. Posisi akhir 2018 adalah USD 4,30 miliar (Rp 61 T). Asetnya naik 3,09 kali lipat alias 309%.  Kenaikan aset yang tiga kali lipat tidak berpengaruh positif terhadap pendapatan maupun laba. Justru mengakibatkan kerugian terus menerus selama 7 tahun
  5. Kenaikan aset sepanjang periode tersebut sumbernya dari penerbitan saham baru, revaluasi aset, dan utang. Apakah ini tidak menimbulkan masalah? Mari dicermati
  6. Penerbitan saham baru dilakukan dua kali yaitu melalui IPO tahun 2010 dan rights issue tahun 2016. Kedua aksi korporasi ini masing-masing menghasilkan Rp 2,6 T dan Rp 1,1 T alias total Rp 3,7T.
  7. Posisi utang tahun 2010 akhir adalah USD 905 juta (Rp 13 T). Pada tahun 2018 naik menjadi USD 2,498 milyar (Rp 35T) alias bertambah sebesar USD 1,593 milyar (Rp 23 T) dalam kurun waktu tersebut (catatan: selisih angka terjadi karena pembulatan)
  8. Kontribusi revaluasi aset tercermin pada akun penghasilan komprehensif lain sebesar USD 1,376 milar (Rp 19T)
  9. Posisi rasio utang terhadap ekuitas (DER) pada laporan terakhir adalah 1,38. Walau tergolong tinggi untuk perusahaan manufaktur, mestinya angka ini masih ditolerir. Namun demikian khusus untuk KS ini jadi perkecualian karena meningkatnya ekuitas terjadi karena adanya revaluasi aset (utamanya aset properti). Peningkatan ekuitas karena revaluasi ini hanya terjadi di atas kertas. Sama sekali tidak memperbaiki keuangan secara riil. Inilah yang menjadikan kondisi KS berat walau DER masih bisa ditolerir. Sebagai gambaran, laba bruto (penjualan dikurangi harga pokok produksi) tahun 2018 adalah USD 159 juta (Rp 2,2 T). Dengan bunga 10% saja, utang 35 T beban bunganya sudah Rp 3,5T. Tentu tidak persis seperti ini karena pasti ada utang yang tidak berbunga seperti utang kepada pemasok. Dalam hal utang, KS mengalami suasana seperti yang dialami Garuda seperti tulisan saya pada link ini
  10. Dalam hal nilai perusahaan apa yang terjadi pada Garuda juga terjadi pada KS. Nilai seluruh saham (market value) KS saat ini adalah Rp 7,85T. Padahal nilai buku ekuitas adalah USD 1,8 alias Rp 25 T. Market value hanya 31% dari book value. Dijual pretelan aset nilainya lebih besar daripada dijual sebagai perusahaan. Artinya, corporate brand, keahlian, sistem manajemen, dan segala sesuatu yang bersifat intangible asset justru mengurangi nilai tangible asset. Mestinya intangible aset yang memang tidak bisa diakuntansikan menambah nilai tangible asset (yang bisa diakuntansikan). Sesuatu yang sangat merugikan bagi pemegang saham. Analog seperti uang koin yang harga logamnya lebih mahal dari pada nilai nominal yang tertera di koin tersebut.
  11. Apa penyebab situasi seperti in? Direksi saat ini melihat penyebabnya adalah terlalu bengkaknya struktur organisasi. Direksi sedang menjalankan program restrukturisasi dengan memangkas level manajerial yang semula 7 lapis (dari direksi hingga operator) akan dipangkas tinggal 4 atau 5. Dengan demikian juga akan mengurangi jumlah karyawan dengan mengalihkannya menjadi karyawan anak perusahaan. Bagaimana hasilnya kita lihat saja perkembangannya. Sederhananya, jika KS memperoleh laba berarti restrukturisasi berhasil.
    SNF Quote krisis ekonomi1
  12. Menurut saya, ada penyebab lain yang lebih mendasar. Lebih stratejik. Saat ini KS memiliki anak perusahaan berbagai bidang. Ada yang dimiliki mayoritas (mendekati 100%) ada juga yang KS hanya memegang saham minoritas. Ada rumah sakit, kawasan industri, engineering, pembangkit tenaga listrik dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan KS terjebak pada dilema antara operating company versus investing company seperti tulisan saya pada link ini. KS menjadi “banci company”.
  13. Perusahaan seperti ini sulit untuk mendapatkan kepercayaan investor. Rendahnya market value yang hanya 31 % dari book value menunjukkan terjadinya hal ini. Akibat paling berat bagi KS adalah tidak bisa menerbitkan saham baru (rights issue) untuk mendapatkan tambahan modal. Pemegang saham lama (existing shareholder) akan cenderung menolak jika perusahaan menerbitkan saham baru dengan harga lebih murah dari pada saat si pemegang saham lama membeli. Apalagi jika ditambah dengan faktor-faktor politik sebagai BUMN. KS dalam kondisi “tercekik”. Utang sudah sulit karena DER sudah mentok. Menerbitkan saham baru juga sulit.
  14. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan akan mudah sekali diakuisisi oleh perusahaan lain yang bergerak dalam bidang yang sama dengan tawaran tinggi. Arcelor Mittal misalnya bisa menawari pemegang saham KS dengan nilai akuisisi 40T bahkan lebih. Untuk itu perusahaan yang punya unit pabrik di Sidoarjo itu cukup menerbitkan 20% di London Stock Exchange.  Untuk mendapatkannya perusahaan yang dikomandani Lakshmi Mittal yang pernah tinggal lama di Sidoarjo itu hanya perlu membayar dividen sekitar Rp 400 M. Sekitar 1% (pertahun) dari dana itu. Pemegang saham KS akan cenderung ngiler dan menerima tawaran tersebut karena saham yang nilainya  hanya Rp 7,85T ditawar Rp 40 T. Dengan kapasitas globalnya, perusahaan seperti Mittal punya kapasitas berlebih untuk bisa memperbaiki kondisi KS saat ini. Ingat, KS berada pada bisnis komoditas. Rumus bisnis komoditas adalah yang efisien menghabisi yang tidak efisien. Efisiensi adalah milik perusahaan-perusahaan besar dengan pabrik dan pasar  di berbagai negara seperti Arcelor Mittal
    solusi utang dengan korporatisasi1
  15. Lalu, tidak adakah harapan bagi KS? Tentu ada. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Termasuk masalah KS yang “tercekik”. Salah satunya adalah dengan kembali menjadi operating company Jual seluruh anak perusahaan dan kepemilikan saham di luar sektor besi baja. Gunakan dananya untuk menguatkan kembali bisnis besi baja.
  16. Sudah tidak jamannya lagi menjadi konglomerasi. Investor itu logis. Hanya mau berinvestasi pada perusahaan yang jati dirinya jelas. Kalau jadi investing company ya sekalian seperti Saratoga itu. Tidak pernah memiliki saham pengendali pada perusahaan investee. Kalau mau jadi operating company ya seperti Archelor Mittal. Fokus pada core competence. Jangan banci. Dengan demikian pemegang saham pendiri dalam hal ini pemerintah RI dan pemegang saham lain akan mendapatkan untung maksimal. Tetapi otoritas keputusan ini tidak berada pada tangan direksi. KS tidak bisa terlepas dari fenomena pseudo director seperti pada kasus Karen Agustiawan (Pertamina) atau family business.

Demikian uraian saya. Sekali lagi, setiap penyakit selalu diciptakan-Nya bersama obatnya. Tidak ada kata putus asa. Yang penting solusinya harus ilmiah. Bukan solusi jahiliah. Bagaimana pendapat Anda WNI sebagai pemegang saham tidak langsung KS? Tulis di kolom komentar web ini.

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup WA atau Grup TelegramSNF Consulting

****Ditulis oleh Iman Supriyono, konsultan dan direktur SNF Consulting, sebuah consulting firm yang menekuni riset dan membantu klien dalam proses korporatisasi. Penulisan dilakukan di SNF House of Management, Surabaya, 6 Juli 2019.

34 responses to “Tercekik: Separah Apakah Krakatau Steel?

  1. Adanya anak-anak perusahaan seringkali merupakan akomodasi terhadap para pejabat di perusahaan induk supaya ada jalur karir.

    Yang celaka, karena bergerak di luar core bisnisnya, anak perusahaan ini menjadi beban perusahaan induk karena pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya diberikan ke pihak ketiga menjadi beban tambahan grup perusahaan. In-efisiensi terjadi karena anak perusahaan juga butuh keuntungan.

    Secara kumulatif, grup perusahaannya menjadi tidak efisien.

    • Saratoga sekarang menjadi operating company juga. Ini dibuktikan dg kepemilikan lebih dari 51% pada MPMX (kode ticker IHSG). Silahkan cek laporan keuangan triwulan 1 2019. 🙏

  2. Ping-balik: Monopolistik Air Minum Danone: PDAM Menyerah? | Catatan Iman Supriyono

  3. Ping-balik: Mengapa Koperasi Kita Kerdil? | Catatan Iman Supriyono

  4. Ping-balik: Presiden Harus Cetak Uang Rp 100 T Untuk Sejuta Rumah? | Catatan Iman Supriyono

  5. Ping-balik: BPJS Kesehatan: Berat! | Catatan Iman Supriyono

  6. Ping-balik: Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Bangsa | Catatan Iman Supriyono

  7. Ping-balik: Tradisi BUMDES Sebagai Investing Company | Catatan Iman Supriyono

  8. Ping-balik: Erick Thohir Jadi Raja Utang atau BUMN Insyaf? | Catatan Iman Supriyono

  9. Ping-balik: Presiden Harus Cetak Uang Ratusan Triliun? – SNF Consulting

  10. Ping-balik: SWF: Antara Harapan dan Belenggu | Catatan Iman Supriyono

  11. Ping-balik: SWF: Antara Harapan dan Belenggu – SNF Consulting

  12. Komplek persoalan KS ini, diawal pendirian sbg memproduksi baja.
    Opsi KS :
    1. Dihidupka lagi , butuh dana ,yg smentara cari pendanaan sulit, dan laba historinya hampir rata, artinya gak ada laba yg melejit. Investor akan ragu. Direksi dan komisaris sebaiknya sudah pengalaman berkecimpung di bidang baja puluhan tahun , dan punya jiwa enterpreneur , fokus ke profit dan profit dan menekan dan nekan terus pengeluaran terutama gaji yg sifatnya rutin , diberi hanya bentuk hadiah saja .
    Sepintas baja ini butuh operating cost tinggi untuk peleburan baja, biaya distribusi karena sifat bahan yg berat . Produksinya dibanding produk Cina atau lainnya dimana posisinya , yg seru tantangan kalau diatas harga produk Produsen lain .

    2. Joint dgn Mittal karena sudah punya nama, pemain lama, tahu efisiensi ,tahu cari profit , investor akan percaya. Apakah mau joint , mungkin bisa di akuisisi .

  13. Ping-balik: Garuda, Evergrande: Beresi Utang Sebelum Terlambat | Korporatisasi

  14. Ping-balik: Japfa, Bangun! | Korporatisasi

  15. Ping-balik: Sodexo: Catering Olympiade Bisa! | Korporatisasi

  16. Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi

  17. Ping-balik: Kesetiaan Pearson: Penerbit Terbesar Dunia | Korporatisasi

  18. Ping-balik: Ramadhan Eksekusi | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Rugi Pertamina – PLN: Rumor atau Fakta? | Korporatisasi

  20. Ping-balik: Starbucks: Kegagalan Yang Baik | Korporatisasi

  21. Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi

  22. Ping-balik: Pertamina Versus Petronas 2021: Siapa Pemenangnya? | Korporatisasi

  23. Ping-balik: Investasi Telkom ke Goto: Strategic Fool? | Korporatisasi

  24. Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi

  25. Ping-balik: Pertaruhan Hidup Mati Goto | Korporatisasi

  26. Ping-balik: Iklan Holywings: Salah Karyawan atau Direksi? | Korporatisasi

  27. Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi

  28. Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi

  29. Ping-balik: PKPU & Kepailitan: DPUM | Korporatisasi

  30. Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi

  31. Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi

  32. Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi

  33. Ping-balik: Kesalahan Stratejik: IPO Anak Perusahaan Pertamina | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s