Kesalahan Wakaf Saham: Bagaimana Perbaikannya?


Seorang pendiri perusahaan manufaktur, sebut saja Fulan, menyampaikan kepada saya tentang rencana untuk mewakafkan saham miliknya. Rencana ini muncul karena proposal sebuah lembaga zakat infaq nasional, sebuat aja PQR.  PQR telah mendapatkan lisensi sebagai nadzir wakaf.

Dalam proposalnya, PQR menyampaikan agar Fulan mewakafkan saham yang dimilikinya di perusahaan manufaktur yang didirikannya, sebut saja PT XYZ.  Selama ini seluruh saham PT XYZ, sebut saja 1000 lembar, semuanya dimiliki Fulan dan keluarga. Nah, proposal PQR bermaksud agar Fulan mewakafkan 30% saham alias 300 lembar. Saham yang ada semula milik Fulan dibalik nama menjadi milik PQR dengan transaksi wakaf. PQR menjanjikan kompensasi berupa membantu pemasaran PQR di jaringan yang dimilikinya.

Proposal PQR itu kelihatannya bagus. Tapi paling tidak mengandung dua kesalahan. Kesalahan pertama adalah transaksi itu akan langsung mengurangi kendali Fulan sebagai founder sebesar 30% tanpa dibarengi dengan penguatan sistem manajemen. Ini bahaya karena akan mempersempit ruang penerbitan saham baru bagi PT XYZ baik di lantai bursa maupun di luar lantai bursa.

sebuah perusahaan memang harus berproses menjadi fully corporatized company sesuai dengan corporate life cycle. Cirinya adalah sudah tidak ada lagi pemegang saham pengendali dan menguasai pasar lebih dari 100 negara. Pendiri pun tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali. Tapi titik kritis kepemilikan pendiri 51% baru boleh terjadi manakala sistem manajemen sudah terbentuk. Piramida manajemennya sudah tinggi dan lebar. dan ini butuh pertumbuhan omzet.

Kesalahan kedua adalah tidak fungsional bagi penguatan ekonomi umat. Memang masalah sosial akan teratasi dengan dividen yang akan diterima jika 300 lembar saham itu diwakafkan. Tetapi masalah ekonomi umat tidak terselesaikan.

Apa masalah ekonomi yang tidak terselesaikan itu? Penguatan ekonomi agar menjadi umat produsen. Bukan umat konsumen seperti yang selama ini. Pesawat, mobil, gadged, sabun, pasta gigi, dan semua produk diproduksi oleh perusahaan asing. Bangsa dan umat ini hanya bisa membelinya sebagai konsumen.

Bagaimana skema wakaf menyelesaikannya? Kembali kepada PT XYZ. Perusahaan itu adalah klien SNF Consulting, kantor tempat saya beraktifitas. Maka saya tahu bahwa ada peluang besar bagi PT XYZ yanG sudah di depan mata. Apa itu? Meningkatkan kapasitas pabrik untuk memproduksi barang yang selama ini telah dijualnya dan diterima pasar. Butuh dana untuk investasi.

Bagaimana teknisnya? PT XYZ menerbitkan saham baru. Katakan 300 lember.  Harga per lembarnya bisa dihitung agar fair bagi semua pihak. Tentu saja di atas harga nominal di akta (par value). Tentu juga di atas nilai buku karena perusahaan memiliki intangible asset. Besarnya bisa dihitung dengan metode valuasi yang selama ini dipakai oleh SNF Consulting untuk membantu klien-kliennya.

Saham beru itu kemudian seluruhnya dibeli oleh PQR. Dari mana PQR mendapatkan dananya? PQR sudah  dikenal jago dan kredibel dalam mengumpulkan dana sosial masyarakat. Tinggal memanfaatkan keahlian ini untuk mengumpulkan dana pembelian 300 lembar saham itu. Katakan harga per lembar saham adalah Rp 50 juta. Dengan mudah PQR bisa mengumpulkan dana Rp 15 M untuk membeli 300 lembar saham baru tersebut. Seluruhnya.

Uang Rp 15 M sepenuhnya menjadi hak PT XYZ. Sesuai kesepakatan, uang itu kemudian digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi pabrik. Scale up! Dengan demikian akan meningkatkan omzet dan laba. Selanjutnya, saat bagi dividen, PQR mendapatkan hak sesuai proporsi kepemilikan sahamnya yaitu 300 dari total saham 1300 alias 23%.

Apakah investasi ini aman? Aman karena PT XYZ selama ini telah memiliki pabrik produk yang sama dan menghasilkan laba yang bagus. Laporan keuangan tersedia. Siap diaudit akuntan publik. Hak dividen saham wakaf tidak digantungkan hanya pada pabrik baru. Tetapi seluruh pabrik milik perusahaan, lama maupun baru, yang sudah terbukti menghasilkan laba secara konsisten. Pabrik baru pun hanya merupakan proporsi kecil dari total pabrik milik PT XYZ.

Meningkatkan omzet dan laba ini efeknya banyak. Antara lain: penguasaan pasar meningkat, intangible asset PT XYZ meningkat karena kehadiran di pasar makin masif, karyawan makin sejahtera karena omzet dan laba meningkat, pengangguran berkurang karena PT XYZ merekrut karyawan baru untuk menjalankan pabrik yang baru dibangun. Para pemegang saham existing juga menikmati berupa kenaikan dividen seiring dengan peningkatan laba perusahaan. Ujung-ujungnya adalah kontribusi untuk tampilnya umat dan bangsa menjadi produsen. PT XYZ makin kuat menghadapi pesaing pesaingnya termasuk perusahaan-perusahaan asing.

Dana wakaf untuk meningkatkan kapasitas manufaktur untuk memproduksi barang kebutuhan umat

Diskusi dengan PQR cukup alot. Mereka tetap bertahan skema yang diajukannya. Penjelasan saya dengan simulasi akuntansi finansial ditolaknya. Jadilah transaksi wakaf itu batal. Sayang seribu sayang. Peluang besar terlewatkan begitu saja. Anda pekerja lembaga pengumpul dana sosial umat? Ayo tangkap peluang ini. Wakaf berbasis ekuitas untuk scale up korporasi. Wakaf modern!

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA SNF Consulting

*)Artikel ke-287 ini ditulis pada tanggal 13 September 2020 oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting.

22 responses to “Kesalahan Wakaf Saham: Bagaimana Perbaikannya?

  1. Ini beda konteks mas. Kalau tg pertama wakaf saham, meski tdk persis spt itu. Yg kedua, itu pengelolaan wakaf uang. Jadi nadzir menerima cash wakaf, lalu boleh diinvestasikan pada sektor riil. Jadi, beda kasus. Kalau yg dr kasus awal, justru perusahaan yg akan berwakaf. Kalau yg kedua, yg berwakaf banyak orang, pt xyz tdk berwakaf

  2. Ping-balik: Wakaf Alkhirrijun: Sahabat Sekolah Sahabat Surga | Catatan Iman Supriyono

  3. Ping-balik: Sejarah Heineken: Kekuasan Belanda & Raja Miras RI | Catatan Iman Supriyono

  4. Ping-balik: Puasa Infaq: Ekonomi Umat Meroket! | Korporatisasi

  5. Ping-balik: Zakat Mal Era Korporasi: Menjadi Bangsa Produsen | Korporatisasi

  6. Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi

  7. Ping-balik: Bunga 10% Murah Atau Mahal? | Korporatisasi

  8. Ping-balik: Wakaf Korporat: Nazir Sebagai Model Bisnis Sociopreneur | Korporatisasi

  9. Ping-balik: Wakaf Korporat: Model Bisnis Sociopreneur | Korporatisasi

  10. Ping-balik: Mematematikakan Untuk Memudahkan: Obituari Pak Towik | Korporatisasi

  11. Ping-balik: Bu Prayogo: Obituari Guru Yang Membawa Visi Global Untuk Muridnya | Korporatisasi

  12. Ping-balik: Sensei Munzaid: Obituari Untuk Seorang Guru Pengukir Jiwa | Korporatisasi

  13. Ping-balik: Zakat Bagi Orang Pelit | Korporatisasi

  14. Ping-balik: Aset Emas: Zakat Bagi Orang Pelit | Korporatisasi

  15. Ping-balik: Uang Kasur Uang Kasir Pak Sis | Korporatisasi

  16. Ping-balik: Ramadhan Eksekusi | Korporatisasi

  17. Ping-balik: ACT, Lions Club dan Sejarah Melayani 200 Negara | Korporatisasi

  18. Ping-balik: Hayyu x ACR: Perusahaan Dakwah | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi

  20. Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi

  21. Ping-balik: ACR x Hayyu: RUPS & Dividen Pertama | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s