Tahun 2020 adalah saat yang membahagiakan bagi Tesla Inc. Membahagiakan karena pada usianya yang ke 17 ini prinsipal mobil listrik ini telah meraih labanya. Sebelumnya perusahaan yang dipimpin Elon Musk ini terus merugi. Sejak berdiri tahun 2003 sampai 2019.
Laporan tahunan yang diterbitkan untuk otoritas bursa menyebutkan omzetnya sebesar USD 31,54 miliar alias Rp 457,50 triliun. Pendapatan itu naik 28% dibandingkan tahun 2019 yang sebesar USD 24,58 miliar alias Rp 356,56 triliun. Pendapatan Tesla justru meroket ketika kondisi dunia sedang dilanda pandemi. Bersinar saat yang lain meredup. Bahkan pertumbuhannya jauh melampaui pertumbuhan tahun sebelumnya yang hanya 15%.

Dengan pertumbuhan tersebut, tahun 2020 Tesla memperoleh laba USD 721 juta alias Rp 10,46 triliun. Tahun sebelumnya masih menderita rugi USD 862 juta alias Rp 12,51 triliun. Dua tahun sebelumnya juga masih rugi USD 976 juta.
Tesla sangat menarik untuk menjadi pelajaran bagi para pelaku bisnis. Bagi para pendiri perusahaan. Bagi para direksi dan komisaris. Bagi para entrepreneur. Dan tentu juga bagi pare investor. Pelajaran yang sangat berharga dalam proses korporatisasi. Pelajaran apa saja? Saya akan menuliskannya dengan kerangka corporate life cycle (CLC) dalam bentuk poin-poin.
- Sepanjang sejarahnya, Tesla memang terus merugi sampai tahun 2019. Dalam kerangka CLC sampai dengan tahun tersebut Tesla telah melalui 2 tahapan yaitu berdiri (tahap pertama), rugi (tahap kedua). Dua tahapan pertama CLC ini ditempuh Tesla dalam waktu 16 tahun. Sebuah masa yang tidak singkat.
- Perusahaan awalnya didirikan oleh Martin Eberhard dan Marc Tarpenning. Ketika mengalami kekurangan sumber daya untuk kelangsungan hidupnya, masuklah 3 cofounder yaitu Ian Wright, J. B. Straubel, dan Elon Musk. Pelajarannya, pendiri (founder) sebuah perusahaan mesti mengajak cofounder untuk menambah nafas dalam menghadapi kondisi rugi dan belum bisa menarik minat investor. Cofounder adalah orang yang berkarakter entrepreneur. Bukan investor.
- Cofounder menolong kelangsungan hidup perusahaan dengan memasukkan keahlian dan uang. Uang ini memang tidak sebanyak dibanding yang datang dari investment company (IC). Elon Musk misalnya masuk dengan dana yang ketika itu terbilang cukup besar yaitu USD 6,5 juta. Tidak banyak dibanding dana yang masuk dari IC yang datang berikutnya. Tetapi cukup untuk menambah kekuatan. Menambah nafas.
- Setelah itu perusahaan harus mampu menarik masuknya dana dari IC. Biasanya tidak bisa langsung. Tetapi dengan melalui bantuan tangan dingin venture capitalist (VC). Sequoia adalah VC tersohor yang membantu banyak sekali perusahaan startup seperti Gojek di Indonesia. Apakah Tesla juga diasuh VC seperti Sequoia? Ternyata tidak. Tesla memiliki Elon Musk sebagai kepala pasukan. Musk telah berpengalaman menjadi CEO perusahaan start up lain sebelum akhirnya memimpin Tesla.
- Dengan keberadaan Elon Musk, Tesla terus-menerus menerbitkan saham dengan target dibeli oleh IC. Jika perusahaan minimarket harus memiliki minimal sekian gerai untuk laba, Tesla pun demikian. Harus memiliki sekian model mobil untuk laba. Bagi Tesla, model mobil adalah seperti gerai bagi perusahaan minimarket. Dibutuhkan “gerai” yang cukup untuk berada pada step ketiga dalam CLC yaitu break event point (BEP). Saat di mana perusahaan mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menanggung seluruh beban-bebannya.
- Tahapan keempat CLC yaitu laba dicapai Tesla tahun 2020. Dengan demikian tahap ketiga yaitu BEP telah terlewati. Perusahaan sudah mencapai laba. Dengan ekuitas USD 22,225 miliar maka ROE Tesla adalah 3,3 %. ROE ini penting sekali sebagai bagi perusahaan. Inilah yang akan memberi ruang kepada Tesla untuk menjual intangible assetnya melalui penerbitan saham baru.
- Sampai tahapan laba ini Tesla telah berkali-kali menerbitkan saham baru untuk membiayai empat “gerai” -nya. Membiayai proses desain, membangun fasilitas produksi, membayar gaji pegawai, dan sebagainya sampai model-model tersebut bisa dijual di pasar. Tahun 2020 misalnya Tesla menerbitkan saham dan mendapatkan dana sebesar USD 12,269 miliar alias IDR 178,83A triliun. Angka ini adalah 17 kali labanya. Jauh lebih besar dari labanya. Tahun 2019 Tesla juga menerbitkan saham baru dan mendapatkan dana USD 848 juta alias Rp 12,38 triliun.
- Mengapa masih rugi tetap bisa mendatangkan investor? Perlu dipahami bahwa investornya adalah IC yang memang dituntut untuk masuk pada perusahaan-perusahaan startup sebagai salah satu portofolionya. Umumnya, IC mengalokasikan sekitar 1% dari aset kelolaannya untuk masuk pada perusahaan startup melalui pintu ekuitas.
- Penerbitan saham secara terus-menerus yang diserap investor inilah yang menjadikan Tesla bertahan selama 16 tahun dalam kondisi rugi. Bukan sekedar bertahan tetapi juga terus-menerus membangun “gerai” berupa model mobil.
- RPD bagi Tesla adalah model mobil. Sampai tahun 2020 ada Model S, Model 3, Model X, model Y, sebagai RPD Tesla. Laba dengan ROE sebagaimana di atas menunjukkan bahwa Tesla telah menemukan rumus umum untuk berinvestasi membangun “gerai” berupa model baru. Model kelima yaitu Cybertruck sudah diluncurkan tahun 2020 dan tahun tersebut Tesla laba. Artinya, empat model yang ada sudah mampu menjadi landasan bagi Tesla untuk meluncurkan model baru dan tetap laba. Ini adalah pertanda bahwa Tesla telah menemukan RPD dengan tingkat kegagalan yang bisa dikelola. Tingkat kegagalan yang rendah. Inilah tanda step kelima pada CLC. Tahapan RPD.
- Step keenam adalah scale up. Tandanya adalah berinvestasi dengan dana jauh lebih besar dari labanya. Pada laporan arus kas tahun 2020, Tesla menggelontorkan dana tunia untuk investasi sebesar USD 3,132 miliar alias Rp 45,65 triliun. Belanja investasi itu adalah 4,34 kali laba. Ini menunjukkan bahwa Tesla telah melakukan scale up pada tahun 2020. Belanja modalnya hampir 5x laba sebagai syarat sebuah scale up, tahapan keenam dalam CLC.
- Tesla menutup tahun 2020 dengan jumlah 70 757 karyawan di berbagai negara. Dengan jumlah ini Tesla sudah cukup ruangan untuk menyusun jumlah level jabatan sedemikian hingga gap antara levelnya menjadi rendah. Artinya, Tesla tahun 2020 juga telah berada pada tahapan ketujuh CLC yaitu memiliki sistem manajemen.
- Step kedelapan adalah fully corporatized company. Tandanya ada dua. Pertama adalah tidak adanya pemegang saham pengendali. Mari kita cek daftar pemegang saham Tesla. Menurut Marketscreener, pemegang terbesar adalah Elon Musk dengan 17,8%. Kedua adalah Vanguard dengan 5,67%. Ketiga dan seterusnya presentasinya lebih kecil-kecil. Dengan demikian Tesla sudah tidak ada pemegang saham kendali. Memenuhi syarat pertama step kedelapan dalam CLC.
- Tanda kedua dari step kedelapan CLC adalah menguasai pasar dunia. Paling tidak 100 negara. Produk tesla telah bisa dibeli oleh konsumen berbagai negara. Maka walaupun mungkin belum sempurna, step kedelapan CLC telah dicapai.

Demikianlah Tesla. Butuh waktu 18 tahun untuk menapaki 8 tahapan dalam CLC. CLC adalah kerangka yang dibutuhkan bagi para entrepreneur yang memasuki dunia bisnis bukan sekedar untuk mencari utang. Bukan sekedar kaya. Tetapi dengan visi besar membangun sebuah korporasi penanda sejarah. Membangun kemanfaatan bagi sesama tanpa pandang sekat-sekat negara, agama, etnis atau apa pun. Dengan niat ikhlas untuk-Nya semata, semua itu adalah sebuah amal jariah yang pahala dan manfaatnya terus mengalir sampai kapan pun. Perusahaan Anda sudah bervisi besar? Sudah bervisi korporasi? Perusahaan Anda sudah berada pada tahapan ke berapa? Moga sukses!
Tulisan ke-323 Iman Supriyono ini ditulis di dalam kabin pesawat Airbus 320 dalam perjalanan dari Surabaya ke Palembang pada tanggal 8-9 April 2020.
Diskusi strategi dan sejarah korporasi dengan lebih mendalam? Gabung Grup Telegram atau Grup WA Korporatisasi yang dikelola oleh SNF Consulting
Baca Juga:
Kepailitan Perusahaan Startup
Korporatisasi Apa dan Bagaimana
Korporatisasi Langkah Demi Langkah
Corporate Life Cycle
Investment Company Versus Operating Company
Perusahaan Dakwah Dengan Korporatisasi
Ping-balik: IPO Bukalapak: Prospektif atau Buang Uang? | Korporatisasi
Ping-balik: Entrepreneur CEO Komisaris, Amankan Uang Investor! | Korporatisasi
Ping-balik: Glorifikasi IPO Kioson: Lunglai Dalam Badai | Korporatisasi
Ping-balik: ARA ARB Bukalapak: Anda Penjudi atau Investor? | Korporatisasi
Ping-balik: Bank Jago Melangit: Karena Kinerja? | Korporatisasi
Ping-balik: Korporatisasi Di Luar Lantai Bursa | Korporatisasi
Ping-balik: Buta Sejarah Korporasi: Bisnis Sekedar Berjualan | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Korporasi: Ilmu Wajib Para Founder CEO Entrepreneur | Korporatisasi
Ping-balik: Bentoel Delisting Saat Marak IPO, Mengapa? | Korporatisasi
Ping-balik: Sodexo: Catering Olympiade Bisa! | Korporatisasi
Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi
Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi
Ping-balik: Pertaruhan Hidup Mati Goto | Korporatisasi
Ping-balik: Iklan Holywings: Salah Karyawan atau Direksi? | Korporatisasi
Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi
Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi
Ping-balik: PKPU & Kepailitan: DPUM | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi