Walau kini bekerja sebagai konsultan manajemen, saya tetaplah insinyur lulusan Teknik Mesin ITS. Jadi saya serius juga belajar tentang teknologi. Pendidikan di kampus berlogo tugu pahlawan ini sangat mewarnai kehidupan saya. Sepanjang hidup, saya pernah mendesain sebuah peralatan mekanik yang sangat membantu dan mempercepat pekerjaan bapak ibu saya di desa dalam memproduksi brem, makanan tradisional khas Madiun. Itulah gambaran tentang jiwa keinsinyuran saya.
Nah…sebagai seorang insinyur, kali ini saya ingin bertanya kepada Anda para pembaca yang baik. Seandainya saya memproduksi sepeda motor bermerek Imansu dengan spesifikasi dan kualitas seperti Honda Beat dan saya jual dengan harga juga seperti motor paling laris ini, apakah Anda mau membelinya?
Ini kira-kira reaksi Anda terhadap pertanyaan saya itu. Paling tidak Anda akan menanyakan lima hal berikut ini: perusahaan leasing apa saja yang sudah bekerja sama, dimana saja bengkel perawatan resminya, bagaimana ketersediaan suku cadang-nya, bagaimana harga jual motor bekas-nya dan dimana saja motor itu sudah dipakai masyarakat.
$$$
Pembaca yang baik, perilaku konsumen kekinian semakin menunjukkan sebuah fenomena yang saya sebut sebagai crowding effect. Sebuah fenomena di mana orang makin terkonsentrasi pada merek yang dipakai banyak orang di mana-mana, bukan semata-mata alasan kualitas produk. Gambaran tentang motor merek Imansu yang kalah telak dengan Honda Beat di atas adalah narasi tentang fenomena ini. Honda Beat mendapatkan posisi crowding effect, sementara Imansu tidak.

Crowding Effect: Makin banyak yang berkumpul, makin menarik bagi orang lain untuk ikut bergabung kumpul
Hal serupa juga terjadi ketika beberapa tahun lalu Anda, saya dan pemakai gadget lain berbondong-bondong meng-install WA dan meninggalkan BBM. Penyebabnya bukan karena BBM kalah canggih. Fitur live location yang WA baru meluncurkan beberapa bulan lalu sudah ada di BBM ketika itu. Dalam hal ini BBM lebih canggih. Anda memakai WA dan meninggalkan BBM karena fenomena crowding effect: kawan kawan, komunitas alumni sekolah, kolega, teman kerja, warga RT, kelompok hobi, keluarga, dan siapapun telah menggunakan WA dengan berbagai grup-nya. Jika tidak memakai WA Anda akan ketinggalan informasi di berbagai komunitas terdekat. Anda akan terpencil. Anda akan tertinggal informasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena ini akan ditemui misalnya ketika Anda sedang melaju di jalan raya dengan kecepatan 80 km/jam kemudian melihat di kiri jalan ada banyak orang berkerumun entah karena ada apa. Reaksi alami Anda akan sama: memperlambat laju dan bahkan bergabung menambah banyaknya kerumunan orang. Makin banyak orang yang berkerumun makin besarlah daya tarik siapapun untuk bergabung dalam kerumunan. Itulah crowding effect.
Pembaca yang baik, dunia bisnis semakin menyadari karakter konsumen kekinian yang makin terpengaruh crowding effect. Menjamurnya Alfamart dan Indomaret yang menggusur toko-toko kelontong tradisional adalah karena crowding effect. Makin menjamurnya apotek K-24 dan menggusur apotek lain adalah karena fenomena crowding effect. Gojek yang menggelontor dana promosi besar-besaran melalui harga diskon walau rugi dan menggusur ojek tradisional maupun angkutan umum adalah kesadaran manajemen tentang dahsyatnya fenomena crowding effect. Makin kedepan semua bidang akan makin kuat efek fenomena crowding effect. Perusahaan yang mampu meraih posisi crowding effect dengan modal nyaris tanpa batas sebagai hasil proses ekonomi berjamaah melalui korporatisasi akan menggusur pesaing-pesaingnya tanpa ampun. Perusahaan tempat Anda berkarya sudah berupaya memperoleh crowding effect?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga: Berkolaborasi supaya tidak mati
*)Tulisan karya Iman Supriyono ini pernah dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya
Reblogged this on Rekaman Jejak-Jejak.
Ping-balik: Dari Masjid Jogokariyan Ke Al Azhar: Konversi Kotak Infaq ke Kotak Wakaf | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kampus Sekolah Pesantren, Jangan Berbisnis! | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Entrepreneur, Jangan Menyebut Diri Sebagai UKM | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Dari Monopoli ke Monopolistik | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sari Roti, Intangible Asset: Menguangkannya? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi: Fokus | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pailit: DAJK | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Terpaksa: Agung Podomoro | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Membesar atau Mati: Career Choice Effect | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Menguangkan Intangible Asset: Sari Roti – SNF Consulting
Ping-balik: Dari Monopoli ke Monopolistik: Tumbuh Pesat atau Mati – SNF Consulting
Ping-balik: Kampus Sekolah Pesantren, Jangan Berbisnis! – SNF Consulting
Ping-balik: Entrepreneur, Jangan Menyebut Diri UKM – SNF Consulting
Ping-balik: Membesar atau Mati: Career Choice Effect – SNF Consulting
Ping-balik: Korporatisasi: Fokus – SNF Consulting
Ping-balik: Apa itu “Crowding Effect”? – Jalan Sukses Mulia
Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi
Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi
Ping-balik: Chiquita: Sejarah Korporasi Pisang | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner - SMN Digest
Ping-balik: Mitra Keluarga Menyalip Siloam: Modal Murah 2% Per Tahun | Korporatisasi
Tmksih ilmunya
tks kembali