Titik Kritis Korporatisasi: Alfamart


Ada dua sumber modal bagi sebuah perusahaan. Secara akuntansi memang hanya ada dua. Tidak ada sumber lain. Sumber pertama adalah utang. Sumber ini sudah sangat familiar. Di negeri ini aset perbankan ada lebih dari Rp 8 ribu triliun. Duit yang lebih besar dari aset pemerintah RI itu semua tersedia untuk diutangkan kepada mereka yang butuh. Tentu saja termasuk kepada pelaku bisnis yang butuh dana untuk pengembangan usaha.

Ciri utama dari utang adalah adanya kewajiban pengembalian. Misalkan Anda berutang kepada bank Rp 10 miliar. Dalam perjanjian utang piutang pasti akan ada poin dimana pada suatu saat Anda harus mengembalikannya utuh. Tidak boleh kurang sepeserpun. Tentu harus ditambah dengan kompensasi untuk pemberi utang. Bisa berupa bunga atau bagi hasil sesuai akad.

Sumber kedua adalah ekuitas. Di negeri ini sumber ini tidak populer. Kalah jauh dengan utang. Sebagai gambaran, penyalur dana untuk sumber ini adalah perusahaan investasi. Di negeri ini yang paling terkemuka adalah Saratoga besutan  Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya. Pada laporan keuangan terbarunya, aset Saratoga adalah Rp 24 triliun. Bandingkan misalnya denga aset Bank Mandiri yang Rp 1 359 triliun. Tampak sekali perbedaannya. Langit dan sumur.

Kondisi ini berkebalikan dengan suasana di USA. Perusahaan investasi terbesar disana adalah BlackRock Investment. Aset yang dikelolanya adalah USD 7,4 triliun alias Rp 109 ribu triliun. Bandingkan dengan Citibank sebagai bank terbesar yang asetnya USD 1,99 triliun alias Rp 29 ribu triliun. Nilai ini pun tidak murni dana utangan karena Citibank juga punya unit investment banking. Perusahaan investasi lebih unggul.

Dalam kondisi ketidakpopuleran sumber utang, ada beberapa perusahaan yang tetap memanfaatkan optimal sumber ini. Contohnya adalah Alfamart. Sejak berdiri tahun 1999 hingga saat ini, pendiri menyetorkan modal Rp 216 miliar. Untuk ekspansi hingga kini memiliki hampir 16 ribu gerai, Alfamart terus menerus membuka pintu kedua ini. Pintu ekuitas.

Perusahaan yang berdiri 11 tahun lebih muda dari Indomaret itu telah melakukan IPO. Setelah IPO perusahan ritel yang kini jumlah gerainya hampir sama dengan Indomaret ini masih terus menerus membuka pintu sumber kedua. Melakukan rights issue alias menerbitkan saham baru. Menurut laporan keuangan terbarunya, hingga saat ini setoran modal dari investor non pendiri adalah sebesar Rp 2,68 triliun. Jauh lebih besar dari pada yang disetor oleh pendiri.

Dengan terus-menerus menerbitkan saham baru, prosentase saham pendiri terus menerus menurun. Terdilusi. Saat ini prosentase saham pendiri adalah 52%. Menurun secara prosentase tapi meningkat secara nilai dan hak labanya. Kepemilikan pendiri 52% itu kini nilainya Rp 14,58 triliun. Meningkat 67 kali lipat dibanding uang yang Rp 216 miliar yang disetorkan pendiri.

Kepemilikan 52% itu juga berarti proporsi hak laba pendiri dari total laba perusahaan. Tahun 2019 laba Alfamart adalah Rp 978 milar. Dengan demikian hak pendiri adalah Rp 509 miliar. Dihitung dari uang yang diinvestasikannya, tahun 2019 ROI pendiri adalah 235%. Berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan deposito misalnya.

Alfamart di titik kritis proses korporatisasi

Nah, angka kepemilikan saham pendiri 52% ini adalah titik kritis korporatisasi bagi sebuah perusahaan. Maksudnya, dengan kepemilikan tersebut pendiri masih menjadi pemegang saham pengendali dan memegang kekuasan mutlak. Tapi, jika perusahaan menerbitkan saham sekali lagi, misalkan 10% untuk menerima dana Rp 2,8 trilin,  maka pendiri sudah tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali. Kurang dari 51%. Alfamart menjadi fully corporatized company seperti perusahaan-perusahaan global lain. Seperti Walmart, Carrefour, Toyota, Danone, Nestle, McDonalds, Starbucks dan sebagainya.

Disebut titik kritis karena perusahaan harus memastikan bahwa sistem manajemen sudah kokoh. Ciri pokoknya adalah jenjang kaderisasi manajemen sudah cukup. Siapapun yang mundur atau pensiun, termasuk direktur, akan dengan mudah digantikan oleh level jabatan dibawahnya dengan mulus. Seperti di militer. Siapapun pensiun pada pangkat apapun akan dengan mudah digantikan oleh pangkat dibawahnya dengan mulus. Siapapun menjadi direksi dan komisaris, pendiri tetap menikmati hak laba dan kenaikan nilai yang terus tumbuh. Pundi-pundi uang yang terus membesar seiring dengan penerbitan saham baru lagi dan lagi sampai perusahaan menguasai pasar lebih dari 100 negara sebagai ciri langkah paripurna dalam corporate life cycle..  Seperti McDonald, Toyota, Starbucks dan sebagainya. Apakah alfamart akan memutuskan segera melalui titik kritis korporatisasi ini? Kita lihat saja…

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA SNF Consulting

Baca Juga:
Corporate life cycle
Korporatisasi: asal muasal dan peran
Modal Alfamart mengejar Indomaret

*)Artikel ke-294 tulisan Iman Supriyono ini juga dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi Nopember 2020

6 responses to “Titik Kritis Korporatisasi: Alfamart

  1. Cak Iman punya berapa lembar saham Alfamart?
    Hehehe

  2. Ping-balik: Giant Tutup: Sulitanya Menemukan Kembali RPD | Korporatisasi

  3. Ping-balik: Biaya Belajar atau Biaya Kebodohan: Pilih Mana? | Korporatisasi

  4. Ping-balik: Bahaya IPO UKM | Korporatisasi

  5. Ping-balik: Hiruk Pikuk Rempang: Kuatkah Xinyi Glass? | Korporatisasi

Tinggalkan komentar