Hari pertama ditransaksikan di lantai bursa, Jumat 6 Agustus 2021, harga saham Bukalapak (BUKA) menyentuh auto rejection atas (ARA). Menguat 24,71% sehingga perdagangan secara otomatis dihentikan oleh sistem. Dari penawaran awal harga 850, BUKA naik menjadi Rp 1060.
Hari kedua, senin 9 Agustus 2021, kembali menyentuh angka ARA menjadi Rp 1 325. Transaksi dihentikan lalgi. Naik 25% dari harga pembukaan. Dengan demikian, karena BUKA total telah menerbitkan 103,06 miliar lembar, nilai pasar (MV) perusahaan startup tersebut pada saat sahamnya dihentikan di hari kedua transaksi adalah Rp 136,56 triliun.
Hari ketiga menjadi titik balik. BUKA justru terkena auto rejection bawah (ARB). Turun menjadi Rp 1035 dan transaksi dihentikan. Dengan demikian saat dihentikan nilai pasar BUKA menjadi Rp 106,67 triliun.
Nah, turunnya harga pada hari ketiga ini memunculkan berbagai macam reaksi. Yang menarik adalah reaksi kekecewaan. Salah satu bentuknya adalah dugaan adanya exit strategy dari para pemegang saham. Bahkan ada tuduhan bahwa para pemegang saham asing telah menguras uang masyarakat Indonesia. Exit strategy sebagai konspirasi menguras uang anak negeri. Menggoreng informasi sehingga saham bisa dijual jauh lebih tinggi dari nilai buku. Lalu pada saat sudah diperdagangkan mereka ramai-ramai melakukan exit strategi dengan menjual saham mereka. Mengantongi cuan triliunan.
Bagaimana bisa muncul tuduhan semacam itu? Menurut saya ini muncul karena mindset spekulan dari para penuduhnya. Atau bahkan mindset penjudi. Bumbu-bumbu teori konspirasi menjadi pemanis. Menyusun alur logika yang membenarkan tuduhan itu. Menjadikan tuduhan itu semakin mendapat pembenaran. Pengagumnya tetap percaya penuh walaupun teori konspirasi dibangun tanpa adanya data yang terkonfirmasi.
Benarkah tuduhan itu? Mari kita cermati. Sebuah tuduhan yang tidak berdasar. Paling tidak ada 2 alasan ketidaklogisannya. Alasan pertama adalah bahwa exit strategy itu tidak sesuai dengan karakteristik sebuah perusahaan investasi. Melihat prospektusnya, pemegang saham BUKA sebelum IPO isinya adalah perusahaan-perusahaan investasi. Karakter mereka adalah investor jangka panjang. Keputusannya didasarkan pada analisis pertumbuhan ROI jangka panjang.
Mereka masuk pada perusahaan startup seperti BUKA bukan dengan proporsi besar aset. Mereka hanya menggunakan proporsi kecil. Sekitar 1% dari nilai aset kelolaan. Tujuannya adalah mengamankan dana kelolaan (asset under management, AUM) mereka dalam jangka panjang dengan ROI yang bagus.
Ingat, sebuah perusahaan investasi yang bagus tiap tahun akan mendapatkan tambahan modal. Tumbuh dalam aset kelolaan karena aliran dana masyarakat. Ini terjadi karena kredibilitas yang telah dibangun dalam jangka panjang. Pertumbuhan aset itu harus diinvestasikan. Maka, tiap tahun mereka harus berburu investee. Jika tidak maka dana yang baru diterima dari masyarakat akan tidak terinvestasikan. Dan itu tentu saja akan menjadikan ROI dana kelolaan memburuk. Sesuatu yang akan menurunkan kredibilitas mereka.
Investement company memiliki kesabaran. Seperti kesabaran Berkshire Hathaway, perusahaan investasi besutan Warren Buffet, yang telah masuk sebagai pesaham Coca Cola tahun 1988. Saham itu tetap dipegang sampai saat ini. Perhitungan SNF Consulting, saat ini ROI saham tersebut adalah 78%. Bahkan investor Starbucks bisa menikmati ROI lebih dari 4000%. Sebuah angka yang tinggi. Kalau saham ini dijual, tentu harus mencari pengganti. Dan mencari pengganti dengan ROI sebesar itu tentu sangat amat sulit. Itulah maka saham itu tidak pernah dilepas sampai 33 tahun hingga saat ini.
Alasan kedua, OJK memiliki aturan lock up. Sesuai POJK no. 25 tahun 2017, seluruh pemegang saham yang memperoleh saham BUKA dengan harga dibawah Rp 850 dilarang menjual sebagian atau seluruh saham yang dimilikinya sampai 8 bulan ke depan. Aturan yang berlaku untuk semua pihak yang menjadi pemegang saham dalam rentang waktu 6 bulan sebelum penyampaian pendaftaran BUKA ke OJK ini menjadi penghambat pelaksanaan exit strategy.
Dengan dua alasan tersebut, exit strategy yang dituduhkan menjadi tidak benar. Tuduhan yang tampak benar dengan teori konspirasi itu hanya akan menutup peluang belajar bagi para pengagumnya. Padahal, dari apa yang terjadi di BUKA mengandung pembelajaran manajemen yang bagus. Mengandung pembelajaran corporate life cycle (CLC) yang bagus. Apalagi bari para entrepreneur, founder, direksi, komisaris dan para investor pemegang saham. Mental spekulan dan mental penjudi dibumbui teori konspirasi adalah sarana yang mujarab untuk mempertahankan kebodohan.
Maka, mari kita pelajari logika investment company. Apa yang dipikirkan mereka sehingga mau membeli saham BUKA dengan harga Rp 850 yang jauh diatas nilai buku? Silakan baca perkembangan par value, book value dan market value BUKA sampai pada IPO di tulisan saya terdahulu.
Para investor membeli saham perusahan yang masih rugi dengan harapan ROI pada masa yang akan datang. Mari kita simulasikan. Misalkan para investor mengharapkan ROI 10% dari BUKA pada masa yang akan datang. Dengan harga Rp 850 maka ROI 10% bisa dipenuhi jika BUKA menghasilkan laba Rp 85 per lembar saham. Karena kini lembar sahamnya ada sebesar 103,06 lembar, maka laba perusahaan yang diharapkan adalah Rp 8,7 triliun.
Kapan laba sebesar itu kira-kira bisa dicapai? Mari kita proyeksikan. Omzet triwulan pertama 2021 adalah Rp 424 miliar. Jika dalam 3 triwulan berikutnya omzet naik rata-rata 25% maka pada akhir tahun BUKA akan beromzet Rp 2,44 triliun. Jika tahun-tahun berikutnya naik 25% maka tahun 2022 omzetnya akan Rp 3,03 triliun. Dengan kenaikan yang sama maka tahun 2037 maka omzet akan menjadi 94,5 triliun. Jika margin bersihnya 10% maka labanya adalah Rp 9,45 triliun.

Dengan proyeksi itu, ROI 10% baru akan tercapai setelah 17 tahun dihitung dari tahun IPO. Lama atau singkat? Tesla bisa menjadi gambaran. Perusahaan yang dikomandani Elon Musk ini baru mencapai laba setelah 17 tahun sejak berdiri. Mencapai step ke-8 dalam CLC setelah 17 tahun.
Lamakah 17 tahun? Tidak. Perhatikan kesabaran Warren Buffett dengan Berkshire Hathaway sebagai pemegang saham Coca Cola. Menempuh 8 step CLC dalam 17 tahun itu termasuk cepat. Toyota misalnya, menempuhnya dalam waktu yang lebih lamaaaa. Dan untuk perjalanan itu BUKA telah mengantongi senjata Rp 21 triliun hasil IPO. Tugas manajemen adalah memenuhi harapan investor itu. Dan tentu saja investor akan terus mengawasi pelaksanaan tugas itu melalui komisaris yang telah mereka pilih melalui RUPS.

Bagaimana? Jelas kan? Bagaimana mindset Anda? Penjudi atau investor? Mindset penjudi sibuk dengan hiruk pikuk fluktuasi di pasar sekunder dengan teori konspirasinya. Uang berputar-putar di antara para investor tanpa efek terhadap perusahaan penerbit sahamnya. Mindset investor sibuk melakukan analisis fundamental perusahaan dan berinvestasi melalui pasar primer. Uangnya masuk ke perusahaan untuk pertumbuhan bisnis menapaki 8 step CLC. Menjadi perusahaan yang bermanfaat luas untuk masyarakat tanpa sekat bangsa, agama, ataupun ras. Anda bagaimana?
Klik untuk bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Klik untuk cek jadwal terdekat Kelas Korporatisasi
Baca Juga
Glorifikasi IPO Kioson
IPO Bukalapak Prospektif atau Buang Uang
Kepailitan Startup OFO Bike Hiring
Tesla Laba Setelah 16 Tahun Rugi
Corporate Life Cycle dalam Merger GoTo
Valuasi Merger Gojek Tokopedia
Sequoia VC Sejati
Artikel ke-348 karya Iman Supriyono ini ditulis di rumahnya di Surabaya pada tanggal 11 Agustur 2021