Bahaya IPO UKM


Belakangan muncul dorongan kuat agar UKM melakukan IPO.  Grup-grup wa, seminar, training dan media sosial komunitas entrepreneur menjadi tempat subur untuk mengelokannya.  Seolah semua sepakat. Padahal IPO UKM mengandung bahaya yang amat sangat. Bahkan ancaman besar. Apakah itu? saya akan menuliskannya dalam bentuk poin-poin.

Provokasi IPO UKM itu bahaya sekali. Bisa membuat seperti harimau yang lemah lunglai. Potensinya besar. Tapi terlemahkan karena tidak sadar bahaya.

  1. Batas atas sebuah usaha masuk dalam kategori UKM menurut peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah adalah modal di luar tanah dan bangunan sebesar Rp 10 miliar atau penjualan maksimum Rp 50 miliar
  2. Perusahaan dengan aset dan omzet seperti di atas sangat berbahaya bila dipaksakan melakukan IPO. Apa bahayanya? Setidaknya ada 3 bahaya yang krusial. Bahaya pertama adalah pemborosan dilusi. Dilusi adalah menurunnya persentase kepemilikan saham pendiri. Pemborosan dilusi adalah kondisi di mana saham pendiri mengalami penurunan persentase lebih tinggi untuk menghasilkan jumlah uang tertentu.
  3. Gambarannya adalah sebagai berikut. Misalkan PT ABC bergerak di bidang restoran memiliki 10 gerai dengan aset Rp 10 miliar (Rp 1 miliar tiap gerai di mana semua gedung berasal dari sewa) laba Rp 3 miliar. Aset Rp 10 miliar menghasilkan laba Rp 3 miliar alias ROA (return on aset) 30% itu sudah super optimis.
  4. Jika PT ABC memiliki rasio harga saham terhadap laba (price to earning rasio, PER) 20 maka nilai pasar PT ABC adalah Rp 60 miliar. Angka PER 20 ini sudah sangat tinggi karena artinya ROI bagi investor adalah 5% (per tahun).
  5. Faktanya di lantai bursa ROI yang stabil pada angka 20 hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki merek kokoh di pasar. Sekalas Astra Internasional saja PER nya hanya 8,94.  Indofood Sukses Makmur pun PER hanya 8,86. Jadi asumsi PER 20 itu adalah sangat amat tinggi. Artinya, hitungan nilai pasar (market capitalization) Rp 100 miliar bagi PT ABC sudah merupakan perkiraan super optimis
  6. Malangnya, dengan perkiraan super optimis pun angkanya masih kecil. Mari kita runut akibatnya. Dengan nilai pasar Rp 60  miliar maka penerbitan saham baru 10% dalam IPO hanya akan menghasilkan dana Rp 6 miliar. Angka ini akan tidak menarik bagi penjamin emisi. Akibatnya PT ABC akan dipaksa menerbitkan saham dengan persentase lebih tinggi agar menarik bagi penjamin emisi.  Misalkan 40 %. Dengan persentase ini maka perolehan dana IPO adalah Rp 24 miliar.  Inilah letak bahayanya. Pendiri PT ABC terdilusi 40% untuk mendapatkan dana Rp 24 miliar.
  7. Mengapa bahaya? Ada dua penjelasan.  Penjelasan pertama, dengan dilusi 40% maka PT ABC tinggal punya kesempatan dilusi lanjutan 10% (melalui rights issue) untuk mencapai titik kritis korporatisasi yaitu saat pendiri sudah tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali. Mengapa harus ada dilusi lanjutan? Karena untuk bisa eksis dan tumbuh dari generasi ke generasi, sebuah perusahaan harus mencapai ukuran tertentu untuk terbentuknya sistem manajemen yang ditandai dengan adanya struktur organisasi dengan level jabatan lebih dari 20. Ini membutuhkan dana besar. Membutuhkan aset besar. Oleh karena itu sebuah perusahaan mestilah berhemat dilusi. Tumbuh eksponensial mengikuti kurva korporatisasi. Dengan cara ini, Afmamart misalnya, telah memperoleh dana dari lantai bursa sebesar Rp 2,5 T saat pendiri terdilusi 47%.
  8. Penjelasan kedua, PT ABC yang memiliki aset 10 miliar tiba-tiba mendapatkan tambahan aset Rp 24 miliar alias total aset menjadi 34 miliar. Tumbuh 340%. Ini seperti seorang yang biasa mengemudikan Toyota Agya tiba-tiba harus mengemudikan truk tonton. Risikonya sangat tinggi. Berbahaya.
  9. Dengan kebutuhan aset Rp 1 miliar per gerai, perolehan dana IPO tersebut akan menjadi 24 gerai. Perusahaan yang biasanya mengelola 10 gerai tiba-tiba bertambah 24 gerai alias total menjadi 34 gerai akan kocar-kacir dalam manajemennya. Ekspansinya akan sangat mengawur. Akibatnya ROA akan terganggu. Akan turun. Investor akan dirugikan. ROI yang dijanjikan saat IPO tidak akan tercapai.
  10. Bahaya kedua, dengan nilai pasar Rp 60 miliar maka saham PT ABC akan terombang-ambing di pasar. Sahamnya akan terombang-ambing seperti sebuah sampan yang berlayar di tengah samudera Atlantik yang ombaknya bisa mencapai ketinggian 10 meter bahkan lebih. Sampan akan tenggelam ditelan ombak. Melihat emiten di BEI saat ini, stabilitas harga saham baru akan tercapai jika nilai pasar (market cap) paling tidak bernilai Rp 10 triliun. Kurang dari itu pada umumnya akan menjadi mainan para trader. Baca tulisan saya tentang perampok budiman
  11. Terombang-ambingnya harga saham itu memicu munculnya efek lanjutan yaitu bahaya ketiga. Bahaya ketiga adalah PT ABC akan sulit melakukan rights issue sebagai langkah korporatisasi berkelanjutan untuk mejadi sebuah korporasi sejati. Sebagai gambaran, misalkan harga saat IPO PT ABC adalah Rp 100 per lembar saham. Setelah dilepas di pasar misalkan harganya menjadi Rp 75 per lembar. Harga inilah yang menjadi bahaya ketiga. PT ABC akan kesulitan rights issue. Jika dipaksakan para pemegang saham yang ada (existing share holder) akan rugi. Mengapa rugi? Karena akan terjadi penurunan book value

Itulah tiga bahaya besar sebuah perusahaan UKM yang melakukan IPO. Pertumbuhannya akan terhenti. Scale up nya akan berhenti. Plus masih ada bahaya lain yang justru lebih kronis. Apa itu? bahaya mindset. Memposisikan diri sebagai UKM adalah sebuah afirmasi negatif.  Aku akan mengikuti persangkaan hamba-Ku. Demikian sebuah hadits qudsi. Tuhan akan benar-benar menjadikannya sebagai UKM. Tidak pernah menjadi sebuah korporasi sejati.

Lalu apa solusinya? Saat masih kecil perusahaan tetap harus terus-menerus menerbitkan saham sebagai langkah untuk scale up. Terus melakukan korporatisasi. Hanya saja tempatnya mesti di luar lantai bursa alias private placement. Dilakukan secara B2B dengan investor. Terus menerus tumbuh eksponensial. Kapan melantai alias IPO? Kelak saat nilai pasarnya aman. Paling tidak kira-kira Rp 5-10 triliun. Makin besar makin bagus. Setelah IPO terus menerus melakukan righst issue sampai menjadi korporasi sejati. Menjadi korporasi yang mengibarkan merah putih ke berbagai negeri. Bisa!

Artikel ke-410 karya Iman Supriyono ini ditulis di Surabaya pada tanggal 7 Agustus 2023

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga:

IPO RAFI yang penuh catatan
IPO Kioson yang lemah lunglai di tengah badai
IPO DPUM yang masuk jebakan
IPO Goto pertaruhan hidup mati
Delisting Bentoel sebagai sebuah keharusan


9 responses to “Bahaya IPO UKM

  1. Kalau emiten yang masuk papan akselerasi kan memang masih kecil market valuenya ustadz ? Ini artinya keberadaan papan akselerasi salah ya?

  2. Ping-balik: Mengapa Crowdfunding Bermasalah? | Korporatisasi

  3. Ping-balik: ZATA, Mengapa Gocap? | Korporatisasi

  4. Bagaiamna kalau saya mau buat fundraising utk membangun koperasi tapi bukan di Indonesia buatnya tapi di luar negeri karena di luar itu govermentnya mendukung orang luar utk berbisnis dinegara tsb

  5. Ping-balik: IPO Ayam Nelongso: Tanda Tanya Besar | Korporatisasi

  6. Ping-balik: Avian: Mengapa Nilainya Merosot Pasca IPO? | Korporatisasi

  7. Ping-balik: Aku Bukan Investor Khilaf | Korporatisasi

Tinggalkan komentar