Pedal Gas: Revenue & Profit Driver


Tahun 1980-an saya tinggal di desa pertanian. Bapak saya pun berprofesi sebagai petani. Bapak bertani padi diselingi palawija dengan luas lahan satu kuli. Setara dengan sekitar setengah hektar. Seperti itu juga lahan yang dimiliki tetangga pada umumnya. Bahkan ada yang hanya setengah kuli.

Menanam padi atau palawija adalah kegiatan produksi. Menggunakan sumber daya berupa lahan pertanian, tenaga kerja, air, bibit, pupuk, pestisida atau sejenisnya yang bernilai uang. Selanjutnya menikmati panen menghasilkan gabah atau palawija. Setelah itu para petani menjual hasil taninya atau sebagian disimpan untuk konsumsi sehari hari. Menjual menghasilkan uang. Selanjutnya sebagian uang akan digunakan lagi untuk modal kerja masa tanam berikutnya.

Uang menjadi uang. Siklus itu dijalani oleh para petani. Tidak lain tidak bukan itu adalah sebuah siklus bisnis. Pelakunya disebut pengusaha.  Dengan badan hukum jadilah sebuah perusahaan. Siklus yang dijalani petani itu tidak berbeda dengan apa yang dijalani misalnya saja Djoko Susanto dengan Alfamart-nya. Mereka adalah pengusaha. Entrepreneur bahasa kerennya.

Petani dengan lahan sawahnya. Djoko Susanto dengan gerai minimarketnya. Lahan sawah berfungsi sama persis dengan gerai minimarket. Tiap tahun Alfamart menambah jumlah gerai. Gerai pertama berdiri tahun 1999. Saat ini sudah ada sekitar 16 ribu gerai di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ada yang di Filipina.

Sebesar apa proporsi penambahan gerai, sebesar itu pulalah pertambahan pendapatan atau omzetnya. Jika gerai dalam satu tahun bertambah 10%, maka omzetnya juga akan tumbuh kurang lebih sebesar 10%. Jika jumlah gerai bertambah 20%, omzet juga akan bertambah sebesar 20%. Pertumbuhan omzet adalah fungsi linier dari pertumbuhan jumlah gerai.

Dengan keterampilan yang cukup, setiap hasil panen akan menghasilkan nilai yang lebih besar daripada seluruh sumber daya yang digunakan untuk menghasilkannya. Hal serupa juga terjadi pada bisnis minimarket. Dengan keterampilan yang cukup, omzet yang dihasilkan sebuah gerai akan lebih besar dari pada seluruh biaya yang digunakan untuk menghasilkan omzet itu. Selisih inilah yang disebut laba.

Sawah bertemu keterampilan yang cukup akan menghasilkan hasil panen dan laba. Gerai minimarket bertemu dengan keterampilan yang cukup akan menghasilkan omzet alias revenue dan laba alias profit. Luas lahan sawah adalah faktor penentu omzet dan laba dunia pertanian. Jumlah gerai adalah faktor penentu omzet dan laba di dunia minimarket. Saya suka menyebutnya sebagai revenue and profit driver. Disingkat RPD.

&&&

Survey Antar Sensus Pertanian BPS tahun 2018 melaporkan bahwa di Indonesia terdapat 33 487 806 orang petani. Dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang sekitar 100 juta jiwa, tentu ini merupakan proporsi besar. Tidak kurang tidak lebih, mereka adalah para entrepreneur.
RPD

Dengan entrepreneur sejumlah itu mengapa ekonomi Indonesia tidak berkembang pesat? Padahal banyak pihak yang mengatakan bahwa dengan entrepreneur 7% saja sebuah bangsa akan maju? Pemahaman RPD adalah masalahnya.

Djoko Susanto faham RPD. Itulah mengapa Alfamart kejar habis pertumbuhan perusahaan dengan menambah gerai secara masif. Sebagian besar menyewa, bukan beli. Dalam empat tahun terakhir, Alfamart rata-rata menggelontorkan dana untuk menambah gerai sebesar 6,5 kali laba. Itulah yang berbuah pertumbuhan gerainya bisa sejajar dengan Indomaret yang 11 tahun lebih senior. Gerai pertama Indomaret berdiri tahun 1988. Alfamart tahun 1999.

RPD adalah aset yang begitu dimiliki atau ditambahkan pada sebuah perusahaan, akan langsung meningkatkan pendapatan dan laba. Sekali lagi RPD adalah aset, bukan orang atau sumber daya manusia.  Dengan analogi sebuah mobil, RPD adalah pedal gas nya. Seberapa dalam pedal gas diinjak, seberapa cepat pulalah mobil melaju. RPD adalah syarat utama sebuah perusahaan untuk melakukan korporatisasi, baik di lantai bursa maupun di luar lantai bursa.

Kelas RPD

SNF Consulting menyelenggarakan kelas RPD untuk membantu perusahaan Anda menemukannya “pedal gas”-nya. Hubungi https://wa.me/6281358447267

Mengapa kesejahteraan petani yang entrepreneur tidak tumbuh? Banyak penjelasan. Yang utama antara lain karena tidak paham RPD. Keahlian dan keterampilan bertani sudah bagus. Bisa menghasilkan laba. Tetapi tidak pernah menambah luas lahan yang ditanami. Laba dari hasil bertani semuanya dipakai untuk kebutuhan hidup. Berbeda dengan Djoko Susanto dengan Alfamartnya yang tahun lalu misalnya hanya mengambil sekitar 11% laba sebagai dividen. Sisanya digunakan untuk menambah jumlah gerai dan bahkan ditambah lagi dengan utang dan menerbitkan saham baru. Jadinya rata-rata 6,5 kali laba.  Keahlian bertemu dengan RPD yang terus tumbuh. Bagi petani, sawah tidak harus dibeli. Bisa sewa seperti Alfamart. Itu kuncinya. Keahlian saja tidak cukup. Seahli apapun, jangan pernah berharap bisnis akan tumbuh tanpa pertumbuhan RPD. Perusahaan Anda bagaimana? Apa RPD-nya? Seberapa dalam “pedal gas”-nya diinjak?

Klik untuk bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI
Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga
RPD Sebagai Faktor Kali
RPD Sebagai Peredam Risiko Investasi Wakaf
Giant Tutup: Sulitnya Menemukan Kembali RPD
Deep Dive Sang CEO Mengamankan RPD
RPD Sebagai Salah Satu Tahap Corporate Life Cycle

*)Artikel ke-270 yang ditulis oleh Iman Supriyono ini juga  terbit di Majalah Matan, edisi Juli 2020

54 responses to “Pedal Gas: Revenue & Profit Driver

  1. Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono

  2. Ping-balik: Bekerja di Perusahaan Kecil, Bisakah Kaya Raya? | Catatan Iman Supriyono

  3. Ping-balik: BUMN Berjamaah: Merger, Akuisisi, Korporatisasi, Investment Company | Catatan Iman Supriyono

  4. Ping-balik: Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat & Bangsa | Catatan Iman Supriyono

  5. Ping-balik: Corporate Life Cycle | Catatan Iman Supriyono

  6. Ping-balik: DHL: Benchmark BUMN & Direksi Titipan | Catatan Iman Supriyono

  7. Ping-balik: Corporate Life Cycle – SNF Consulting

  8. Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah – SNF Consulting

  9. Ping-balik: BUMN Berjamaah: Merger, Akuisisi, Korporatisasi, Investment Company – SNF Consulting

  10. Ping-balik: Bekerja di Perusahaan Kecil, Bisakah Kaya Raya? – SNF Consulting

  11. Ping-balik: DHL: Benchmark BUMN & Direksi Titipan – SNF Consulting

  12. Ping-balik: Berbisnis Sejak Mahasiswa: Kardus Kardus Besar | Korporatisasi

  13. Ping-balik: CLS: Mengapa Gojek & Tokopedia Harus Merger? | Korporatisasi

  14. Ping-balik: CLC: Mengapa Gojek & Tokopedia Harus Merger? | Korporatisasi

  15. Ping-balik: Bagaimana Gadjah Tunggal – Sjamsul Nursalim Mengembalikan Rp 4,58 T? | Korporatisasi

  16. Ping-balik: Giant Tutup: Sulitanya Menemukan Kembali RPD | Korporatisasi

  17. Ping-balik: BTS Meal McD: Tantangan Langkah Kedelapan CLC | Korporatisasi

  18. Ping-balik: Guru Besar Hati Putih: Obituari Untuk Pak Arsono Laksmana | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi

  20. Ping-balik: IPO Bukalapak: Prospektif atau Buang Uang? | Korporatisasi

  21. Ping-balik: Deep Dive: CEO Sejati Ala Jack Welch | Korporatisasi

  22. Ping-balik: Mematematikakan Untuk Memudahkan: Obituari Pak Towik | Korporatisasi

  23. Ping-balik: Entrepreneur CEO Komisaris, Amankan Uang Investor! | Korporatisasi

  24. Ping-balik: Faktor Kali Alias RPD | Korporatisasi

  25. Ping-balik: Bank Jago Melangit: Karena Kinerja? | Korporatisasi

  26. Ping-balik: Korporatisasi Di Luar Lantai Bursa | Korporatisasi

  27. Ping-balik: Corong Menuju RPD | Korporatisasi

  28. Ping-balik: Funneling Marketing: Corong RPD | Korporatisasi

  29. Ping-balik: N250 & Kemustahilan Habibie | Korporatisasi

  30. Ping-balik: Rebranding: Ya atau Tidak? | Korporatisasi

  31. Ping-balik: Rebranding Jangan Sembarangan | Korporatisasi

  32. Pak Iman, ijin bertanya. Bagaimana menentukan RPD buat perusahaan jasa/service? Seperti apa contoh aset dari perusahaan jasa tsb yg bisa dijadikan RPD?

    Terima kasih.
    Ardiansyah (Saudara kandung dari salah satu klien bapak di Palembang)

  33. Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi

  34. Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi

  35. Ping-balik: Investasi Telkom ke Goto: Strategic Fool? | Korporatisasi

  36. Ping-balik: Si Tukang Bakso Triliuner | Korporatisasi

  37. Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi

  38. Ping-balik: Palugada atau Fokus: Hyundai Vs. Astra | Korporatisasi

  39. Ping-balik: Merger & Akuisisi: Transaksi RPD | Korporatisasi

  40. Ping-balik: Korporasi Sepak Bola: Bali United | Korporatisasi

  41. Ping-balik: Mitra Keluarga Menyalip Siloam: Modal Murah 2% Per Tahun | Korporatisasi

  42. Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi

  43. Ping-balik: Entrepreneur: Memulai, Visi Besar &Perceraian | Korporatisasi

  44. Ping-balik: Cokroaminoto – Zara: Jalan Sunyi Para Pebisnis | Korporatisasi

  45. Ping-balik: Perampok Budiman | Korporatisasi

  46. Ping-balik: Tumbuh Eksponensial Ala Hermina | Korporatisasi

  47. Ping-balik: Corporate Life Cycle | Korporatisasi

  48. Ping-balik: RPD Starbucks: Kegagalan Yang Baik | Korporatisasi

  49. Ping-balik: “Terpaksa” Waralaba | Korporatisasi

  50. Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi

  51. Ping-balik: Biaya Belajar atau Biaya Kebodohan: Pilih Mana? | Korporatisasi

  52. Ping-balik: Starbucks Saudi: Sang Putri Menyelam | Korporatisasi

  53. Ping-balik: ACR x Hayyu: RUPS & Dividen Pertama | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s