Avian: Mengapa Nilainya Merosot Pasca IPO?


Sejarah PT Avia Avian Tbk. selanjutnya disebut Avian, berawal pada tahun 1978 saat Soetikno Tanoko mendirikan PT Ava Avian sebagai pabrik cat kayu dan besi di Sidoarjo. Tahun 1981Avian masuk pasar cat tembok dengan merek Aviatex.  Tahun 1983 generasi kedua Tanoko mulai terlibat di operasi pabrik cat. Anak tertua Wijono Tanoko bergabung tahun 1983 sedangkan anak termuda Hermanto Tanoko bergabung tahun 1982. Tahun 1985 masuk pada pasar cat otomotif. Tahun 1986 melakukan pengembangan vertikal dengan memproduksi resin menggunakan 3 reaktor yang dibeli dari Korea. Tahun 1987 membeli tanah 6 hektar untuk fasilitas pabrik dan gedung. Tahun 1992 berekspansi vertikal lagi dengan memproduksi kaleng sendiri. Tahun 1996 membangun pabrik di Serang untuk pengembangan pasar Indonesia barat. Tahun 2000 generasi ketiga mulai terlibat di perusahaan dengan masuknya cucu tertua Ruslan Tanoko. Tahun 2021 ekspansi secara vertikal lagi dengan mendirikan anak perusahaan distribusi. Tahun 2005 meluncurkan produk baru cat pelapis anti bocor merrek  No Drop. Taun 2010 memasang mesin tinting untuk cat tembok segmen premium dengan ribuan warna. Tahun 2011 masuk pasar semen instan dengan merek Giant Mortar. Tahun 2014 perusahaan menaikkan kapasitas produksi menjadi 80 ribu metrik ton untuk produk cat tembok dan cat pelapis anti bocor. Tahun 2016 membeli tanah 12 hektar untuk pabrik ketiga. Tahun 2017 menambah kapasitas produksi 50 ribu metrik ton. Tahun 2018 perusahaan menempati gedung kantor pusat baru berlantai 50 di Surabaya. Tahun 2019 meluncurkan produk bermerek Aviatex One Coat yaitu produk pengecatan cukup sekali pelapisan (biasanya minimal 2 pelapisan). Tahun 2020 menyelesaikan pembangunan gedung 5000 meter untuk pusat riset, inovasi dan pengembangan. Desember 2021 perusahaan melakukan IPO.

&&&

Saat IPO, Avian menerbitkan 6,2 miliar lembar saham (10% dari total saham setelah IPO) dengan harga penawaran  Rp 930 sehingga total dana yang diterima Avian adalah Rp 5,77 triliun. Dengan demikian nilai pasar Avian saat IPO adalah Rp 57,7  triliun. Saat ini, 2 tahun setelah IPO, nilai pasarnya justru turun menjadi Rp 35,6 triliun alias turun 38%. Mengapa turun? Apakah penurunan drastis ini murni fluktuasi akibat transaksi para trader? Lalu apa bedanya dengan perusahaan yang IPO dengan pasar masih bilangan milyar yang kemudian menjadi saham tidur seharga gocap atau bahkan lebih rendah?  Bukankah nilai pasar Rp 57,7 triliun sudah kuat untuk menghindari permainan para trader di pasar?  Atau memang ada masalah fundamental di Avian? Ini adalah pertanyaan dan pelajaran menarik. Mari kita cermati datanya.

Tahun 2020 Avian mencatatkan omzet Rp 5,7 triliun dengan laba (tahun berjalan) Rp 1,1  triliun. Dengan aset akhir tahun Rp 5,9 triliun maka return on aset (ROA) nya adalah 20%.  Itulah kinerja Avian sebelum IPO.

Sesuai laporan arus kasnya, IPO tahun 2021 memberi Avian dana segar Rp 5,6 trilun sedemikian hingga aset akhir tahun menjadi Rp 10,9 trlliun. Naik 85% dari posisi awal tahun. Karena dana IPO diperoleh pada bulan Desember 2021 maka wajar jika omzet tahun 2021 tidak bisa naik seirama kenaikan aset. Omzetnya menjadi 6,8 triliun alias naik 19%. Labanya menjadi Rp 1,4 triliun. Naik  27% dari tahun sebelumnya. Dengan laba ini maka ROA adalah 13%.  Turun 7% dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini sekali lagi masih bisa dimaklumi karena dana IPO baru saja diterima.

Bagaimana tahun 2022? Omzetnya Rp 6,7 triliun alias tidak ada kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Labanya Rp 1,4 triliun. Dengan aset akhir Rp 10,8 triliun maka ROA adalah 13%. Belum bisa kembali seperti ketika belum menerima dana IPO. Artinya, penambahan aset melalui IPO tidak berakibat pada kenaikan omzet dan laba secara linier. Ini adalah tanda bahwa perusahaan masih lemah dalam Revenue and Profit Driver (RPD).

Kenaikan aset sebesar Rp 5,6 triliun nilainya adalah 4x laba. Sebenarnya, Ini bisa dipandang sebagai scale up walaupun angkanya masih di bawah cut of 5x laba sebagaimana definisi scale up dari SNF Consulting. Nah, scale up yang dilakukan pada saat perusahaan belum kokoh dalam RPD bisa disebut “bunuh diri”.

Bagaimana tahun 2023? Saat artikel ini ditulis, yang sudah dipublikasikan Avian adalah laporan kuartal ketiga. Omzetnya adalah Rp 5,2 triliun. Naik 4% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, tahun 2023 pun Avian belum mampu memanfaatkan dana IPO untuk meningkatkan kinerja keuangan sesuai dengan peningkatan aset.

Siapa yang dirugikan dengan ROA yang menurun di atas? Tentu saja adalah pemegang saham sebelum IPO. Saham mereka terdilusi dengan pelaksanaan IPO. Tapi dilusi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan laba seiring dengan peningkatan aset dari perolehan IPO.

Selanjutnya mari kita lihat adakah para pemegang saham pra IPO melakukan exit? Sebagaimana di prospektus, bersamaan dengan penawaran 10% saham kepada publik melalui IPO, para pemegang saham pra IPO juga melakukan penjualan saham yang mereka pegang kepada pihak lain melalui penawaran terbatas (private plaement). Artinya, bersamaan dengan IPO mereka melakukan exit strategy dengan nilai juga sebesar Rp 5 triliun lebih.

Bahkan tidak hanya exit secara langsung melalui penjualan saham. Pada laporan arus kas tahun 2021 perusahaan juga membagikan dividen tunai sebesar Rp 2,4 triliun. Nilainya jauh lebih besar dari pada laba tahun itu yang sebesar 1,4 triliun.  ini bisa disebut sebagai exit strategy secara tidak langsung. Bahkan dalam prospektus bahwa bahwa Avian akan membagi 50% dari laba tahunan sebagai kebijakan dividen resmi perusahaan.

Saat keluarga pendiri sebagai pihak yang paling memahami bisnis melakukan exit, maka pertanyaan logisnya adalah “Jika keluarga pendiri yang paling paham mengenai bisnis exit, bagaimana para investor disuruh percaya pada masa depan perusahaan?”. Wajar jika para investor curiga ada sesuatu di perusahaan. Wajar jika terjadi penurunan kepercayaan para investor. Wajar juga jika harga saham menurun sebesar 38% dari nilai saat IPO.

Apakah keluarga pendiri rugi dengan penurunan ini? Keluarga pendiri sudah menerima uang kas Rp 5 triliun lebih dari penjualan saham saat IPO dan sekitar Rp 2 triliun dari dividen pada tahun yang sama. Total Rp 7 triliun lebih. Cukup untuk melakukan banyak hal.  Website PT Tanlu Corporation misalnya menyebut ada 8 subholding yang dikerjakannya. Khas perusahaan konglomerasi. Ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan cash cow Avian.

&&&

Membaca sejarahnya, sebenarnya Avian memiliki potensi untuk tampil mengibarkan sang merah putih di industri cat dunia. Saat ini rajanya  adalah Sherwin William dengan nilai pasar USD 81,95 miliar alias Rp 1 434 triliun. Yang nomor dua adalah  PPG yang kini memiliki nilai pasar USD 33,96 miliar alias Rp 530 triliun. Ranking keempat sampai sepuluh menurut javatpoint.com adalah Akzonobel, Nippon Paint, RPM, Kansai Paints, Axalta, BASF Coatings, Asian Paints Limited, dan Jotun Paints.  Beberapa dari mereka bersaing head to head dengan Avian di pasar Indonesia.

Bagaimana caranya? Avian mesti terus melakukan scale up pada bisnis yang menjadi RPD nya. Tapi melihat apa yang terjadi pada Avian sejak IPO, harapan ini akan sulit terealisasi. Avian diperlakukan sebagai cash cow alias sapi perah. Keluarga pendiri menjual sahamnya dan mengambil dividen besar untuk kepentingan bisnis di luar RPD Avian. Wajar jika harga saham alias nilai pasar Avian turun drastis seperti tertulis di atas. Dalam usianya yang sudah 46 tahun, nilai pasar Rp 35 triliun itu terlalu kecil. Bandingkan misalnya dengan Alfamart yang 11 tahun lebih muda dati kini nilainya Rp 111 triliun.

Untuk perusahaan dengan market value seperti Avian, jauh di atas Rp 10 triliun sebagai angka cut off keamanan di pasar, permainan trader sudah tidak terlalu mengganggu. Maka kemerosotan harga saham sudah sangat mencerminkan kinerja perusahaan. Semoga ke depan ada koreksi strategi Avian. Agar bisa menjadi pengibar sang merah putih di berbagai negara melalui industri cat. Paling tidak seperti Jotun si nomor 10 dunia asal Norwegia. Semoga.

Artikel karya ke-439 Iman Supriyono ini ditulis di Surabaya pada tanggal 26 Februari 2024.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga:
BAHAYA IPO UKM
MENGAPA CROWDFUNDING BERMASALAH?
GLORIFIKASI IPO
SAHAM ZATA MENGAPA GOCAP?

1 responses to “Avian: Mengapa Nilainya Merosot Pasca IPO?

  1. Ping-balik: Mengapa Nilai XXI Turun Drastis? | Korporatisasi

Tinggalkan komentar