Dekomposisi. Ini adalah bahasan manajemen. Tapi untuk mempermudah saya akan menarasikannya dengan contoh lain. Sesuatu yang bisa dikatakan semua oran pernah mengalami atau melakukannya. Yaitu: belajar naik sepeda.
Saat belajar naik sepeda, dulu saya menggunakan sepeda besar. Orang desa saya menyebutnya sepeda kebo. Bahasa jawa yang artinya kerbau. Sepedanya jauh lebih besar dan lebih tinggi dari pada ukuran badam saya. Proses belajarnya pun hanya melihat apa yang dilakukan orang. Langsung mencoba. Waktunya panjang dan sering jatuh. Bahkan pernah bertabrakan dengan sepeda lain dan saya terluka.
Saat mengajari anak ke-8, Joang Dimarga Albarr, naik sepeda, saya mencoba menerapkan konsep dekomposisi. Konsep manajemen yang biasa digunakan oleh SNF Consulting saat meeting dengan klien untuk membahas strategi perusahaan. Mengurai pekerjaan besar dalam manajemen menjadi rangkaian pekerjaan kecil yang bisa dikerjakan dengan jauh lebih mudah dibanding saat belum didekomposisi.
Begini gambarannya. Saya pikirkan tentang proses belajar naik sepeda. Setelah diskusi dengan ibunya anak-anak, disimpulkan proses belajar naik sepeda bisa didekomposisi menjadi 4 bagian. Pertama adalah belajar keseimbangan. Tidak seperti banyak orang yang memberikan sepeda dengan tambahan 2 roda pembantu kiri kanan. Roda pembantu ini tidak membuat anak belajar keseimbangan bersepeda.
Yang saya lakukan, saya belikan sepeda kecil tanpa roda pembantu bagi si Jo, demikian si nomor delapan dipanggil. Kecil sedemikan hingga saat si Jo duduk di sadel sepeda, kakinya bisa menapak di tanah. Dengan demikian walau belum mampu seimbang tetapi tidak khawatir jatuh. Setelah itu, sepeda saya modifikasi sederhana. Dua pedalnya saya lepas. Dengan demikian untuk menjalankan sepeda Jo cukup duduk di sadel. Lalu kedua kaki menginjak tanah. Dengan kaki, Jo diajari memberi dorongan ke tanah sedemikan hingga sepeda bergerak ke depan.

Awalnya geraknya lamban. Kaki terus menjejak tanah. Lama-lama sepeda meluncur lebih cepat. Kaki mulai tidak selalu menjejak tanah. Ini menandakan si Jo sudah mulai bisa menjaga keseimbangan. Setelah itu saya dorong. Kecepatan makin tinggi. Jo pun makin lama menikmati kaki tanpa menjejak tanah. Sepeda bisa tetap berjalan dengan seimbang. Lalu meningkat lagi. Sepeda dilewatkan jalan yang menurun. Sepeda meluncur dengan kecepatan lebih tinggi. Kaki selalu diangkat. Tidak menyentuh tanah dalam waktu lebih panjang. Pun tidak jatuh. Ini menandakan proses belajar keseimbangan sudah sempurna.
Dimulailah tahap kedua. Belajar mengayuh. Pedal yang semula dilepas pun saya pasang. Jo mulai belajar menjaga keseimbangan dengan kedua kaki menginjak pedal. Untuk memberi awalan, dari berhenti sepeda didorong. Setelah sepeda jalan lalu dia diajari mengayuh pedal. Awalnya tidak lancar. Lama-lama lancar. Tetapi tetap dengan didorong saat mulai sepeda harus memulai berjalan dari posisi berhenti. Di dorong agar sepeda meluncur sebelum akhirnya jo bisa menjalankan sepeda dengan mengayuh pedal. Tahap kedua pun selesai.
Tahap ketiga pun dimulai. Belajar memberi awalan. Memulai bersepeda dari kondisi sepeda berhenti. Saya ajari Jo agar duduk di atas sadel. Posisi sepeda agak condong ke kiri. Kaki kiri menapak tanah untuk menjaga sepeda tetap berdiri. Kaki kanan berada di atas pedal dengan posisi pedal di atas. Tidak di puncak paling atas. Tapi sedikit agak ke depan. Tujuannya agar begitu kaki kanan mengayuh pedal ke arah bawah, sepeda bisa berjalan dan kaki kiri segera menyusul mengayuh pedal. Tidak butuh waktu lama. Beberapa kali tahap ketiga ini pun dilalui. Dan jo pun bisa naik sepeda.

Tahap keempat adalah menghentikan sepeda dengan rem. Ini masih saya tunda karena jari tangan si Jo masih terlalu kecil untuk bisa memegang tuas rem. Umurnya baru 4 tahun. Sementara tahap keempat ditunda. Jika mau berhenti masih menggunakan gesekan alas kaki dengan tanah untuk menahan laju sepeda.
&&&
Dekomposisi. Itulah gambarannya dalam proses belajar naik sepeda. Hal serupa mesti dilakukan oleh perusahaan yang Anda kelola untuk melakukan hal-hal besar. Meningkatkan omzet penjualan misalnya adalah sebuah pekerjaan besar. Dekomposisikan proses meningkatkan omzet menjadi satuan-satuan kecil pekerjaan yang mudah dikerjakan dan mudah diukur kinerjanya. Dengan demikian pekerjaan besar akan terasa ringan dikerjakan.
Membangun korporasi sejati adalah sesuatu yang mutlak dilakukan oleh para pengelola perusahaan. Ada ancaman crowding effect yang akan menggilas perusahaan Anda jika Anda tidak bisa membesar. Ada career choice effect yang pengaruhnya juga bisa menghacur leburkan jika perusahaan Anda tidak siap. Dengan mau tidak mau perusahaan Anda harus berproses menjadi korporasi sejati yang ciri pokoknya ada 3. Tidak ada pemegang saham pengendali, menguasai pasar lebih dari 100 negara, dan mampu mencari investor yang mau diberi imbal hasil hanya 2-3 % per tahun.
Corporate Life Cycle adalah proses dekomposisi bagaimana membangun sebuah korporasi sejati yang semula berat dan panjang menjadi 8 step yang bisa dikerjakan dengan lebih mudah. Tentu saja Anda tetap harus bekerja keras dengan 8 step hasil dekomposisi itu. Bekerja keras untuk memberi manfaat kepada sesama tanpa pandang suku, ras, agama maupun bangsa. Apa pekerjaan besar perusahaan tempat Anda berkarya? Selamat mendekomposisi. Selamat mengeksekusi!
Artikel ke-370 karya Iman Supriyono ini ditulis dalam perjalanan naik kereta api Argo Bromo Anggrek dari Jakarta ke Surabaya pada tanggal 14 Juni 2021
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Baca juga:
Rugi PLN dan Pertamina Rumor atau Fakta?
Garuda, pailit atau korporatisasi?
Krakatau Steel: Tercekik Utang
Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?
Garuda: Utang Melebihi Aset
Glorifikasi IPO Kioson
IPO Bukalapak Prospektif atau Buang Uang
Kepailitan Startup OFO Bike Hiring
Tesla Laba Setelah 16 Tahun Rugi
Corporate Life Cycle dalam Merger GoTo
Valuasi Merger Gojek Tokopedia
Sequoia VC Sejati