Sejarah Australia Agricultural Company, AACo, berawal tahun 1824 dengan berdiri sebagai perusahaan pengembangan lahan bantuan British Parliement Crown Grant seluas 1.000.000 acre (sekitar 400 ribu hektar) di wilayah Port Stephens, New South Wales. Pada tahun 1831 sapi jantan Shorthorn diimpor dari Inggris untuk mengembangkan bisnis ternak. Pada tahun 1850, meskipun terjadi kekeringan, depresi, dan kehilangan banyak stok, jumlah domba perusahaan telah meningkat menjadi 114.118 ekor. Jumlah sapi menjadi 8.306 ekor. Jumlah kuda menjadi 1.436 ekor. Selama Perang Dunia I terjadi kekurangan tenaga kerja yang besar terutama untuk produksi wol sehingga perusahaan beralih dari domba untuk meningkatkan produktivitas ternaknya. Maka dimulailah proses penjualan ladang ternak selatan dan bergerak ke utara, membeli ladang ternak Headingly Station di Urandangie Queensland pada tahun 1916 dan Avon Downs di Northern Territory pada tahun 1921. Pada akhir Perang Dunia Kedua, AACo menjadi perusahaan khusus ternak sapi dan pada tahun 1950-an ternak sapi Santa Gertrudis diperkenalkan. Pada tahun 1980-an, sapi Braham diperkenalkan ke lahan barudi kawasan Gulf, Australia. Pada tahun 1990, agregasi Goonoo dibentuk dan dikembangkan di Queensland Tengah, dan pada tahun 1994, tempat penggemukan berkapasitas 17.500 didirikan. Juga pada tahun 1994, dilakukan pembelian stasiun penangkaran Austral Downs di Northern Territory. Tahun 2006, AACo membeli peternakan Westholme, yang menandakan langkah serius bisnis daging sapi bermerek. Tahun 2014, AACo membuka Livingstone Beef, sebuah pabrik pemrosesan daging sapi canggih di selatan Darwin. Saat ini, AACo fokus pada produksi produk daging sapi premium untuk ekspor dan konsumsi domestik. Daging sapi kami memberi makan lebih dari 1.000.000 orang di seluruh dunia setiap hari.
&&&
Rp 31,6 triliun. Itulah angka hasil kajian ekonomi kurban yang diselenggarakan oleh Direktorat Kajian dan Pengembangan ZIS DSKL BAZNAS. Kajian yang hasilnya dipublikasikan pada bulan Juni 2022 ini menarik sekali. Bahwa ibadah kurban, sebagaimana juga ibadah-ibadah lain, selalu memunculkan potensi ekonomi. Ibadah haji dan umrah memunculkan bisnis hotel, penerbangan, katering, kain ihram, dan sebagainya. Ibadah salat memunculkan potensi bisnis sajadah, mukena, sarung, peci, dan sebagainya. Demikian juga ibadah kurban. Memunculkan potensi ekonomi yang tidak kecil.
Lebih lanjut kajian BAZNAS menyebut, potensi ekonomi kurban terdiri dari kebutuhan binatang kurban terdiri kebutuhan kambing sebesar 1,6 juta ekor dan sapi sebesar 521 ribu ekor. Keduanya masing-masing bernilai Rp 9,3 triliun dan Rp 22,3 triliun. Pertanyaannya, siapa yang bisa memerangkap potensi sebesar itu? Data BPS menyebut bahwa nilai impor daging sapi dari Australia tahun 2021 bernilai USD 389 juta alias IDR 5,7 triliun.
Di atas saya menuliskan sejarah sebuah perusahaan peternakan sapi. Australian Agricultural Company alias AACo namanya. Sejarah tersebut saya ambil langsung dari web resmi perusahaan yang telah tercatat di Australia Stock Exchange ini. Perusahaan tertua Australia yang masih beroperasi hingga kini ini melaporkan omzet sebesar AUD 662 juta alias IDR 6,5 triliun. Omzet didukung oleh persediaan sapi yang berjumlah sekitar 382 ribu ekor. Laporan tahunan juga menyebut bahwa ekspor sapi dan daging sapi adalah salah satu sumber pendapatan perusahaan.
Apa yang menarik? Bahkan perusahaan peternakan sapi dengan nilai pasar sekitar IDR 9 triliun itu pun belum mampu memenuhi seluruh potensi kebutuhan sapi di negeri ini. Nilai impor sapi atau daging sapi dari Australia hanya berkontribusi 44% dari total nilai impor sapi atau daging sapi negeri ini.

Apa artinya? Masih ada potensi untuk hadirnya perusahaan peternakan sapi sekelas AACo atau bahkan lebih besar lagi di Indonesia. Kita mesti belajar dari perusahaan yang tahun lalu mampu menggaji direktur utama (CEO)-nya sebesar Rp 10 miliar ini. Cermati pelajaran-pelajaran penting dari sejarah 199 tahun eksistensi AACo. Pelajaran bahwa membangun perusahaan bukan pekerjaan sehari dua hari. Pelajaran bahwa perusahaan peternakan besar butuh lahan luas ratusan ribu hektar. Pelajaran bahwa dukungan pemerintah terhadap lahan yang luas adalah bagian penting dari fondasi perusahaan. Pelajaran bahwa perusahaan peternakan besar juga membutuhkan modal yang besar yang dikumpulkan dari banyak investor dan karenanya mesti hadir di lantai bursa. Pelajaran bahwa perusahaan besar butuh SDM tangguh sehingga juga membutuhkan gaji yang besar. Dan yang paling penting adalah pelajaran bahwa bisnis sapi besar tidak bisa dilakukan oleh perorangan. Hanya korporasi yang bisa melakukannya. Kita juga bisa!
Tulisan ke-406 Iman Supriyono ini ditulis untuk dan dimuat di Majalah Matan, edisi Juni 2023, terbit di Surabaya
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Baca juga:
Sejarah Grameen Bank
Sejarah Bata dan Kalibata Batavile Batanagar
Sejarah Raket Yonex
Sejarah Heinekken Hadir di Indonesia
Sejarah Revlon dan Kepailitannya
Sejarah Korporasi
Sejarah Lions Club
Sejarah Hyundai versus Astra
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Sejarah Danone Dari Turki Usmani Hadir ke Indonesia
Sejarah Kalsiboard dan Etex Group
Sejarah Embraer si “PTDI” Brazil