Entrepreneur dalam era korporasi artinya adalah para pendiri dan direktur utama perusahaan yang didirikannya. Para founder dan CEO. Orang yang dengan inovasi dan keberaniannya mendirikan sebuah perusahaan. Lalu bekerja keras membanting tulang sebagai CEO untuk memastikan perusahaan yang didirikannya eksis membesar memberi manfaat kepada masyarakat luas tanpa sekat suku, agama atau bangsa. Maka, seorang entrepreneur bukan sekedar berjualan. Tidak sekedar berdagang. Tidak sekedar mencari kekayaan.
Maka, dibutuhkan ilmu yang cukup. Ilmu apa? Tentu saja ilmu yang berhubungan dengan korporasi. Ilmu hukum, akuntansi, pajak, marketing, SDM, manajemen risiko, manajemen produksi, internet marketing, dasar-dasar eknomi makro…dan masih banyak lagi. Banyak buku ataupun tulisan tentang ilmu-ilmu itu. Tinggal dibaca dan praktekkan dalam mengelola korporasi.
Tap ada satu ilmu super peinting yang dilupakan: sejarah korporasi. Pendiri perusahaan itu kedudukannya seperti seorang pendiri negara. Seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Tidak ada pendiri negara yang tidak getol belajar sejarah. Tentu saja sejarah negara. Maka, mestinya tidak ada pendiri korporasi yang tidak getol belajar sejarah korporasi. Sejarah negara berfungsi sebagai referensi dan benchmark dalam mendirikan dan mengelola sebuah negara. Sejarah korporasi berfungsi sebagai referensi dan benchmark dalam mendirikan dan mengelola sebuah korporasi.
Sejarah adalah studi tentang masa lalu. Selama ini obyeknya bisa dikatakan selalu institusi negara. Bahkan studi tentang masa lalu seseorang atau individu diberi sebutan sendiri. Biografi.
Obyek sejarah yang hanya berupa institusi negara itu tidak terpisahkan dari peran sentral negara dalam kehidupan masa lalu. Tetapi peran itu terus berkurang dari waktu ke waktu. Dahulu penanda sejarah adalah hasil karya negara. Piramida di Mesir atau Borobudur di Indonesia misalnya. Tapi kini komputer, internet, media sosial, mobil dan penanda-penanda sejarah lain merupakan hasil karya korporasi.
Nah, bicara sejarah adalah bicara penanda sejarah. Bicara penanda sejarah modern mestinya adalah bicara korporasi. Tapi malang sekali, sejarah korporasi sebagai kreator penanda sejarah tidak diajarkan di sekolah. Bahkan pelajaran sejarah keseluruhan pun ada wacana untuk dihapus. Haruskah kita buta sejarah? Haruskah kita tetap buta sejarah korporasi?
Selama ini kita sudah buta sejarah korporasi. Akibatnya sangat fatal. Paling tidak ada lima akibat buta sejarah korporasi. Pertama, karena sejarah korporasi tidak diajarkan di sekolah-sekolah, kita jadi tidak sadar bahwa penanda sejarah era modern yang sekarang kita nikmati adalah hasil kaya korporasi. Tidak sadar bawa korporasi memiliki peran luar biasa besar dalam kehidupan kita. Tulisan ini tidak bisa Anda baca tanpa peran korporasi.
Akibat kedua, di negeri kita tidak terbentuk korporasi besar yang mampu membuat penanda sejarah. Mobil, gadged, laptop, android, googlemap, pesawat terbang, alat berat, bahkan produk lifestyle seperti McDonald, KFC, Starbucks dan sebagainya diproduksi oleh orang lain. Kita hanya menjadi bangsa konsumen. Tidak tahu bahwa bangsa produsen itu terbentuk melalui korporasi. Tidak faham bagaimana membentuk korporasi besar sampai pada stage ke 8 pada corporate life cycle.
Ketiga, sulitnya terjadi merger dan akuisisi. Padahal kalau mempelajari sejarahnya, korporasi besar seperti Unilever atau Danone misalnya adalah hasil dari proses merger dan akuisisi panjang berbagai perusahaan.
Merger dan akuisisi sulit dilakukan di negeri ini karena ketidakmampuan membedakan antara aset korporasi dengan aset pemegang saham. Apa yang terjadi pada saat debat kandidat presiden tahun 2019 lalu bisa menjadi gambaran. Saat itu Capres Jokowi menyatakan bahwa Capres Prabowo memiliki lahan seluas 220 ribu hektar di Kalimantan Timur dan 120 ribu hektar di Aceh Tengah. Pernyataan ini terjadi tentu karena Capres Jokowi tidak membedakan antara aset Capres Prabowo sebagai pemegang saham dengan aset perusahan yang sahamnya dipegang oleh Capres Prabowo. Sebuah pernyataan yang tidak sesuai dengan undang-Undang PT.
Dalam debat itu capres Prabowo menanggapi bahwa memang benar ia memiliki aset ini tetapi sewaktu waktu akan mengembalikan lahan ini kepada negara jika negara membutuhkan. Jawaban ini juga menunjukkan bahwa Capres Prabowo juga tidak membedakan antara aset dirinya sebagai pribadi dan aset perusahaan yang sahamnya dipegang sebagai badan hukum PT. Sebuah tanggapan yang juga tidak sesuai dengan Undang Undang PT
Jika Capres Prabowo mengikuti Undang Undang PT, tanggapannya kurang lebih akan begini “Pak Jokowi sekarang kan masih Presiden. Silahkan Bapak cek kepada kepala BPN atau kepada Dirjen Pajak karena tanah yang Bapak Maksud sudah bersertifikat BPN dan semua sudah dilaporkan dalam SPT. Dan saya jamin, pernyataan Bapak itu salah total. Saya sama sekali tidak memiliki tanah itu”
Setelah debat itu, Wapres JK menanggapi bahwa memang benar Prabowo memiliki lahan itu. Tetapi proses kepemilikannya dilakukan secara legal formal dan sah. Proses kepemilikan itu berada dalam koordinasi nya dalam pemerintahan. Tanggapan Wapres JK ini juga setali tiga uang. Tidak sesuai dengan Undang-Undang PT. Tidak mampu bisa membedakan antara aset korporasi dengan aset para pemegang sahamnya.
Merger dan akuisisi akan mudah jika masyarakat bisa membedakan aset korporasi dengan aset pemegang sahamnya. Merger dan akuisisi sama sekali tidak mengurangi aset pemegang saham yang berupa lembaran saham dengan nilai pasarnya. Yang terjadi justru ada efisiensi dan nilai tambah dari hasil merger dan akuisisi sehingga nilai dan hak laba atau ROI bagi si pemegang saham justru meningkat.
Merger dan akuisisi adalah cara konsolidasi kekuatan ekonomi nasional. Jika belajar dan menghayati sejarah Unilever misalnya, Infofood, Indofood CPB, Mayora, Ultrajaya, Grup Orang Tua, dan Wings misalnya akan merger menjadi sebuah perusahaan FMCG besar dan berekspansi ke berbagai negara. Seperti Unilever. Jika mempelajari sejarah Citibank misalnya, Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, BCA, dan semua bank akan merger menjadi satu bank nasional yang asetnya sekitar Rp 8 ribu triliun. Dan sebagainya.
Keempat, tidak muncul masyarakt berbudauya investasi alias investing society. Adanya justru masyarakat berbudaya utang. Jika punya iddle money diutangkan melalui deposito dan tabungan perbankan. Jika butuh uang untuk ekspansi usaha utang. Akibatnya bunga bank pun selangit.
Dalam investing society, investment company lebih berkembang dari pada bank komersial. Seperti di USA yang aset investment company terbesarnya yaitu BlackRock adalah senilai USD 7,4 triliun alias sekitar Rp 110 ribu triliun. Jauh lebih besar dari aset Citibank misalnya yang hanya sekitar Rp 12 ribu triliun. Bandingkan dengan investment company terkemuka di negeri ini yaitu Saratoga yang sekitar Rp 24 triliun. Jauh lebih kecil dari aset Bank Mandiri misalnya yang lebih dari Rp 1300 triliun. Investing society adalah darah bagi munculnya korporasi penanda sejarah.
Kelima, tercerabutnya riset dari korporasi sebagai akarnya. Ketika mempelajari Thomas Edison misalnya, anak anak kita tidak pernah tahu bahwa temuan bola lampu listrik itu adalah bagian dari riset General Electric. Posisi Edison adalah founder dan CEO General Electric, perusahaan yang juga memiliki pabrik di Indonesia.
Mestinya, anak anak belajar tentang sejarah General Electric. Belajar tentang bagaimana Thomas Edison mendirikannya. Belajar tentang bagaimana Generals Electric membangun lab dan kapasitas riset beserta sumber pembiayaannya. Anak-anak SMA yang sudah ada mata pelajaran akuntansi mempelajari sejarah General Electric sampai pada bab laporan keuangan perusahaan teknologi terkemuka hingga saat ini itu.

Saat waktunya wisata, anak anak dibimbing oleh para guru mengunjungi pabrik General Electric di Surabaya sebagai sebuah situs sejarah lintas abad yang masih berproduksi. Jadilah anak anak-akan belajar membangun korporasi besar seperti General Electric.
&&&
Itulah lima akibat buta sejarah korporasi. Sangat merugikan. Membuat kita lemah di ekonomi. Menjadi bangsa konsumen. Menjadi bangsa penonton. Menjadi bangsa pembantu rumah tangga di berbagai negara. Maka, pelajaran sejarah sangat dibutuhkan oleh para pendiri perusahaan. Juga oleh masyarakat luas. Karena pendiri perusahaan tidak bisa bekerja sendiri. Butuh enam pilar untuk membangun ekosistem yang mendukung tumbuhnya korporasi penanda sejarah.

SNF Consulting telah merumuskan konsep Corporate Life Cycle sebagai hasil pembelajaran sejarah korporasi. Silakan palajarinya dengan serius. SNF Consulting juga telah menyediakan KELAS KORPORATISASI bagi para entrepreneur, founder, CEO, direksi, komisaris dan pemegang saham. Pastikan Anda sudah belajar sejarah korporasi secara serius.
Klik untuk bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Klik untuk cek jadwal terdekat Kelas Korporatisasi
Baca Juga
Sejarah Korporasi Raket Yonex
Sejarah Heinekken Hadir di Indonesia
Sejarah Revlon dan Kepailitannya
Sejarah Korporasi
Sejarah Lions Club
Sejarah Hyundai versus Astra
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Sejarah Danone Dari Turki Usmani Hadir ke Indonesia
Sejarah Tesla
Sejarah VC
Sejarah kepailitan startup
Glorifikasi IPO Kioson
IPO Bukalapak Prospektif atau Buang Uang
Kepailitan Startup OFO Bike Hiring
Tesla Laba Setelah 16 Tahun Rugi
Corporate Life Cycle dalam Merger GoTo
Valuasi Merger Gojek Tokopedia
Sequoia VC Sejati
*)Artikel ke-291 ini ditulis pada tanggal 24 September 2020 oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting.
Terimakasih kepada Mas Iman dengan tulisan ini.Benar adanya generasi muda kita jaman now menganggap tidak perlu belajar sejarah ,belakang ada wacana penghapusan pelajaran Sejarah untuk beberapa strata pendidikan.
Berharap Mas Iman trus menulis untuk memberikan pencerahan wawasan buat yg masih peduli.Salam Hormat.
terimakasih apresiasinya. Doakan terus sehat dan produktif menulis tiap hari sampai akhir hayat
Ping-balik: Tesla: Laba Setelah 16 Tahun Rugi | Korporatisasi
Ping-balik: Alfamart Vs. Sari Roti: Adu Kuat, Bukan Hulu Hilir | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Bata: Kalibata Bataville Batanagar | Korporatisasi
Ping-balik: Merger & Akuisisi: Transaksi RPD | Korporatisasi
Ping-balik: Chiquita: Sejarah Korporasi Pisang | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi Sepak Bola: Bali United | Korporatisasi
Ping-balik: Kalsiboard : Belgia….. | Korporatisasi
Ping-balik: Embraer: “PT DI” Dari Brazil | Korporatisasi
Ping-balik: Mitra Keluarga Menyalip Siloam: Modal Murah 2% Per Tahun | Korporatisasi
Ping-balik: Pejuang Dulu Pejuang Kini: Samudera Indonesia | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais | Korporatisasi
Ping-balik: Khao San Road: 7 Pagi 11 Malam | Korporatisasi
Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi
Ping-balik: Sepuluh Ribu Jam Terbang | Korporatisasi
Ping-balik: Cessna 208 B: Tanjung Selor-Tarakan | Korporatisasi
Ping-balik: Royalti Unilever: Gool Balasan | Korporatisasi
Ping-balik: Manfaat Bagi Sesama: 4 Ukuran Perusahaan | Korporatisasi
Ping-balik: Roto Rooter: Korporasi Raja Mampet | Korporatisasi
Ping-balik: ThyssenKrupp Cakra Nanggala | Korporatisasi
Ping-balik: Manokwari: Menang Tanpa Bersaing | Korporatisasi
Ping-balik: Jamaah Shalahuddin | Korporatisasi
Ping-balik: Biaya Belajar atau Biaya Kebodohan: Pilih Mana? | Korporatisasi
Ping-balik: Bankziziska Grameen | Korporatisasi
Ping-balik: Bankziska Grameen | Korporatisasi
Ping-balik: AACo dan Sapi Kurban | Korporatisasi