Menjadi Korporasi Sejati


Korporasi alias perusahaan adalah badan hukum yang didirikan untuk keperluan bisnis. Di negeri ini ada 4 badan hukum yang sah menurut Undang-undang yaitu PT, koperasi, yayasan dan perkumpulan. PT dan koperasi adalah badan hukum untuk keperluan bisnis. Yayasan dan perkumpulan adalah badan hukum untuk kepentingan non profit.

Ada korporasi sekedar sebagai formalitas, ada korporasi yang berfungsi dengan baik, ada juga korporasi sejati. Terdapat 3 karakteristik utama korporasi sejati. Pertama, tidak ada pemegang saham pengendali. Pemegang saham pengendali artinya adalah satu entitas, bisa perorangan maupun badan hukum, yang memiliki saham lebih dari 50% pada perusahaan itu. Dan yang penting, tidak adanya saham pengendali ini tidak dicapai dengan penjualan saham yang dimiliki oleh pendiri atau para pendiri.

Tidak adanya penjualan oleh pendiri ini penting. Karena dengan demikian berarti proses penurunan persentase kepemilikan saham oleh pendiri atau para pendiri berjalan karena perusahaan terus menerus menerbitkan saham baru.

Misal, PT Nikmat Resto Mendunia (NRM) didirikan dengan 1000 lembar saham dengan nilai Rp 1 juta per lembar saham. Para pendirinya adalah pak A, dan pak B. Masing-masing memiliki saham 600 lembar dan 400 lembar.

NRM yang bergerak di bidan resto ini terus berekspansi dengan menambah jumlah gerai. Pertama berdiri hanya memiliki 1 gerai. Sepuluh tahun pertama terus mendirikan gerai baru dari laba gerai yang dimiliki. Akhir tahun ke 10 telah memiliki 10 gerai.

Nilai asetnya adalah Rp 10 miliar. Sumber aset tersebut sebagaimana terbaca dari sisi kanan neracanya adalah modal disetor Rp 1 miliar, laba ditahan Rp 6 miliar. Dan utang Rp 3 miliar.  Pendapatan alias omzetnya adalah 10 x Rp 3 miliar alias Rp 30 miliar. Labanya adalah 10 x Rp 400 juta alias Rp 4 miliar. Semua laba  menjadi hak A dan B sebagai pendiri. Dengan demikian ROI pendiri adalah Rp 4 miliar dari investasi Rp 1 miliar alias 400%.

Perhatikan hal pentingnya. Perusahaan telah mampu membuat hubungan linier antara aset, omzet (revenue), dan laba (profit). Artinya, perusahaan ini telah menemukan apa yang disebut sebagai Revenue and Profit Driver (RPD). Perusahaan telah siap untuk melakukan scale up dengan copy and paste gerai-gerainya.

Dalam rangka scale up, pada tahun ke-11, GHI berekspansi dengan menerbitkan saham baru sebesar 100 lembar. Saham dijual kepada perusahaan investasi C dengan harga Rp 50 juta per lembar. Dengan demikian NRM mendapatkan uang Rp 5 miliar dan semuanya digunakan untuk membangun gerai baru. Pada akhir tahun ke 11 perusahaan telah memiliki 15 gerai dengan nilai aset Rp 15 miliar. Omzet 15 x Rp 3 miliar alias Rp 45 miliar. Laba 15 x Rp 400 juta alias Rp 6 miliar.  Linieritas sebagai syarat RPD telah dicapainya.

Para pendiri yaitu A dan B semula memiliki 1000 lembar saham dari total 1000 lembar yang telah diterbitkan alias 100%. Kedatangan IC menjadikan saham A dan B sebagai pendiri terdilusi menjadi 1000 lembar dari 1100 lembar. Secara persentase turun menjadi 91%. Sisanya yaitu 100 dari 1100 alias 9% dimiliki oleh C.

Aksi korporasi ini mengakibatkan nilai pasar perusahaan (market value) menjadi 1100 x Rp 50 juta alias Rp 55 miliar. Hak laba A dan B menjadi 91% dari Rp 6 miliar alias Rp 5,46 miliar. ROI adalah Rp 5,46 miliar dari investasi Rp 1 miliar yaitu 546%. Naik drastis dibanding sebelum kedatangan perusahaan investasi C. Si C sendiri mendapatkan hak laba 9% dari Rp 6 miliar alias Rp 540 juta. ROI si C yaitu Rp 540 juta dari investasi Rp 5 miliar alias 10,8%.

Tahun ke-12 perusahaan berekspansi lagi dengan membangun 10 gerai baru. Scale up.  Kebutuhan modal Rp 10 miliar. GHI memperolehnya dengan menerbitkan saham baru sebesar 100 lembar lagi dengan harga Rp 100 juta per lembar. Pembelinya adalah investment company D. Dengan demikian total jumlah lembar saham perusahaan menjadi 1200 lembar. Kepemilikan A dan B sebagai pendiri menjadi 1000 dari 1200 alias 83%. Mengalami dilusi bukan karena menjual 1000 lembar saham yang dimilikinya, tetapi karena perusahaan menerbitkan saham baru. Kepemilikan C juga terdilusi menjadi 100 dari 1200 alias 8,3%.

Aksi korporasi ini menjadikan perusahaan memiliki 25 gerai. Asetnya Rp 25 miliar.  Laba menjadi 25 x Rp 400 juta alias Rp 10 miliar.  Nilai pasar menjadi 1200 x Rp 100 juta alias Rp 120 miliar. Nilai pasar aset A dan B menjadi 1000 X Rp 100 juta alias Rp 100 miliar. Nilai aset C menjadi 100 x Rp 100 juta alias Rp 10 miliar alias sudah naik 2x lipat dibanding saat C masuk.

Hak laba A dan B sebagai pendiri menjadi 83% dari Rp 10 miliar yaitu Rp 8,3 miliar alias ROI 8300%. Hak laba C menjadi 8,3% dari Rp 10 miliar yaitu Rp 830 juta. ROI si C menjadi Rp 830 juta dari investasi Rp 5 miliar alias 16,6%. Meningkat hampir 2x lipat dibanding ROI tahun sebelumnya.

Tahun-tahun berikutnya perusahaan terus menerus menambah gerai dengan menerbitkan 100 lembar saham. Harga tiap tahun naik dari Rp 100 juta pada tahun ke 12 menjadi 200 juta pada tahun ke 13. Menjadi Rp 400 juta pada tahun ke 14. Menjadi Rp 800 juta pada tahun ke 15 dan seterusnya hingga Rp 51,2 triliun pada tahun ke 21. Investornya adalah perusahaan investasi C, D, E dan seterusnya sampai dengan perusahaan investasi M pada tahun ke-21.

Singkat cerita, pada tahun ke 21 perusahaan telah 11 x menerbitkan saham masing-masing 100 lembar alias telah menerbitkan 1100 lembar. Dengan demikian total lembar saham menjadi 2100 lembar. Dengan demikian presentasi saham A dan B sebagai pendiri menjadi 1000 dari 2100 alias 47,6%. Dengan demikian perusahaan sudah tidak ada lagi yang namanya pemegang saham pengendali. Tidak ada lagi pemegang saham yang bisa membuat keputusan mutlak. Perusahaan telah memenuhi karakteristik pertama korporasi sejati. Tidak ada “raja” yang bisan mengambil keputusan mutlak. Tidak ada lagi “sabda pandita ratu” yang setiap kata-kata dan keputusannya menjadi “undang-undang”.

Tidak adanya raja menjadikan segala sesuatu dijalankan berbasis sistem. Kenaikan jabatan para pegawai murni ditentukan berdasarkan kinerja. Bukan like dislike si raja. Pemilihan direksi dilakukan di RUPS berdasarkan voting para pemegang saham kecil-kecil. Saham si C misalnya hanya memiliki suara 100 dari 2100 alias 4,8%. Dalam kondisi seperti ini para pemegang saham hanya akan melihat kinerja manajemen. Tidak ada like dislike. Saat inilah perusahaan benar benar-benar dijalankan berdasarkan sistem manajemen.

Yang menarik pada tahun ke 21 perusahaan telah memiliki 10 245 gerai. Total aset menjadi 10 235 x Rp 1 miliar alias Rp 10,245 triliun. Laba perusahaan menjadi 10 245 x Rp 400 juta yaitu Rp 4,098 triliun. Hak laba A dan B sebagai pendiri menjadi 47,6% dari Rp total laba perusahaan yaitu Rp 1,95 triliun.

Adanya 10 245 gerai juga memunculkan piramida manajemen yang alami. Terbentuk sistem manajemen secara alami. Perusahaan memiliki 10 245 kepala toko. Jika setiap 10 toko disupervisi oleh seorang kepala wilayah maka akan ada 1 024 kepala wilayah. Jika tiap 10 kepala wilayah disupervisi oleh seorang GM maka masih akan ada 102 GM. jika setiap 10 GM disupervisi oleh seorang senior manager maka masih ada 10 senior manajer. Terbentuklah piramida manajemen secara alami. Pada saat yang sama mengakibatkan gap antara level menjadi lebih kecil. Jika ada seorang GM meninggal, tinggal dipilih dari 10 kepala wilayah terbaik yang selama ini menjadi bawahannya untuk menggantikannya. Dan seterusnya di mana pun ada sorang karyawan atau direksi meninggal pada posisi apapun, cukup mengambil salah satu anak buah terbaiknya untuk menggantikannya. Tidak perlu mengimpor personel atau direksi dari luar. Kaderisasi benar-benar berjalan dengan baik. Seperti di militer. Tidak pernah sebuah negara mengimpor jenderal dari negara lain saat seorang jenderal gugur di medan tempur.

&&&

Karakteristik kedua korporasi sejati adalah perusahaan mampu menarik investor dengan tuntutan ROI rendah yaitu sekitar 2-3% (per tahun). Saat C masuk, perusahaan investasi ini masih mengharapkan ROI 10,8%. Tapi, pada tahun ke-21 perusahaan investasi M mau membayar 100 lembar saham dengan harga total Rp 52,2 triliun. saat itu hak laba yang diproyeksikan adalah Rp 195 miliar. ROI adalah Rp 195 miliar dari investasi Rp 52,2 triliun alias 3,8%. Artinya, biaya modal (cost of capital) pada tahun ke 21 adalah 3,8%.

Jika diteruskan maka pada tahun ke-27 perusahaan investasi S masuk sebagai investor baru dengan ROI 3%. Pada saat inilah NRM telah memenuhi karakteristik kedua dari sebuah korporasi sejati.

Dengan biaya modal (cost of capital)  yang hanya 3% inilah NRM mampu berekspansi secara anorganik melalui akuisisi. Mengapa? Perusahaan ini bisa menawari para founder perusahaan target akuisisi dengan harga akuisisi sampai 33 laba. Bahkan menjdai 50x laba saat biaya modalnya 2%.

Misalkan perusahaan target akuisisi memiliki laba Rp 100 miliar. Perusahaan bisa menggelontorkan dana 33x laba alias Rp 3,3 triliun untuk mengakuisisinya. Dengan angka akuisisi ini maka perusahaan akan mendapatkan imbal hasil Rp 100 miliar dari dana Rp 3,3 triliun alias 3%. Persis sama dengan yang diharapkan oleh perusahaan investasi S yang berharap ROI 3%.

Pemegang saham perusahaan target akuisisi tergiur dengan harga akuisisi yang 33 x laba alias laba 33 tahun. Bahkan laba 50 tahun saat biaya modal perusahaan 2%.  Inilah alasan mengapa satu demi satu perusahaan lokal diakuisisi perusahaan asing. Susu SGM, Aqua, kecap bango, teh Sariwangi, bak BII, Astra International dan sebagainya.  Ekonomi kita satu demi satu jatuh ke tangan perusahaan asing dengan cara yang sangat smooth. Pemerintah mencatatnya sebagai masuknya investasi asing. Dipandang sebagai kinerja positif. Padahal mestinya terbalik. Mestinya pemerintah mendorong perusahaan negeri ini untuk menjadi seperti NRM yang melakukan akuisisi perusahaan sejenis di luar negeri. Menjadi bangsa investor. Bukan sebaliknya.

&&&

Karakteristik ketiga korporasi sejati adalah hadir dan menguasai pasar lebih dari 100 negara. Dengan demikian omzet dari satu negara rata-rata hanya berkontribusi tidak sampai 1% dari total omzet perusahaan. Maka seandainya ada gejolak politik atau ekonomi di sebuah negara dan terpaksa harus angkat kaki, akibatnya NRM hanya kehilangan omzet tidak sampai 1%. Pada saat inilah NRM sudah mampu memitigasi dari risiko ekonomi politik terburuk di negara mana pun.

Hadir dan menguasai pasar luar negeri dilakukan secara anorganik melalui akuisisi. Ini bisa terjadi karena cost of capital yang rendah. Karena perusahaan telah memenuhi karakteristik kedua korporasi sejati. Artinya, penguasaan pasar lebih dari 100 negara sebagai karakteristik ketiga korporasi sejati adalah konsekuensi logis dari karakteristik kedua.

&&&

Yes we can!

Anda para pendiri alias founder, CEO, komisaris, pemegang saham dan manajer perusahan negeri ini? Anda punya nasionalisme? Anda ingin mengibarkan sang merah putih tingi-tinggi di lebih dari 100 negara? Anda ingin Rupiah diterima di lebih dari 100  negara? Anda ingin memberi manfaat untuk umat manusia di lebih dari 100 bangsa dengan produk perusahaan Anda? Menjadi rahmatan lil alamin tanpa membeda-bedakan suku, agama dan bangsa mana pun? Menjadi perusahaan dakwah? Jadikan perusahaan Anda sebagai korporasi sejati.  Ada total 8 tahapan untuk mencapainya. Semua terangkum dalam apa yang oleh SNF Consulting dinamai corporate life cyecle. Pelajari secara serius di kelas korporatisi. Allahuakbar! Merdeka!

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Artikel ke-362 karya Iman Supriyono ini ditulis  di SNF Consulting House of Management pada tanggal 13 Maret 2022

Baca juga:
Garuda, pailit atau korporatisasi?
Krakatau Steel: Tercekik Utang

Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?
Garuda: Utang Melebihi Aset

Glorifikasi IPO Kioson
IPO Bukalapak Prospektif atau Buang Uang
Kepailitan Startup OFO Bike Hiring
Tesla Laba Setelah 16 Tahun Rugi
Corporate Life Cycle dalam Merger GoTo
Valuasi Merger Gojek Tokopedia
Sequoia VC Sejati

23 responses to “Menjadi Korporasi Sejati

  1. apa semudah itu pak buat ngeyakinin IC untuk membeli saham dengan harga yg lebih mahal. sedangkan lembar lebih dikit. kenapa tokopedia ga melakukan itu kalau memang mudah?

    makasih..

  2. Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi

  3. Ping-balik: Pertamina Versus Petronas 2021: Siapa Pemenangnya? | Korporatisasi

  4. Ping-balik: Investasi Telkom ke Goto: Strategic Fool? | Korporatisasi

  5. Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi

  6. Ping-balik: Si Tukang Bakso Triliuner | Korporatisasi

  7. Ping-balik: Iklan Holywings: Salah Karyawan atau Direksi? | Korporatisasi

  8. Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi

  9. Ping-balik: Palugada atau Fokus: Hyundai Vs. Astra | Korporatisasi

  10. Ping-balik: Hayyu x ACR: Perusahaan Dakwah | Korporatisasi

  11. Ping-balik: Merger & Akuisisi: Transaksi RPD | Korporatisasi

  12. Ping-balik: Chiquita: Sejarah Korporasi Pisang | Korporatisasi

  13. Ping-balik: Korporasi Sepak Bola: Bali United | Korporatisasi

  14. Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi

  15. Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner - SMN Digest

  16. Ping-balik: SNF Consulting: Budaya, Peran Kemasyarakatan & Pembiayaannya | Korporatisasi

  17. Ping-balik: Entrepreneur: Memulai, Visi Besar & Perceraian | Korporatisasi

  18. Ping-balik: Kebajikan Korporasi Zuckerberg | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Jabal Nur: Sampah & Visi Bisnis Kelas Dunia | Korporatisasi

  20. Ping-balik: Perampok Budiman | Korporatisasi

  21. Ping-balik: Jenderal: Level Jabatan & Sistem Manajemen | Korporatisasi

  22. Ping-balik: Biaya Belajar atau Biaya Kebodohan: Pilih Mana? | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s