RPD: Peredam Risiko Investasi – Wakaf


Banyak yang bertanya. Bagaimana dana wakaf diinvestasikan ke sebuah perusahaan? Kan risikonya besar? Tidak! Risiko akan sangat kecil. Lalu caranya bagaimana? Saya akan menjelaskannya dalam bentuk poin-poin. Penjelasan ini juga berlaku untuk investasi secara umum.

  1. Bayangkan ada sebuah perusahaan, sebut namanya PT GHI yang telah berdiri sejak sepuluh tahun lalu dengan 1000 lembar saham masing-masing bernilai nominal Rp 1 juta per lembar.  Kini GHI telah memiliki 30 gerai. Rata-rata laba Rp 300 juta per gerai. Total menghasilkan laba Rp 9 miliar. Pertumbuhan gerai banyak dihasilkan dari laba ditahan.
  2. Kinerja GHI selama ini bagus. Pertumbuhan bagus. Dalam 5 tahun terakhir selalu membukukan laba. Labanya pun terus tumbuh. Laporan keuangan selalu diaudit oleh akuntan publik dengan opini wajar tanpa perkecualian (WTP)
  3. Tahun ini memutuskan berekspansi membangun 5 gerai baru dengan mendatangkan investor. Misalkan dibutuhkan dana Rp 1 miliar tiap gerai jadi total Rp 5 miliar.  Nazir Wakaf JKL tertarik untuk berinvestasi pada GHI dan siap dana Rp 5 miliar.
  4. Paling tidak ada  2 alternatif  skema yang bisa dipilih. Alternatif pertama adalah waralaba. Alternatif ini sangat populer. Jika ini yang dipilih maka dana Rp 5 miliar itu digunakan untuk mendirikan 5 gerai yang sepenuhnya dimiliki oleh JKL. GHI akan memperoleh fee sebagai pewaralaba.
  5. Dengan skema waralaba, 5 gerai baru sepenuhnya adalah milik JKL.  Maka,  segala risiko sepenuhnya ditanggung JKL. Katakan dari 5 gerai tersebut 3 rugi masing-masing Rp 300 juta. Sisanya 2 gerai memperoleh laba masing-masing Rp 300 juta. Maka secara keseluruhan JKL akan mengalami kerugian sebesar Rp 300 juta dari investasi tersebut. Inilah risiko besar skema pertama ini. Sehebat apa pun GHI tidak akan bisa menghilangkan risiko kegagalan. Sekelas McD atau KFC yang sudah berpengalaman dengan puluhan ribu gerai saja tetap selalu ada risiko kegagalan. Starbucks misalnya tiap tahun kurang lebih menutup hampir 2% gerainya. Walau tetap mendirikan gerai baru sekitar 6% dari total gerai sebelumnya sehingga pertumbuhan bersihnya adalah 4%.
  6. Alternatif skema kedua adalah GHI menerbitkan 50 lembar saham baru. Lalu 50 lembar saham tersebut dibeli oleh JKL seharga Rp 5 miliar. Jadi harga per lembar saham adalah Rp 10 juta. Perbedaan harga dengan nilai nominal saham adalah untuk memberi apresiasi kepada pendiri dan perusahaan yang telah berjalan dengan baik sejak didirikan. Selanjutnya GHI membangun 5 gerai baru yang sepenuhnya dimiliki oleh GHI. Dengan demikian GHI total telah menerbitkan 1050 lembar saham, dengan 1000 lembar dimiliki pendiri dan 50 lembar dimiliki  JKL.
  7. Katakan dari 5 gerai tersebut 2 laba masing Rp 300 juta.  Sisanya 3 rugi masing-masing Rp 300 juta. Jadilah secara keseluruhan GHI laba. Yang 30 gerai lama total laba Rp 9 miliar. Yang baru rugi Rp 300 juta. Jadi total masih laba Rp 8,7 miliar. Tiga puluh gerai lama berperan sebagai peredam risiko bagi investor baru.
  8. Skema pertama adalah investasi tanpa peredam risiko. Tidak boleh dilakukan oleh nazir wakaf. Skema kedua investasi dengan peredam risiko. Cocok untuk nazir wakaf.
  9. Nazir wakaf harus mengamankan risiko. Persis seperti yang dilakukan oleh sebuah investment company. Paling tidak ada empat cara untuk keperluan ini. Cara pertama adalah memilih skema kedua seperti pembahasan di atas. Mengamankan risiko dengan skema yang sudah ada peredam risikonya. Memilih perusahaan seperti GHI yang telah memiliki peredam risiko dengan skema saham.
  10. Cara kedua,  perusahaan yang dipilih untuk menerima investasi harus sudah sampai pada langkah keenam dari 8 langkah corporate life cycle. Sudah pada tahapan scale up. Artinya perusahaan telah menemukan revenue and profit driver (RPD). RPD adalah aset yang jika dimiliki perusahaan langsung meningkatkan pendapatan dan laba dengan risiko kegagalan historis yang rendah.
  11. Cara ketiga, sebagai nazir, JKL tidak boleh menginvestasikan dananya pada satu perusahaan. Tidak boleh menaruh telur pada satu keranjang. Jadi, Rp 5 miliar yang ditanamkan oleh JKL pada GHI tidak boleh merupakan keseluruhan aset. Investasi baru aman jika katakan total dana yang dikelola JKL adalah Rp 500 miliar. Jadi yang diinvestasikan pada GHI hanya 1% dari total aset.
  12. Keempat, tidak semua aset wakaf diinvestasikan pada saham. Best practice dari investasi yang dilakukan oleh investment company dan pengelola dana wakaf (endowment fund) maka proporsi aset yang diinvestasikan pada saham adalah sekitar 50%. Selebihnya yaitu sekitar 30% ditempatkan pada investasi aset fix income yaitu skema utang piutang.  Bisa berupa deposito,  obligasi, sukuk dan sejenisnya. Sisanya yaitu sekitar 20% untuk properti yang disewakan atau aset-aset sejenis.
Investasi dana wakaf butuh peredam. Seperti shock breaker pada mobil yang membuat penumpangnya tetap nyaman walau jalannya bergelombang.

Demikian cara mengamankan investasi dana wakaf. Juga untuk investasi secara umum. Bagaimana pendapat Anda, aman kan? Tidak sekedar aman. Bahkan dana wakaf menjadi bukan sekedar solusi sosial. Tapi sekaligus juga menumbuhkan perusahaan umat. Menjadi salah satu pilar dari enam pilar kemerdekaan ekonomi umat dan bangsa. Untuk munculnya banyak perusahaan dakwah yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa masyarakat berbagai bangsa. Ayo segera dirikan dan perkuat nazir wakaf. Kita bisa! Allahuakbar! Merdeka!

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI

Baca juga:
Wakaf Modern Untuk Keabadian Amal dan Kemerdekaan Ekonomi
Konversi Kotak Infaq ke Kotak Wakaf
Kesalahan Wakaf Saham Dan Perbaikannya
Wakaf Untuk Beasiswa: Fulbright Dari Timur
Wakaf Moncer dengan Puasa Infaq
Wakaf Para Alumni untuk Adik Kelasnya
Wakaf Agar Rp 10 Triliun Tidak Melayang Tiap Tahun
Wakaf Uang
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal

Artikel ke-336 karya Iman Supriyono ini ditulis di Dedurian Park, Wonosalam, Jombang, pada tanggal 27 Juni 2021

40 responses to “RPD: Peredam Risiko Investasi – Wakaf

  1. Ping-balik: Bagaimana Cara Meredam Risiko Investasi Wakaf ? – Wakafpreneur Institute

  2. Ping-balik: IPO Bukalapak: Prospektif atau Buang Uang? | Korporatisasi

  3. Ping-balik: Wakaf Korporat: Nazir Sebagai Model Bisnis Sociopreneur | Korporatisasi

  4. Ping-balik: Wakaf Korporat: Model Bisnis Sociopreneur | Korporatisasi

  5. Basith C. Sutjipto

    Proporasi 20% untuk properti yang disewakan, padahal faktanya selama pandemi rumah kost apalagi hotel kosong melompong. Saat pandemi, banyak properti tak ubahnya sprti bangunan berhantu. itu diloaksi dekat kampus, bayangkan jika jauh dr kampus. Bagaimana cak apa ada alternatif peredam lain?

  6. Ping-balik: Mematematikakan Untuk Memudahkan: Obituari Pak Towik | Korporatisasi

  7. Ping-balik: Bu Prayogo: Obituari Guru Yang Membawa Visi Global Untuk Muridnya | Korporatisasi

  8. Ping-balik: Sensei Munzaid: Obituari Untuk Seorang Guru Pengukir Jiwa | Korporatisasi

  9. Ping-balik: Entrepreneur CEO Komisaris, Amankan Uang Investor! | Korporatisasi

  10. Ping-balik: Faktor Kali Alias RPD | Korporatisasi

  11. Ping-balik: Glorifikasi IPO Kioson: Lunglai Dalam Badai | Korporatisasi

  12. Ping-balik: Pedal Gas: Revenue & Profit Driver | Korporatisasi

  13. Ping-balik: Corong Menuju RPD | Korporatisasi

  14. Ping-balik: Funneling Marketing: Corong RPD | Korporatisasi

  15. Ping-balik: N250 & Kemustahilan Habibie | Korporatisasi

  16. Ping-balik: Rebranding: Ya atau Tidak? | Korporatisasi

  17. Ping-balik: Rebranding Jangan Sembarangan | Korporatisasi

  18. Ping-balik: Zakat Bagi Orang Pelit | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Aset Emas: Zakat Bagi Orang Pelit | Korporatisasi

  20. Ping-balik: Uang Kasur Uang Kasir Pak Sis | Korporatisasi

  21. Ping-balik: Spekulan Crypto | Korporatisasi

  22. Ping-balik: Kumowani: Blunder Nazir Menjadi Startup | Korporatisasi

  23. Ping-balik: Ramadhan Eksekusi | Korporatisasi

  24. Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi

  25. Ping-balik: ACT, Lions Club dan Sejarah Melayani 200 Negara | Korporatisasi

  26. Ping-balik: Hayyu x ACR: Perusahaan Dakwah | Korporatisasi

  27. Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi

  28. Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi

  29. Ping-balik: Emas Perak Forex: Investasi atau Spekulasi? | Korporatisasi

  30. Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi

  31. Ping-balik: Entrepreneur: Memulai, Visi Besar &Perceraian | Korporatisasi

  32. Ping-balik: Cokroaminoto – Zara: Jalan Sunyi Para Pebisnis | Korporatisasi

  33. Ping-balik: Daun Jati: Puluhan Tahun Kerja Keras | Korporatisasi

  34. Ping-balik: Corporate Life Cycle | Korporatisasi

  35. Ping-balik: RPD Starbucks: Kegagalan Yang Baik | Korporatisasi

  36. Ping-balik: “Terpaksa” Waralaba | Korporatisasi

  37. Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi

  38. Ping-balik: Biaya Belajar atau Biaya Kebodohan: Pilih Mana? | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s