CLC: Mengapa Gojek & Tokopedia Harus Merger?


Artikel pertama saya tentang merger Gojek-Tokopedia menjadi Go To membahasnya dari kaca mata nilai perusahaan. Sambutan pembaca sungguh menggembirakan. Kali ini mari kita tinjau dari kaca mata corporate life cycle. Khususnya tahap revenue and profit driver (RPD). Apakah mereka tidak sedang berkonglomerasi, sementara dalam 3 dekade terakhir ini konglomerasi sudah tidak mendapatkan tempat pada percaturan bisnis global?  Mengapa masih sama-sama “bakar uang” kok merger? Saya akan menjelaskannya dalam bentuk poin-poin.

Corporate Life Cycle: Merger adalah keharusan
  • Ada 8 langkah dalam corporate life cycle (CLC): berdiri, rugi, break event point, laba, revenue & profit driver (RPD), scale up, sistem manajemen, dan terakhir, fully corporatized company. Silakan baca di sini untuk detail. Jika Anda belum pernah membacanya, direkomendasikan untuk membacanya sebelum melanjutkan membaca tulisan ini. Jika tidak Anda akan kesulitan memahaminya.
  • Perusahaan yang baru berdiri tidak bisa mendatangkan investor melalui skema ekuitas. Aksi korporasi mendatangkan investor ekuitas melalui penerbitan saham baru hanya layak pada saat perusahaan sudah pada tahap scale up.  Tahap ke-6 dalam CLC.
  • Tetapi rumus umum ini diperkecualikan untuk perusahaan  yang berada di industri yang sama sekali baru. Industri yang belum ada pemain mapannya. Gojek dan Tokopedia keduanya masuk perkecualian ini. Sudah berkali-kali menerbitkan saham untuk menambah modal walaupun masih pada step kedua atau ketiga dalam CLC
  • Artinya, pada Gojek dan Tokopedia sudah terdapat banyak pemegang saham non pendiri. Dan, yang bisa menjadi pemegang saham non pendiri perusahaan yang masih dalam step kedua atau ketiga CLC hanyalah investment company (IC). Secara portofolio, sebuah IC bisa menganggarkan maksimum sekitar 1% dari aset kelolaannya untuk masuk pada start up seperti Gojek dan Tokopedia.
  • Bayangkan IC itu sekelas BlackRock yang aset kelolaannya USD 7,4 miliar. Satu persen dari aset kelolaan itu sekitar Rp 1200 triliun. Portofolio mereka secara umum bisa mendatangkan imbal hasil sekitar 10% dari aset kelolaan. Jika 1% dari aset dimasukkan pada perusahaan sejenis Gojek dan Tokopedia itu dan kemudian bangkrut pun, kinerja investasi mereka tidak akan terganggu secara signifikan. Masih bisa ditolerir jika imbal hasil 10% itu turun menjadi 9% karena investasi di perusahaan startup mereka hancur semua. Tentu saja tidak akan terjadi semua perusahaan startup investee mereka hancur semua.
  • Gojek dan Tokopedia telah berkali kali menerima suntikan dana investasi melalui skema ekuitas.  Konsekuensinya, telah banyak IC besar yang menjadi pemegang saham mereka. Para pemegang saham itu akan mencermati investee mereka dengan serius. CLC dari SNF Consulting adalah framework yang bisa digunakan untuk memahami strategi para IC itu
  • IC akan mendorong investee mereka, dalam hal ini Gojek dan Tokopedia, untuk secepat mungkin masuk pada step scale up. Step keenam. Mengapa? Scale up melalui penerbitan saham baru artinya adalah menjual intangible asset untuk ekspansi. Efeknya adalah modal murah yang berakibat corporate value meningkat dan ROI bagi investor juga meningkat. ROI bisa menjadi ratusan persen.
  • Step keenam, scale up, tidak bisa dilalui kecuali telah melalui step kelima yaitu RPD. Dan RPD juga tidak bisa dilalui kecuali telah melalui step sebelumnya, yaitu laba
  • Nah, laba ini unsurnya ada dua: pendapatan dan biaya. Sisi pendapatan, Gojek dan Tokopedia tentu akan terdorong meningkatkan pendapatan agar segera mencapai laba. Agar tidak terjebak pada kepailitan start up. Tapi peningkatan pendapatan saja tidak cukup. Ada saatnya sulit sekali meningkatkan pendapatan karena berbagai variabel eksternal yang tidak bisa dikontrol oleh manajemen. Maka, melakukan efisiensi biaya juga menjadi langkah yang tidak bisa dikesampingkan. Jika ingin terhindar dari kepailitan startup, penghematan dan peningkatan pendapatan harus dilakukan secara paralel
  • Nah, merger adalah langkah untuk penghematan itu. Efisiensi biaya. Dalam era korporatisasi ini, pemegang saham keduanya bisa dipastikan banyak irisan. Sebagian besar pemegang saham Gojek juga pemegang saham Tokopedia. Mengapa? Karena di dunia ini IC yang besar ya  itu-itu saja.
  • Mengapa merger bermakna sangat signifikan bagi efisiensi? Mengapa bisa match? Mengapa merger keduanya tidak bermakna konglomerasi yang kini dihindari oleh IC?  Untuk menjawabnya, kita tidak bisa memandang Gojek dan Tokopedia sebagai dua perusahaan yang berada pada industri berbeda. Kita tidak bisa memandang Gojek sebagai perusahaan transportasi dan Tokopedia sebagai perusahaan toko retail. Melainkan, kita harus memandang keduanya sebagai perusahaan platform aplikasi digital
  • Jika kita memandang Gojek sebagai perusahaan transportasi, maka RPD-nya adalah jumlah armada. Scale up dilakukan dengan menambah armada. Pesaingnya adalah perusahaan transportasi seperti Blue Bird. Jika kita memandang Tokopedia sebagai perusahaan retail, maka RPD-nya adalah gerai. Scale up dilakukan dengan menambah gerai. Pesaingnya adalah perusahaan retail seperti Alfamart atau Indomaret. Dengan cara pandang ini maka merger keduanya adalah membentuk konglomerasi yaitu merger antara dua perusahaan berbeda RPD. Padahal konglomerasi sudah dihindari oleh IC paling tidak dalam 3 dekade terakhir ini. Maka cara pandang ini tidak tepat
  • Bagaimana yang tepat? Kita harus memandang keduanya sebagai perusahaan yang bergerak di platform aplikasi digital. RPD mereka adalah platform. Ekspansi mereka dilakukan dengan menambah platform.
  • Contoh perusahaan dengan RPD platform adalah Alphabet. RPDnya adalah platform. Maka, ketika platform pertama mereka, mesin pencari Google, telah memperoleh laba, yang dilakukan selanjutnya adalah scale up menambah platform. Baik secara organik maupun anorganik. Yang anorganik misalnya adalah akuisisi Youtube. Yang organik misalnya adalah pengembangan Android. Bagi Alphabet, mengembangkan Android adalah seperti Alfamart yang mendirikan toko baru. Setelah mesin pencari Google sebagai “toko lama” menghasilkan uang, segera membangun Android sebagai “toko baru”
  • Nah, karena kedua “toko” mereka masih rugi, maka logis sekali jika para IC pemegang saham Gojek dan Tokopedia yang banyak beririsan itu menghendaki efisiensi. Merger adalah cara efisiensi. Jika sebelum meger dibutuhkan dua tim manajemen untuk masing-masing “toko”, setelah merger cukup satu tim manajemen untuk mengelola keduanya. Cukup satu CEO untuk keduanya. Akan banyak biaya terpangkas.
  • Harapannya, kedua “toko” akan segera laba. Perusahaan hasil merger akan segera laba. Atau jika sebelumnya memang sudah laba, ROE-nya akan lebih bagus. Dengan demikian akan ada banyak ruang untuk scale up dengan menambah “toko” baru. Menambah RPD. Bahkan jika intangible assetnya sudah cukup kuat di mata investor, mereka punya kekuatan untuk melakukan akuisisi. Seperti ketika Facebook melakukan akuisisi terhadap WA dan Instagram dengan harga selangit untuk menambah “toko” mereka. Menambah platform baru sebagai RPD mereka dengan biaya modal yang murah hasil menjual intangible asset.
  • Kembali ke pertanyaan di pembukaan tulisan ini. Apakah mereka tidak melakukan konglomerasi? Mengapa sama-sama “bakar uang” harus merger? Anda sudah mendapatkan jawabannya kan? Jika belum, baca kembali CLC dan RPD, baru baca lagi tulisan ini. Moga sukses!

Diskusi lebih lanjut tentang merger, akusisi dan korporasi? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA SNF Consulting

Baca juga:
Korporatisasi Langkah Demi Langkah
Corporate life cycle
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Merger sebagai salah satu strategi scale up

*)Artikel ke-318 karya Iman Supriyono ini ditulis di kantor pusat SNF Consulting pada tanggal 25 Maret 2021.

24 responses to “CLC: Mengapa Gojek & Tokopedia Harus Merger?

  1. Pak Iman, jika perusahaan hasil merger gojek & tokopedia, melakukan IPO, apakah saham nya bagus buat investasi ?

  2. Ping-balik: IPO Bukalapak: Prospektif atau Buang Uang? | Korporatisasi

  3. Ping-balik: ARA ARB Bukalapak: Anda Penjudi atau Investor? | Korporatisasi

  4. Ping-balik: Bank Jago Melangit: Karena Kinerja? | Korporatisasi

  5. Ping-balik: Korporatisasi Di Luar Lantai Bursa | Korporatisasi

  6. Ping-balik: Buta Sejarah Korporasi: Bisnis Sekedar Berjualan | Korporatisasi

  7. Ping-balik: Sejarah Korporasi: Ilmu Wajib Para Founder CEO Entrepreneur | Korporatisasi

  8. Ping-balik: Bentoel Delisting Saat Marak IPO, Mengapa? | Korporatisasi

  9. Ping-balik: Jenderal: Level Jabatan & Sistem Manajemen | Korporatisasi

  10. Ping-balik: Japfa, Bangun! | Korporatisasi

  11. Ping-balik: Sodexo: Catering Olympiade Bisa! | Korporatisasi

  12. Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi

  13. Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi

  14. Ping-balik: Pertaruhan Hidup Mati Goto | Korporatisasi

  15. Ping-balik: Iklan Holywings: Salah Karyawan atau Direksi? | Korporatisasi

  16. Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi

  17. Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi

  18. Ping-balik: PKPU & Kepailitan: DPUM | Korporatisasi

  19. Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi

  20. Ping-balik: Merger & Akuisisi: Transaksi RPD | Korporatisasi

  21. Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi

  22. Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi

  23. Ping-balik: Manfaat Bagi Sesama: 4 Ukuran Perusahaan | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s