Biaya Belajar atau Biaya Kebodohan: Pilih Mana?


Ini adalah pengalaman seorang pendiri perusahaan, sebut saja Suipo. Pengalaman rugi besar karena terlanjur mengambil langkah stratejik untuk perusahaan yang didirikannya tanpa terlebih dahulu memahami ilmunya dengan cukup. Tanpa ilmu yang dipahami sampai terang-benderang. Tanpa ilmu yang dipelajari sampai  laa roiba fiihi dalam terminologi Al Qur’an. Sampai tdak ada keraguan.

Suatu saat Suipo mengikuti Kelas Korporatisasi dan Kelas CEO dari SNF Consulting, perusahaan konsultan tempat saya berkarya. Di kelas ini dipelajari secara simulasi dan studi kasus bagaimana perusahaan menjalani proses langkah demi langkah untuk menjadi sebuah korporasi sejati. Proses yang disebut korporatisasi ini terdiri dari 8 langkah Corporate Life Cycle (CLC). Simulasi dan studi kasus menjadikan 8 langkah yang juga dilalui oleh perusahaan-perusahaan yang kini melayani berbagai negara menjadi terang-benderang. Laa roiba fiih. Tidak ada keraguan.

Dijelaskan juga melalui simulasi dan studi kasus bagaimana proses penerbitan saham secara terus menerus. Kapan mulai menerbitkan saham, berapa harganya, berapa persen penerbitannya, kapan menerbitkan saham lagi, demikian seterusnya sampai menjadi korporasi sejati. IPO hanya salah satu milestone dari perjalanan panjang perusahaan dalam mengukir sejarahnya.

Nah, saat ikut kelas ini, perusahaan yang didirikan Suipo sedang menjalani proses IPO. Karena sudah berjalan tentu saja tidak bisa dihentikan atau dibatalkan. Proses retrukturisasai sebelum IPO sampai IPO menjadikan Suipo tinggal memegang sekitar 30% saham. Proses resturkturisasi pra IPO dan iPO telah mendilusi saham Suipo sebesar sekitar 70%. Praktis perusahaan yang diririkan Suipo telah melalui titik kritis korporatisasi dengan kesalahan fatal. Fatal karena akan sulit dikoreksi. Kalaupun bisa akan memakan waktu yang lama dan biaya yang besar.

Dengan simulasi dan studi kasus di Kelas Korporatisasi, si Suipo dengan mudah memahami hal sangat mendasar dan  ilmiah. Andai saja dia melakukannya sesuai dengan road map dan tahapan yang tepat, dilusi 70% itu akan menghasilkan dana paling tidak  Rp 3 triliun.

Nah, ini menariknya. Mestinya Rp 3 triliun jadinya hanya Rp 70 miliar. Selisihnya, Rp 2,93 triliun itu adalah sebuah kehilangan potensi yang luar biasa. Kehilangan inilah yang disebut sebagai biaya kebodohan.

Sebagai bandingan, Alfamart misalnya. Saham founder saat ini sekitar 52%. Masih belum melalui titik kritis korporatisasi yaitu dilusi 50%. Berapa dana yang telah diperoleh melalui penerbitan saham? Laporan teraudit 2021 menunjukkan angka Rp 2,679 triliun. Ingat, ini pendiri baru terdilusi 48%. Belum sampai 70% seperti si Suipo tadi.

Anda pelaku bisnis? Anda entrepreneur? Anda pendiri perusahaan? Ingat bahwa setiap gerak-beriknya, setiap perusahaan akan dipaksa untuk membayar satu dari dua biaya: biaya belajar atau biaya kebodohan. Dan Anda harus tahu bahwa biaya kebodohan itu jauh lebih mahal dari pada biaya belajar. Ingat pengalaman Suipo. Anda pilih mana?

Karya ke-401 Iman Supriyono ini ditulis di SNF House of Management, Surabaya, pada tanggal 6 Maret 2023.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga
RPD Sebagai Peredam Risiko Investasi Wakaf
RPD Sebagai Pedal Gas
Giant Tutup: Sulitnya Menemukan Kembali RPD
Deep Dive Sang CEO Mengamankan RPD
RPD Sebagai Salah Satu Tahap Corporate Life Cycle
Faktor kali alias RPD
Merger Akuisisi Sebagai Transaksi RPD
Funneling Marketing Untuk RPD

5 responses to “Biaya Belajar atau Biaya Kebodohan: Pilih Mana?

  1. Meningkatkan pengalaman dan baca belajar monitor evaluasi dari pengalaman jam terbang…

  2. Ping-balik: Ghost Flight: Autopilot Bisnis? | Korporatisasi

  3. Ping-balik: Hiruk Pikuk Rempang: Kuatkah Xinyi Glass? | Korporatisasi

  4. Ping-balik: Pajak Saham Baru: Biaya Kebodohan | Korporatisasi

  5. Ping-balik: Demarketing: Resto Calvados Yang Ramai Tapi Tutup | Korporatisasi

Tinggalkan komentar