Kepemilikan saham perusahaan minuman keras PT Delta Djakarta Tbk. oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menjadi polemik. Pemprov Jakarta bermaksud untuk menjualnya di tengah suara DPRD Jakarta ingin mempertahankannya. Tulisan ini akan membahas bagaimana seharusnya keputusan terbaiknya berdasarkan pertimbangan bisnis berbasis data dan benchmark yang tepat. Data-data yang disampaikan adalah yang tersedia pada bank data korporasi SNF Consulting, kantor tempat saya berkarya.

Anker Bir: Bisnis barang haram yang mendatangkan dividen besar untuk Pemerintah Provinsi Jakarta
- PT Delta Djakarta Tbk. didirikan tahun 1932 sebagai perusahaan bir Jerman bernama Archipel Brouwerij NV. Perusahaan ini kemudian dibeli oleh sekelompok usaha Belanda dan diubah namanya menjadi NV De Oranje Brouwerij. Nama Delta Djakarta dipakai sejak 1970. Delta Djakarta mencatatkan diri di lantai bursa tahun 1984 dengan kode DLTA. Tahun 1990-an penanaman modal asing mengalir deras ke Indonesia. Saat itulah perusahaan bir San Miguel Corporaatioan dari Philipina menjadi pemegang saham pengendali. San miguel menjadi induk perusahaan (parent company) dan Delta menjadi anak perusahaan (subsidiary).
- Saham perusahaan yang dikenal dengan merek Anker Bir ini saat ini dimiliki oleh San Miguel sebesar 58,33%, Pemprov Jakarta sebesar 23,34% dan BP IPM Jaya (perusahaan yang dikendalikan oleh Pemprov Jakarta) sebesar 2,91%. Dengan demikian total Pemprov Jakarta memegang 26,25% saham DLTA. Sisanya dipegang oleh publik sebesar 15,42%.
- DLTA adalah anak perusahaan San Miguel. San Miguel adalah perusahaan publik di Philiphina dengan kapitalisasi pasar sebesar PHP 421 Milyar (Rp 114T). Secara manajemen, sebuah perusahaan induk akan cenderung menguasai saham perusahaan anak mendekati 100%. Tujuannya agar anak perusahaan benar-benar bisa dikontrol sepenuhnya sesuai dengan strategi si induk. Bahkan jika mengakuisisi sebuah perusahaan yang semula publik, induk akan melakukan tender offer untuk membeli seluruh saham dengan harga Akhirnya si anak pun akan ditarik dari lantai bursa alias delisted. Inilah yang misalnya dilakukan Danone terhadap Aqua dari lantai bursa Indonesia atau IHH Malaysia yang menarik Month Elizabeth Hospital dari lantai bursa Singapura.
- Saat ini nilai pasar seluruh saham DLTA adalah Rp 5,26 T dengan dividend yield 3,95%. Dengan angka ini saat ini nilai pasar seluruh saham Pemprov Jakarta adalah sekitar Rp 1,38T dan menerima sekitar Rp 54 M pada pembagian dividen terakhir. Prosentase kepemilikan Pemprov Jakarta menunjukkan fungsinya sebagai murni investor institusi. Rumus logis investor adalah penyebaran portofolio investasi dengan doktrin “jangan taruh telormu pada satu keranjang”. Dengan doktrin ini, adalah sebuah kesalahan jika aset senilai Rp 1,38T hanya ditaruh di “keranjang” Anker Bir. Ini mengacu pada apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan investasi (investment company, IC) seperti Berkshire Hathaway, Fidelity, Black Rock, Vanguard dalam skala global, atau Saratoga di Indonesia.
- Tata kelola ekonomi modern menuntut adanya regulator alias wasit yang kuat. Tuntutan akan regulator yang kuat ini tidak mungkin dipenuhi jika regulator juga ikut menjadi pemain dalam dunia bisnis. Prediksi saya, peran negara dalam bisnis kedepan akan makin mengikuti pola seperti yang dilakukan oleh Malaysia melalui Khazanah Holding atau Singapura melalui Temasek Holding. Peran negara di dunia bisnis dilakukan melalui IC seperti Khazanah atau Temasek. Ini cocok karena IC tidak mengendalikan perusahaan yang sahamnya dipegang. Hanya mau memegang saham dalam prosentase kecil. Kehadiranya dalam dunia bisnis murni sebagai investor. Jika antara dua perusahaan atau lebih yang bergerak pada bidang yang sama selalu bersaing adu kepala, tidak demikian dengan sesama IC. Sesama IC akan selalu bergandeng tangan dalam berinvetasi agar bisa masuk dalam prosentase kecil-kecil. Semua perusahaan-perusaan global selalu dimiliki oleh nyaris semua IC di dunia. IC tidak mau menaruh telor pada satu keranjang. Dengan demikian, peran negara di sektor bisnis melalui IC tidak mengganggu perannya sebagai regulator. Sebagai wasit yang tidak merangkap pemain.
- Tiga hal diatas – induk perusahaan yang maunya menguasai 100%, Pemprov jakarta yang selama ini berperan layaknya sebuah IC di DLTA dan benchmark terhadap Khazanah dan Temasek- menjadikan keputusan menjual saham Pemkot di DLTA adalah sebuah keniscayaan dalam struktur bisnis modern. Tidak ada alternatif lain.
- Pemprov DKI butuh bantuan pihak yang menguasai proses korporatisasi untuk menjual sahamnya di DLTA kepada San Miguel. San miguel pasti sangat menyukai karena dana untuk membeli DLTA bisa diperoleh denga mudah dan murah melalui lantai bursa Philipina. Rumus penjualan saham berbeda dengan menjual barang. Jika menjual barang volume besar justru mendapatkan diskon, maka menjual saham volume besar seperti saham DLTA yang dimiliki Pemprof Jakarta justru akan ada premium. Harganya jauh diatas harga pasar. Pemprov bisa mendapatkan dana Rp 2 T lebih untuk saham yang harga pasarnya saat ini Rp 1,38T. Untuk memmperoleh Rp 2T San Miguel cukup menerbitkan saham baru sebesar tidak lebih dari 2%.
- Sesuai benchmark Khazanah dan Temasek, uang hasil penjualan tersebut harus langsung dipakai sebagai modal setor pendirian sebuah IC. IC tesebut 100% dimiliki oleh Pemprov Jakarta. Persis seperti Temasek dan Khazanah yang juga dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah Singapura dan Malaysia.
- Selanjutnya, IC milik pemprov Jakarta ini sepenuhnya berstrategi persis seperti IC pada umumnya. Seperti Temasek, Khazahan, Saratoga, Berkshire Hathaway, State Street, Fidelity dll. Pendapatan IC adalah dari dividen perusahaan-perusahaan yang sahamnya dipegang plus capital gain saat saham tersebut dijual. Total returnya akan jauh dari prosentase dividen yang saat ini diperoleh Pemkot Jakarta. Disinilah letak stratejik penjualan saham DLTA milik Pemprov Jakarta. Bonusnya, dengan berperan sebagai IC, dana tersebut akan efektif untuk mendorong pertumbuhan berbagai perusahaan nasional melalui proses korporatisasi. IC adalah bagian utama dari proses korporatisasi membesarnya berbagai perusahaan menajdi perusahaan prinsipal yang menguasai pasar dunia.
- Salah satu kepentingan IC adalah menginestasikan sekitar 0,1 – 0,3% dari dana kelolaanya pada start up. Dengan demikian, penjualan saham Anker Bir lalu menjadikannya sebagai dana pendirian IC akan membuka pintu peran IC lokal masuk ke saham-saham unicorn lokal yang selama ini dikuasai asing. Tidak ada cara lain kecuali cara ini.
- Inilah konsep bisnisnya. Tugas pemprov dalam hal ini dipimpin oleh Gubernur adalah menjalankan proses politik untuk eksekusinya. Eksekusi menuju RI kuat secara ekonomi. Jika langkah ini sukses, saya yakin akan menjadi model bagi Pemprov dan Pemkab/Pemkot lain. Bahkan pemerintah pusat. Seluruh saham pemeritntah di BUMN dan BUMD disatukan dalam sebuah IC. Jika ini dilakukan, kita RI bisa memiliki IC lebih besar dari pada Khazanah dan Temasek. Bahkan bisa lebih besar daripada Berkshire Hathaway-nya si Warren Buffet. Membuang dividen haram sekaligus menguatkan ekonomi. Semoga.
Ditulis oleh Iman Supriyono di SNF Consulting, 8 Maret 2019
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga:
Heinekken si raja miras RI sejak jaman Belanda
Korporatisasi Langkah Demi Langkah
Perusahaan Nasionalis Pancasilais
Perusahaan Yang Mengibarkan Merah Putih di Berbagai Negara
Perusahaan Dakwah
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Wakaf Sebagai Penguat Korporasi
Bagus pk konsepnya…semoga menjadi.pencerahan pk gub dki
semoga bisa dieksekusi
Ping-balik: Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Bangsa | Catatan Iman Supriyono
Sangat setuju dan ingin menuju kearah bisnis corporate yg halal lan tayiban
Ping-balik: ARA ARB Bukalapak: Anda Penjudi atau Investor? | Korporatisasi