Triwulan pertama 2022 PT Goto Gojek Tokpedia Tbk. alias Goto membukukan kerugian. Rugi tahun berjalan selama 3 bulan pertama 2022 adalah Rp 6,61 triliun. Angka kerugian ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang Rp 1,96 triliun.
Secara pendapatan, Goto mengalami pertumbuhan. Meningkat dari Rp 905 miliar pada triwulan pertaman 2021 menjadi Rp 1,50 triliun pada periode yang sama tahun 2022. Memang positif. Naik 66%. Tetapi mari kita lihat biaya pemasaran dan penjualannya. Tahun 2021 Goto menggelontorkan biaya pemasaran dan penjualan sebesar Rp 431 miliar. Tahun 2022 dilipat gandakan menjadi Rp 3,30 triliun. Meningkat 7,66 kali.
Bahkan perjuangan untuk meningkatkan omzet 66% tersebut juga dilakukan dengan menjual rugi layanannya. Pendapatannya Rp 1,50 triliun. Tetapi harga pokok pendapatannya Rp 1,21 triliun. artinya, Goto melakukan “jual rugi” atas produknya berupa layanan yang selama ini dinikmati masyarakat.
Dengan kondisi seperti itu, bisakah Goto bertahan eksis? Tidakkah Goto terancam pailit? Mari kita lihat bagaimana kondisi arus kasnya. Pailit tidak itu urusan arus kas. Tiga bulan pertama 2022 ini arus kas operasional Goto adalah minus Rp 3,34 triliun. Angka ini memburuk dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang minus Rp 1,22 triliun. Arus kas operasional minus Rp 3,34 triliun itu menggerus posisi kas yang semula Rp 31,15 triliun pada akhir tahun 2021 menjadi Rp 27,07 triliun pada akhir triwulan pertama 2022.
Dari arus kas kita bisa melihat risiko besar Goto. Andai minusnya arus kas tersebut terus berlangsung dengan kecepatan sama, sampai akhir tahun akan ada minus arus kas operasional sebesar 3x Rp 3,34 triliun yaitu Rp 10,02 triliun. Jika ini terjadi, posisi kas Goto yang kini Rp 27,07 triliun akan menyusut menjadi 17,05 triliun.
Bagaimana tahun 2023? Tidak ada yang tahu. Tetapi jika yang dilakukan Goto tetap seperti triwulan pertama tahun ini, kas akan menyusut lagi sebesar 4 x Rp 3,34 triliun 13,36 triliun. Dengan demikian posisi kas akan menyusut lagi tinggal Rp 3,69 triliun. Angka ini sudah merupakan titik kritis bagi Goto. Bahaya sekali.
Selama ini bagaimana? Sebelum IPO memang tidak ada informasi yang tersedia untuk publik. Tetapi, jika hal itu terjadi, Goto bisa menanggulanginya dengan menerbitkan saham baru. Setiap posisi kas kritis atau mendekati kritis ditanggulangi dengan menerbitkan saham baru. Hal ini dilakukan secara terus-menerus sampai arus kas operasional positif dan kemudian laba. Kondisi seperti ini bisa menjelaskan mengapa persentase saham yang dipegang oleh para pendiri Goto sudah sangat kecil. Padahal mereka dulu tentu saja memegang 100% saham. Penurunan bukan terjadi karena mereka menjual saham yang telah dimiliki. Tetapi karena Goto terus-menerus menerbitkan saham baru. Jumlah lembar saham yang telah diterbitkan makin banyak sementara jumlah lembar saham yang dipegang pendiri tetap. Jadinya secara persentase menurun.
Harga saham dijaga agar setiap penerbitan saham baru lebih tinggi dari pada penerbitan saham sebelumnya. Itulah tipikal perusahaan startup. Dan saya yakin seperti itulah yang juga dilalui oleh Goto sebelum IPO walaupun datanya tidak tersedia untuk publik. Secara angka, posisi agio saham Rp 225,80 triliun per 31 Maret 2022 menjadi bukti otentik langkah seperti ini.
Lalu apa masalahnya? Justru IPO itulah masalahnya. Harga saham baru yang dilepas sebelum IPO selama ini bisa terserap pasar sesuai dengan kepiawaian manajemen meyakinkan perusahaan-perusahaan investasi. Harga terus bisa terus dinaikkan. Angka agio saham Rp 225,80 triliun menjadi penandanya. Nah, cara seperti ini tidak bisa atau sulit sekali dilakukan sejak Goto IPO. Mengapa? Ada bandingan harga saham di pasar sekunder.

Harga IPO saham Goto adalah Rp 338 per lembar. Mestinya, jika nanti posisi kas Goto kritis, perusahaan harus menerbitkan kembali saham baru dengan harga di atas Rp 338 per lembar. Tetapi sejak IPO hal itu hampir mustahil dilakukan. Ada harga pasar sekunder sebagai pembanding. Misalnya saja harga pasar sekunder di lantai bursa saat ini adalah Rp 304. Jika terpaksa menerbitkan saham baru, Goto harus mau menjualnya dengan harga Rp 304. Padahal, para pemegang saham yang telah ada tentu maunya diatas Rp 338. Di atas harga saham yang diterbitkan pada periode sebelumnya. Inilah masalahnya. Goto akan sulit untuk menerbitkan saham baru dengan kondisi harga pasar sekunder yang seperti saat ini. Harapannya adalah harga saham Goto naik saat penerbitan saham baru (rights issue) yaitu Goto butuh dana tambahan nanti. Siapa yang bisa menjamin harga naik? Hanya Tuhan yang bisa melakukannya. Harapannya tentu Goto sebagai perusahaan yang lahir di negeri merah putih ini bisa selamat. Semoga.
Artikel ke-371 karya Iman Supriyono ini ditulis dan diterbitkan oleh Majalah Matan edisi Juli 2022
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Baca juga:
Rugi PLN dan Pertamina Rumor atau Fakta?
Garuda, pailit atau korporatisasi?
Krakatau Steel: Tercekik Utang
Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?
Garuda: Utang Melebihi Aset
Glorifikasi IPO Kioson
IPO Bukalapak Prospektif atau Buang Uang
Kepailitan Startup OFO Bike Hiring
Tesla Laba Setelah 16 Tahun Rugi
Corporate Life Cycle dalam Merger GoTo
Valuasi Merger Gojek Tokopedia
Sequoia VC Sejati
Ping-balik: PHK Goto dan Investasi Telkomsel | Korporatisasi
Ping-balik: Perusahaan Gocap | Korporatisasi