Untuk ukuran sebuah perusahaan yang berdiri sejak 1971, PT Japfa Comfeed Tbk termasuk lambat dalam pertumbuhan. Singa yang sedang tidur. Singa memang galak. Perkasa. Tapi kalau sedang tidur ya tidak berbeda dengan kancil yang sedang tidur.
Bagaimana tidurnya perusahaan yang pabrik pertamanya hadir di Sidoarjo ini? Mari kita cermati angka-angka keuangannya. Pada laporan teraudit terbarunya, tahun 2020, Japfa membukukan laba Rp 1,22 triliun. Dengan laba tersebut arus kas untuk investasi Japfa adalah Rp 1,98 triliun. Hanya sekitar 2x laba. Besarkah? Mari cermati potensinya.
Laba memang Rp 1,22 triliun. Tapi arus kas dari operasi adalah Rp 4,10 triliun. inilah sumber potensi pertama. Jadi pada tahun tersebut Japfa hanya menggunakan separuh dari potensi dana pertama.
Berdasarkan catatan lantai bursa, nilai pasar Japfa hari ini adalah Rp 18,53 triliun. Jika menerbitkan saham baru 10% maka perusahaan besutan keluarga Santosa ini akan memperoleh dana Rp 1,85 triliun. inilah potensi kedua untuk ekspansi perusahaan.
Masih ada lagi. Berdasarkan neraca akhir tahun tersebut, utang Japfa adalah Rp 14,54 triliun. Pada saat itu ekuitasnya adalah Rp 11,41. Dengan demikian rasio utang terhadap ekuitas alias DER Japfa adalah 1,27. Angka ini masih cukup aman.
Jika potensi kedua digunakan, Rp 1,85 triliun akan ditambahkan pada ekuitas. Dengan demikian ekuitas akan menjadi Rp 13,26 triliun. Dengan mempertahankan DER sebesar 1,27 maka utang bisa ditingkatkan menjadi Rp 16,84 triliun. Dengan posisi utang yang masih Rp 14,54 triliun maka ada potensi dana dari penambahan utang sebesar Rp 2,30 triliun. Inilah potensi ketiga dana untuk ekspansi.
Total ketiga potensi adalah Rp 8,25 triliun. Jadi arus kas investasi Japfa yang Rp 1,98 triliun hanya menggunakan 24% dari potensinya. Bisa dikatakan bahwa perusahaan perunggasan terbesar kedua di tanah air ini sedang tidur.
&&&
Ada dua pemegang saham besar PT Japfa Comfeed Tbk. Pertama adalah Japfa Holdings Pte Ltd 57,51%. Kedua adalah KKR Jade Investments Pte Ltd 11.98%. Keduanya adalah entitas yang berkedudukan di Singapura. Artinya, posisi PT Japfa Comfeed Tbk adalah sebagai anak perusahaan Japfa Holdings Pte Ltd.
Secara stratejik, anak perusahaan yang berupa perusahaan terbuka adalah sebuah kesalahan. Posisi PT Japfa Comfeed sebagai perusahaan terbuka membuat sang induk tidak bisa mengendalikannya dengan cukup. Idealnya anak perusahaan bisa diatur sesuai kebijakan induk tanpa melibatkan pihak luar mana pun. Anak perusahaan adalah satu kesatuan tak terpisahkan dari sang induk. Posisi sebagai perusahaan terbuka mengacaukannya. Itulah kenapa Aqua melakukan delisting begitu diakuisisi oleh Danone. Sarihusada juga melakukan hal yang sama begitu diakuisisi oleh Nitricia. Di Singapura, Mount Elizabeth Hospital juga delisting setelah diakuisisi oleh IHH Helath dari Malaysia.
Kesalahan stratejik ini adalah salah satu penyebab mengapa Japfa Comfeed tidur. Kesalahan ini mesti dikoreksi jika Japfa Comfeed mau bangun. Caranya, Japfa Comfeed harus menerbitkan saham baru sebesar sekitar 10%. Akibatnya proporsi saham Japfa Holdings Pte Ltd akan terdilusi menjadi sekitar 47%. Dengan demikian maka Japfa Comfeed akan menjadi fully corporatized company. Menjadi korporasi sejati. Salah satu cirinya adalah tidak ada pemegang saham pengendali.

Mengapa tidak mengambil opsi delisting? Untuk melakukan ini Japfa Holdings Pte Ltd harus membeli seluruh saham pihak lain. Ini tidak mungkin karena nilai pasar sang induk hanya Rp 13,70 triliun. Terlalu berat untuk menerbitkan saham hinga mampu mengambil alih 42,49% saham pihak lain.
Jadi, penerbitan saham baru PT Japfa Comfeed Tbk adalah satu satunya cara untuk bangun. Tumbuh pesat menjadi korporasi sejati. Uang hasil penerbitan saham lebih dari cukup untuk mengakuisisi Malindo Feedmill dan Sreeya Sewu Indonesia. Keduanya adalah perusahaan perunggasan terbuka di tanah air. Bangun untuk konsolidasi kekuatan industri perunggasan tanah air. Mengibarkan merah putih tinggi-tinggi. Menyalip Charoen Pokphand si juara pertama perunggasan tanah air asal negeri gajah. Japfa, bangun!
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Artikel ke-361 karya Iman Supriyono ini ditulis untuk dan dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi Maret 2022
Baca juga:
Garuda, pailit atau korporatisasi?
Krakatau Steel: Tercekik Utang
Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?
Garuda: Utang Melebihi Aset
Glorifikasi IPO Kioson
IPO Bukalapak Prospektif atau Buang Uang
Kepailitan Startup OFO Bike Hiring
Tesla Laba Setelah 16 Tahun Rugi
Corporate Life Cycle dalam Merger GoTo
Valuasi Merger Gojek Tokopedia
Sequoia VC Sejati