Sejarah Heineken berawal pada tanggal 15 Pebruari 1864 ketika Gerard Adriaan Heineken membeli Haystack brewery, sebuah pabrik bir di Amsterdam, Negeri Belanda. Ketika membeli pabrik itu, Gerard baru berusia 22 tahun. Pengalamannya dalam membuat bir pun masih sedikit.
Setelah akuisisi, Gerard memutuskan untuk hanya menyeduh bir jenis lager, meskipun orang Belanda jauh lebih baik dalam membuat bir ale, bir porter dan bir jenis brown. Keputusan untuk fokus itu terbukti terbayar. Pabrik bir Heineken kedua dibuka kurang dari satu dekade kemudian di Rotterdam.
Tahun 1875 Heineken sudah menjadi eksportir bir terbesar ke Perancis dan menerima penghargaan Medal D’or dalam sebuah pameran maritime internasional. Tahun 1889 Heineken mendapat apresiasi dengan masuk sebagai hidangan resto di Menara Eiffel, tempat ikonis yang diakui dunia itu.
Tahun 1933 Heineken mulai diekspor ke USA setelah regulasi larangan impor di negeri itu dicabut tahun 1933. Setelah program iklan sukses, ekspor ke negeri paman Sam naik hingga 600% dalam waktu 4 tahun.
Tahun 1936 Heineken masuk ke pasar Hindia Belanda, kini menjadi Republik Indonesia, dengan mengakuisisi N.V. Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen. N.V. Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen adalah perusahaan bir pertama di Hindia Belanda yang berdiri tahun 1921 di Medan. Pabrik pertamanya berlokasi di Surabaya mulai beroperasi pada tanggal 21 Nopember 1931. Tahun 1936 tempat kedudukan N.V. Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen secara resmi berpindah ke Surabaya dan namanya berubah menjadi N.V. Heineken Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen Maatschappij saat Heineken menjadi pemegang saham terbesar.
Tahun 1939 Heineken melakukan initial public offering di Dutch Stock Exchange. Ini adalah awal proses korporatisasi yang lebih masif bagi Heineken. Mencari modal murah untuk ekspansi lebih lanjut ke berbagai negara. Modal yang pokoknya tidak perlu dikembalikan sehingga leluasa untuk berekspansi ke manapun.
Setelah Hindia Belanda berubah menjadi Republik Indonesia melalui proklamasi kemerdekaannya, tahun 1951 N.V. Heineken’s Nederlandsch-Indische Bierbrouweerijen Maatschappij kembali berubah nama menjadi Heineken’s Indonesische Bierbrouwerijen Maatschappij N.V.
Tahun 1968 Heineken merger dengan Amstel. Amstel adalah perusahaan bir yang berdiri di negeri Belanda juga pada tahun 1870, lebih senior dari pada Heineken. Tahun 1968 perusahaan hasil merger ini menguasai pangsa pasar 55%.
Tahun 1971 Alfred Henry Heineken, generasi ketiga, mulai memimpin Heineken. Dalam kepemimpinan CEO baru ini, perusahaan tumbuh pesat menjadi merek global. Saat Freddy, nama sapaan Alfred Henry Heineken, pensiun pada tahun 1995, Heineken menempati posisi sebagai produsen bir terbesar kedua dunia yang menguasai pasar berbagai negara. Saat ini Heineken telah hadir di lebih dari 190 negara dengan lebih dari 84 ribu karyawan.
Tanggal 2 September 1981, Heineken’s Indonesische Bierbrouwerijen Maatschappij N.V mengubah nama menjadi PT Multi Bintang Indonesia. Tempat kedudukan juga berpindah dari Surabaya ke Jakarta. Tahun itu juga PT Multi Bintang Indonesia mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Langkah ini mengukuhkan kehadiran perusahaan berlogo bintang asal Negeri Belanda itu di negeri +62.
&&&
Dari sejarah Heineken, paling tidak ada enam pelajaran penting yang bisa diambil. Pertama, bahwa untuk sukses dibutuhkan keputusan dengan risiko besar. Gerard yang masih muda dengan pengalaman minim di industri bir membuktikannya. Tapi keputusan itu justru menunjukkan akan keberanian, kepercayaan diri, dan semangat kewirausahaan yang dimilikinya. Semangat yang selalu dimiliki para pendiri perusahaan kelas dunia seperti Heineken.

Kedua, bahwa sebuah perusahaan perlu fokus untuk mencapai sukses. Gerard memutuskan untuk hanya memproduksi bir jenis lager membuktikannya. Padahal Belanda lebih dikenal sebagai penyeduh kenamaan untuk bir jenis ale, porter dan brown. Fokus adalah ibarat sniper. Menghemat “peluru” untuk memenangkan “pertempuran”.
Ketiga, visi penguasaan global mutlak dibutuhkan oleh sebuah perusahaan yang ingin tumbuh dengan aman. Tidak lama setelah menguasai pasar negeri asalnya, Heineken segera melirik Perancis yang terkenal dengan ikon Eiffel. Inilah yang kemudian menjadi pijakan untuk ekspansi ke berbagai negera lain.
Keempat, bahwa korporasi selalu menjadi partner pemerintah negaranya untuk tampil menjadi bangsa unggul. Heineken tampil sebagai gerbong bagi lokomotif kebijakan politik kolonialisme pemerintah Belanda ketika itu. Heineken masuk pasar Hindia Belanda saat negaranya menjadi penguasa wilayah yang kelak berubah menjadi NKRI itu. Dan kemudian kita menyaksikan bahwa walaupun kebijakan kolonialisme Belanda telah berakhir di Indonesia, PT Multi Bintang Indonesia, sebagai anak perusahaan tetap berkontribusi besar bagi negaranya. Dalam suasana pandemi 2020 Multi Bintang Indonesia tetap menghasilkan laba Rp 286 miliar. Tahun 2019 anak perusahaan Heineken tersebut menghasilkan laba Rp 1,2 triliun. Tentu saja 81,78% dari laba itu menjadi hak Heineken Belanda sesuai dengan persentase saham yang dipegangnya. Pemerintah dan korporasi ibarat pemain bola yang saling melempar umpan untuk kejayaan sebuah bangsa di kancah bisnis global yang memang mirip permainan sepak bola itu. Memang dibutuhkan pemerintah yang jika bertemu bangsa lain otaknya adalah mencarikan tempat investasi perusahaan-perusahaan negerinya, bukan mencari investor. Pemerintah yang paham bahwa berinvestasi artinya adalah menguasai pasar. Itulah pemerintah yang nasionalis di era korporatisasi.
Kelima, bahwa akuisisi adalah metode untuk masuk menguasai pasar sebuah negara asing. Ekspor hanya pintu pembuka. Setelah itu haruslah dengan hadir sebagai anak perusahaan. Metodenya adalah melalui akuisisi. Dan akuisisi hanya mungkin dilakukan dengan modal uang dingin melalui penerbitan saham baru atau iddle cash. Tidak bisa dilakukan dengan uang utangan. Menerbitkan saham artinya melibatkan rakyat seantero negeri untuk memodali ekspansi perusahaan asal negara tersebut dalam rangka menguasai pasar negara lain.
Keenam, bahwa bagi bangsa yang ingin menguasai pasar dunia, prinsip “bersatu kita teguh” dan “bhinneka tunggal ika” itu harus sampai ke dunia bisnis. Ini ditunjukkan oleh Heineken ketika melakukan merger dengan Amstel. Tentu kedua perusahaan itu banyak perbedaan. Tapi persatuan secara legal formal dan bisnis adalah kunci keunggulan sebuah bangsa di bidang ekonomi. Memang ada ego historis. Memang akan selalu ada perbedaan. Bagi Heineken dan Amstel, prinsip bhinneka tunggal ika tidak sekedar kata-kata. Perusahaan-perusahaan yang berada pada industri yang sama wajib menyatu untuk keunggulan bangsanya.
Itulah enam pelajaran penting dari penguasaan pasar miras RI oleh Heineken hingga saat ini. Pelajaran penting dari sang raja miras negeri ini. Heineken jauh lebih kuat di RI dibanding San Miguel, perusahaan bir multinasional asal Filipina yang hadir di tahan air melalui PT Delta Djakarta. Sokongan Pemprov DKI Jakarta yang memiliki saham 26,25% pada anak perusahaan langsung San Miguel Malaysia itu masih kalah dengan kekuatan Heineken. Itulah enam pelajaran penting kehadiran Heineken di negeri yang mayoritas penduduknya mengharamkan miras itu. Anda sudah mengambil pelajaran?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga:
Korporatisasi Langkah Demi Langkah
Perusahaan Nasionalis Pancasilais
Perusahaan Yang Mengibarkan Merah Putih di Berbagai Negara
Perusahaan Dakwah
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Wakaf Sebagai Penguat Korporasi
*)Artikel ke-315 karya Iman Supriyono ini ditulis pada tanggal 12 Maret 2021 di SNF Consulting House of Management, studio produksi bagi consulting firm yang berkantor pusat di Jalan Pemuda Surabaya ini.
Jadi ingat ketika anak barep saya, waktu itu kuliah di Teknologi Pertanian UB, jur. Teknologi Industri Pertanian PKL di sana. Penelitian ttg fermentasi dan tata kelola diatribusi. Iklim kerja yang sangat kondusif. Dijanjikan setelah lulus untuk memasukan lamaran dan kerja disana. Fasilitas waktu itu 3 x UMR. Dengan berat saya tidak pernah mengijinkan kerja disana. Karena produksi minuman alkohol. Padahal waktu itu anak saya keukeuh untuk di devisi menimunan ringan zero alkhohol.
alhamdulillah. terus sekarang kerja dimana?
Ping-balik: Kekuasaan Belanda & Raja Miras RI – SuaraKupang.com
Ping-balik: Jual Saham Miras Pemprov DKI Jakarta! | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Bata: Kalibata Bataville Batanagar | Korporatisasi
Ping-balik: Chiquita: Sejarah Korporasi Pisang | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi Sepak Bola: Bali United | Korporatisasi
Ping-balik: Kalsiboard : Belgia….. | Korporatisasi
Ping-balik: Embraer: “PT DI” Dari Brazil | Korporatisasi
Ping-balik: Mitra Keluarga Menyalip Siloam: Modal Murah 2% Per Tahun | Korporatisasi
Ping-balik: Pejuang Dulu Pejuang Kini: Samudera Indonesia | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais | Korporatisasi
Ping-balik: Khao San Road: 7 Pagi 11 Malam | Korporatisasi
Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi
Ping-balik: Sepuluh Ribu Jam Terbang | Korporatisasi
Ping-balik: Cessna 208 B: Tanjung Selor-Tarakan | Korporatisasi
Ping-balik: Royalti Unilever: Gool Balasan | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Korporasi: Ilmu Wajib Para Founder CEO Entrepreneur | Korporatisasi
Ping-balik: Manfaat Bagi Sesama: 4 Ukuran Perusahaan | Korporatisasi
Ping-balik: Roto Rooter: Korporasi Raja Mampet | Korporatisasi
Ping-balik: ThyssenKrupp Cakra Nanggala | Korporatisasi
Ping-balik: Manokwari: Menang Tanpa Bersaing | Korporatisasi
Ping-balik: Jamaah Shalahuddin | Korporatisasi