Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?


Raja utang. Debt minded. Otak utang. Gila utang. Isi otaknya utang mulu. Siapakah gerangan si raja utang itu? Mari kita lihat angka-angkanya. Di masyarakat ada istilah nyewelasi. Dari kata sebelas. Artinya, utang 10 sebulan kemudian mesti dikembalikan dengan nilai 11. Utang dengan bunga 10% per bulan. Hitungan gampangnya 120% per tahun. Lintah darat. Siapa yang mau? Nyatanya itu terjadi.

Selanjutnya mari kita lihat di perusahaan-perusahaan. Di BUMN misalnya, Pertamina pada laporan terbarunya mencatat memiliki modal sendiri (ekuitas) USD 23,8 Milyar alias Rp 347T. Utangnya adalah USD 27,4 Milyar alias Rp 399T. Utangnya 1,15x ekuitas. DER-nya 1,15. Utangnya 15% lebih tinggi di atas ekuitas.

memikul beban berat

Bunga bank tinggi menjadi beban berat bagi korporasi dan dunia usaha

Tinggi apa rendah? Mari bandingkan dengan pesaingnya: Chevron. Pada periode yang sama utang Chevron adalah USD 104,5 Milyar. Ekuitasnya adalah USD 149,5 Milyar. DER-nya 0,70. Utangnya hanya 70% modal sendiri. Tampak bahwa Pertamina jauh lebih berani berutang dibanding Chevron, pesaing head to head-nya di blok Rokan.

Mari kita lihat juga bagaimana potret raja utang ini dari kaca mata perbankan sebagai pihak yang sehari-hari memberikan fasilitas utang. Mari kita lihat dari angka-angka OCBC Bank, bank terbesar kedua di Singapura menurut Forbes yang juga hadir di Indonesia melalui Bank OCBC NISP. Tahun 2017 bank yang juga merupakan perusahaan terbesar ke 284 dunia ini melaporkan pendapatan bunga bersih alias net interest margin (NIM) sebesar 1,65%. NIM dihitung dengan pendapatan bunga yang diterima dari nasabah peminjam dikurangi dengan bunga yang harus dibayar kepada nasabah penabung dibagi dengan aset yang sedang berada di tangan peminjam.

Pendapatan bunga bersih yang rendah pada OCBC dikompensasikan dengan pendapatan non bunga (fee based income) yang berkontribusi 43,7% dari total pendapatan yang sebesar SGD 8,489 Milyar alias Rp 91T.

Angka OCBC menarik jika dibandingkan dengan bank BRI, bank terbesar di tanah air versi Forbes juga. NIM BRI tahun 2017 adalah 7,9%. Tingginya pendapatan bunga BRI terkompensasi dengan rendahnya fee based income yang hanya berkontribusi 10% dari total pendapatan.

Angka OCBC dan BRI bisa dibaca bahwa karakter nasabah BRI adalah para pelaku bisnis yang raja utang. Bunga tinggi pun disikat. Nasabah BRI hampir 100% berada di Indonesia. Sementara nasabah OCBC hanya mau berutang dengan bunga yang sangat rendah. Nasabah OCBC sebagian besar berada di Singapura.

$$$

Semua orang ingin ada pertumbuhan ekonomi. Semua pelaku bisnis menginginkan pertumbuhan usahanya. Pertumbuhan akan tinggi jika ditopang oleh dua pilar: SDM yang kreatif inovatif dan tambahan modal secara terus menerus. SDM kreatif tanpa dukungan tambahan modal akan terbelenggu. Maka, tambahan modal adalah sebuah keharusan.

Sumber tambahan modal terdiri dari dua pintu. Pintu pertama adalah utang. Pintu kedua adalah penerbitan saham baru baik secara privat maupun melalui pasar modal. Data BRI bisa dibaca bahwa para pengusaha nasabah bank milik pemerintah ini baru membuka diri terhadap pintu pertama. Pintu utang. Utang dengan bunga tinggi pun, lebih dari 12% per tahun, dilahap. Itulah yang mengakibatkan NIM BRI sangat tinggi. Sementara itu pintu kedua yang hanya menuntut 1-4% per tahun belum dibuka.

Sebaliknya, para pelaku bisnis nasabah OCBC hanya mau menerima utang dengan bunga rendah. Didukung fakta pertumbuhan perusahaan-perusahaan di Singapura menunjukkan bahwa para pelaku bisnis negeri singa ini sudah tidak mau melirik bunga tinggi. Mereka terbuka terhadap pintu modal kedua dengan menerbitkan saham baru berbiaya modal (cost of capital) rendah.

Pintu kedua sumber modal yang besar adalah di lantai bursa. Jika bank BRI memberikan modal dengan mengenakan bunga atau margin di atas 12%, para investor di lantai bursa hanya 1-4 %. Investor Chevron misalnya tahun lalu memutuskan dividen sebesar 3,77% dari harga saham.

Korporatisasi

Para pelaku bisnis mesti diedukasi tentang korporatisasi sebagai solusi mental raja utang

Menariknya, si raja utang tidak hanya membayar bunga atau margin 12%, tetapi juga pokoknya. Jika diangsur 3 tahun maka pokoknya 33%. Jadi total harus dibayar 45%. Tidak peduli perusahaan laba atau tidak. Sementara itu, dengan menerbitkan saham baru, dividen 3,77% itu dihitung dan dibayar setelah bisnis mendapatkan laba. Beda jauh sekali.

Namun demikian, sebuah perusahaan baru direkomendasikan untuk membuka pintu kedua melalui lantai bursa jika ukurannya sudah cukup besar. Kebutuhan dana diatas Rp 100M. ketika kebutuhan masih kecil, yang direkomendasikan adalah dengan menerbitkan saham baru secara privat. Menawarkan kepada orang-orang terdekat untuk menyetor modal kepada perusahaan dengan membeli saham yang baru diterbitkan tersebut dengan mekanisme agio saham alias “upeti” seperti yang pernah saya hahas di tulisan sebelumnya.Sayang sungguh sayang. Para pelaku bisnis kita masih debt mindset. Masih otak utang. Masih raja utang. Masih gila utang. Menutup diri terhadap terhadap pintu kedua sumber modal yaitu penerbitan saham baru. Akibatnya bunga bank cenderung tinggi. Kalau lebih dari 12% saja dilahap para pengutang, kenapa harus diturunkan jadi 3% seperti di Singapura? Sebaliknya, bank di negeri ini akan berfikir seiring. Kalau dijual 12% lebih saja laris manis, kenapa harus 3%?”. Begitulah kira-kira logika sederhananya.

Lho, kalau begitu kenapa akhir-akhir ini kita sering mendengar protes terhadap tingginya utang pemerintah? Ini dia yang membingungkan. Ada semacam personality split. Menjadi raja utang tetapi protes ketika negara berutang. Padahal negara adalah cermin rakyatnya. Bagaimana, Anda raja utang atau bukan?

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA SNF Consulting
*)Tulisan karya Iman Supriyono ini dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya, September 2018, dengan sedikit penambahan dan pengeditan

39 responses to “Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?

  1. Ping-balik: Presiden Harus Cetak Uang Rp 100 T Untuk Sejuta Rumah? | Catatan Iman Supriyono

  2. Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono

  3. Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? | Catatan Iman Supriyono

  4. Ping-balik: Semen Indonesia: Jebloknya Arus Kas Pasca Akuisisi Super Mahal Holcim | Catatan Iman Supriyono

  5. Ping-balik: Zero Black Out, Mampukah PLN? | Catatan Iman Supriyono

  6. Ping-balik: Thomas Edison-GE: Mengapa Riset Kita Mandul? | Catatan Iman Supriyono

  7. Ping-balik: Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Bangsa | Catatan Iman Supriyono

  8. Ping-balik: Erick Thohir Jadi Raja Utang atau BUMN Insyaf? | Catatan Iman Supriyono

  9. Ping-balik: Investor China atau Arab? | Catatan Iman Supriyono

  10. Ping-balik: Perusahaan Keluarga Haruskah Melakukan Korporatisasi? | Catatan Iman Supriyono

  11. Ping-balik: Korporatisasi Terpaksa: Agung Podomoro | Catatan Iman Supriyono

  12. Ping-balik: Garam: Kuat Dengan Ekonomi Berjamaah | Catatan Iman Supriyono

  13. Ping-balik: Cara Cokroaminoto Cara Zara: Jalan Sunyi Para CEO & Founder | Catatan Iman Supriyono

  14. Tks pencerahannya

  15. Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? – SNF Consulting

  16. Ping-balik: Presiden Harus Cetak Uang Ratusan Triliun? – SNF Consulting

  17. Ping-balik: Perusahaan Keluarga Haruskah Melakukan Korporatisasi? – SNF Consulting

  18. Ping-balik: Garuda, Evergrande: Beresi Utang Sebelum Terlambat | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Japfa, Bangun! | Korporatisasi

  20. Ping-balik: Sodexo: Catering Olympiade Bisa! | Korporatisasi

  21. Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi

  22. Ping-balik: Kesetiaan Pearson: Penerbit Terbesar Dunia | Korporatisasi

  23. Ping-balik: Ramadhan Eksekusi | Korporatisasi

  24. Ping-balik: Rugi Pertamina – PLN: Rumor atau Fakta? | Korporatisasi

  25. Ping-balik: Starbucks: Kegagalan Yang Baik | Korporatisasi

  26. Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi

  27. Ping-balik: Pertamina Versus Petronas 2021: Siapa Pemenangnya? | Korporatisasi

  28. Ping-balik: Investasi Telkom ke Goto: Strategic Fool? | Korporatisasi

  29. Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi

  30. Ping-balik: Pertaruhan Hidup Mati Goto | Korporatisasi

  31. Ping-balik: Iklan Holywings: Salah Karyawan atau Direksi? | Korporatisasi

  32. Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi

  33. Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi

  34. Ping-balik: PKPU & Kepailitan: DPUM | Korporatisasi

  35. Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi

  36. Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi

  37. Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi

  38. Ping-balik: Kesalahan Stratejik: IPO Anak Perusahaan Pertamina | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s