IPO Bukalapak: Prospektif atau Buang Uang?


Bukalapak IPO. Menarik sekali. Selama ini start up aplikasi seperti ini selalu jadi misteri. Bagaimana prospeknya? Bagaimana risikonya? Bagaimana bisa muncul value yang besar? Tidak ada angka yang bisa dibaca, disimpulkan dan diambil pelajaran. Maka, diskusi diskusi yang ada cenderung tidak berbasis data. Hanya prasangka.

IPO Bukalapak menjadikan semuanya jadi clear. Bagaimana prospeknya? Bagaimana risikonya? Perusahaan rugi bisa bernilai besar, bagaimana intangible assetnya? Amankah membeli sahamnya? Prospektif atau buang uang? Mari kita cermati. Saya akan menuliskannya dengan format poin-poin.

  1. Dalam IPO ini Bukalapak, selanjutnya disebut BL, akan menerbitkan  25.765.504.851 lembar saham dengan nilai nominal (par value, PV) per lembar saham Rp 50. Degan demikian PV atas seluruh saham yang akan diterbitkan ini adalah Rp 1,29 triliun. Saham tersebut ditawarkan dengan harga Rp 750 sampai dengan Rp 850 per lembar. Dengan demikian nilai pasar (market value, MV) dari lembar saham IPO itu adalah antara Rp 19,32 triliun hingga Rp 21,90 triliun.
  2. Jumlah lembar saham yang akan diterbitkan melalui IP tersebut adalah 25% dari total saham (dihitung dari total jumlah saham setelah penerbitan saham tersebut). Dengan demikian PV setelah penerbitan saham adalah 4 kali Rp 1,29 triliun yaitu Rp 5,15 triliun (dengan pembulatan). MV setelah penerbitan saham adalah 4 kali Rp 19,32 triliun sampai 4 kali Rp 21,90 triliun yaitu Rp 77,30 triliun sampai dengan Rp 87,60 triliun.
  3. Sebelum IPO, nilai ekuitas (alias book value, BV) keseluruhan perusahaan adalah Rp 1,71 triliun. Dengan jumlah lembar saham sebagaimana tersebut maka BV per lembar saham adalah Rp 22. Nilai inilah yang mestinya dibayar oleh pemegang saham baru jika hanya didasarkan pada aset yang dimiliki perusahaan yang dicatat secara historis melalui akuntansi. Dibanding dengan PV saja setiap pemegang saham baru langsung harus menanggung akumulasi rugi Rp 50 dikurangi Rp 22 yaitu Rp 28  per lembar saham.
  4. Padahal sesuai rencana, saham ditawarkan dengan harga Rp 750 sampai Rp 850 per lembar. Dengan demikian pemegang saham baru harus membayar intangible aset sebesar antara Rp 728 sampai Rp 828 per lembar saham. Jika seluruh saham yang ditawarkan nanti terjual, maka para pemegang saham baru secara keseluruhan harus membayar intangible asset perusahaan antara Rp 18,8 hingga Rp 21,3 triliun. Angka tersebut masing-masing untuk harga saham Rp 750 dan Rp 850.
  5. Pendapatan perusahaan pada tahun 2020 adalah Rp 1,35 triliun. Naik 25% dari tahun 2019 yang 1,08 triliun. Tahun 2019 pun naik drastis 370% dari tahun sebelumnya yang Rp 292 miliar. Tahun 2021 pertumbuhan masih berlanjut. Hingga Maret (unaudited) pendapatannya adalah Rp 424 miliar alias naik 32% dari tahun sebelumnya Rp 320 miliar. Pertumbuhan omzet adalah penanda positif.
  6. Sampai saat ini, omzet sebagaimana di atas tidak cukup untuk menanggung seluruh beban perusahaan. Akibatnya, tahun 2020 perusahaan menderita rugi Rp 1,35 triliun. Rugi tersebut membaik dari pada rugi tahun 2019 yang Rp 2,80 triliun. Bahkan juga lebih baik dari rugi tahun 2018 yang Rp 2,24 triliun.
  7. Untuk tahun 2021 ini, sampai Maret perusahaan mencatatkan rugi sebesar Rp 324 miliar. Kerugian itu membaik tipis dari kerugian periode yang sama tahun sebelumnya yang Rp 393 miliar.  Jika diasumsikan 3 triwulan tahun 2021 yang masih tersia perusahaan mengalami kerugian yang sama dengan triwulan pertama maka kerugian setahun akan menjadi Rp 1,30 triliun. Membaik dari tahun sebelumnya tetapi perbaikannya tipis sekali.
  8. Kerugian yang terus dialami ini mengakibatkan akumulasi kerugian perusahaan yang berdiri tahun 2010 sampai akhir Maret 2021 adalah Rp 7,98 triliun. Nilai BV yang sebesar Rp 1,71 triliun sebagaimana disebut di atas berasal dari total modal disetor Rp 2,78 triliun dan agio saham (tambahan modal disetor) sebesar Rp 6,77 triliun setelah digerogoti oleh akumulasi kerugian tersebut.
  9. Pertanyaannya, bagaimana perusahaan ke depan? Dalam kerangka corporate life cycle (CLC), hingga tahun kesebelas kehidupannya masih berada pad step kedua yaitu rugi. Masih ada 6 step lagi yang harus dilalui perusahaan untuk menjadi sebuah korporasi modern. Enam step itu adalah break event point, laba, revenue and profit driver (RPD), scale up, sistem manajemen dan fully corporatized company.
  10. Apa risiko untuk melalui 6 step tersebut? Mari kita cermati. Paling tidak ada tiga risiko.  Risiko pertama, sebagaimana sebuah start up pada umumnya, adalah kepailitan. Ini adalah risiko terbesar.  Kapan itu terjadi? Ketika perusahaan tidak mampu membayar kewajibannya sesuai dengan komitmen baik kepada karyawan maupun kepada kreditur. Penyebabnya adalah rugi dalam jangka panjang dan tidak ada lagi investor yang mau membeli ketika perusahaan menerbitkan saham baru.  Pada batas tertentu kreditur seperti ini bisa menggugat pailit. Seperti kasus pailitnya OFO di Tiongkok.
  11. IPO BL ini akan menghasilkan dana sekitar Rp 20 triliun. Dana itu setara dengan 15 kali kerugian tahun 2020. Artinya, jika IPO ini berhasil dan dalam 15 tahun ke depan BL masih terus menderita kerugian seperti pada tahun 2020 maka perusahaan masih bisa hidup. Tampaknya cukup aman. Tesla butuh waktu 17 tahun sejak berdiri untuk mencapai laba. BL harus bekerja keras untuk bisa mencapai laba lebih cepat dari pada Tesla. Tapi pertanyaannya, apakah ada jaminan terhadap hal itu? Tentu tidak ada yang bisa menjamin. Bahkan sekeder peredam risiko pun tidak ada. Peredam risiko hanya dimiliki oleh perusahaan yang paling tidak telah berada pada step ke 6 dalam CLC.
  12. Risiko kedua adalah fluktuasi harga saham di pasar sekunder. Pasar sekunder adalah pasar jual beli saham antara para investor di lantai bursa. Fluktuasi ini sebenarnya tidak masalah bagi BL jika perusahaan ini tidak ada rencana penerbitan saham baru. Tapi posisi perusahaan yang masih berada pada step kedua CLC ini menjadikan penerbitan saham baru akan terus menerus menjadi kebutuhan perusahaan sampai mencapai step kedelapan.
  13. Saat sebelum IPO, jika butuh menerbitkan saham baru untuk menambah modal, harga sepenuhnya dalam kontrol manajemen. Memang, perusahaan dituntut agar setiap menerbitkan saham harga jualnya harus lebih tinggi dari pada harga sebelumnya. Dengan demikian maka akan berdampak positif terhadap book value. Juga terhadap nilai saham investor sebelumnya.
  14. Sebelum IPO, Kontrol harga ini sepenuhnya berada di tangan perusahaan. Perusahaan memiliki kekuatan negosiasi dengan calon investor tanpa ada referensi harga di pasar sekunder di lantai bursa. Tapi, begitu IPO, otomatis akan terbentuk harga di pasar sekunder.  Begitu harga di pasar sekunder lebih rendah dari pada harga penerbitan saham terakhir, maka perusahaan akan sangat berat untuk bisa melakukan penerbitan saham baru. Merugikan book value. Juga merugikan investor yang telah membeli saham pada penerbitan saham sebelumnya. Jika risiko kedua ini terjadi dalam jangka panjang perusahaan bisa tergelincir pada risiko pertama.
  15. Risiko kedua ini sebenarnya bisa diamankan jika perusahaan telah memiliki value yang besar. Ibaratnya masuk samudera atlantik dengan kapal dengan kapal pesiar besar. Tepat sekali ketika Goto merger dan belum IPO. Nanti ketika IPO ukurannya sudah sekelas “kapal pesir”. Ukuran BL saat ini sebagaiman disebut di atas baru sekelas “kapal very”. Jadi belum aman.
  16. Risiko ketiga adalah memburuknya kinerja penjualan dan laba. Sebagaimana pembahasan di atas, sejauh ini tren penjualan laba masih bagus. Terus tumbuh. Tapi tidak ada yang bisa menjamin karena kinerja ini sangat dipengaruhi oleh persaingan. “Bakar uang” yang dilakukan oleh pesaing utama akan sangat mengganggunya. Apalagi Tokopedia misalnya yang merger dengan Gojek menjadi Goto akan makin kuat. Kuat juga dalam kemampuan pendanaan dengan cost of capital yang lebih rendah. Maka kinerja penjualan dan laba BL menghadapi risiko besar.
  17. Memburuknya kinerja penjualan dan laba sebenarnya bisa diatasi. Ada peredamnya yaitu berupa platform sejenis yang sudah menghasilkan uang. Contohnya adalah ketika misalnya kinerja pendapatan Whatsapp sebagai sebuah platform menurun. Peredamnya adalah Facebook dan Instagram yang telah menghasilkan uang. Ini penting karena RPD bagi sebuah perusahaan aplikasi internet adalah platform. Sayangnya BL adalah platform pertama bagi perusahaan dan belum menghasilkan uang. Maka, tidak ada peredam ketika terjadi penurunan kinerja pendapatan dan laba. Jika berlarut-larut, ini dapat menjadi pemicu terjadinya risiko pertama tadi.
  18. Masih ada risiko-risiko lain. Tetapi tiga itu adalah yang paling krusial. Calon investor harus memahami dan memitigasinya sebelum membeli saham IPO BL. Apakah itu artinya membeli saham IPO BL adalah sesuatu yang berbahaya bagi setiap investor? Tidak semua. Ada investor yang sudah sangat aman untuk melakukannya. Bahkan bisa memutuskannya dengan terpejam mata. Merem. Siapa itu?  Tidak lain adalah investor yang dananya besar dengan portofolio standar sebuah investment company. Bisa juga pengelola dana wakaf (nazir) yang dananya besar dengan portofolio standar sebuah pengelola dana wakaf. Cirinya, dari total aset yang dimiliki atau dikelolanya, sebesar 99% telah ditanamkan pada aset yang aman. Sekitar 20% ditanamkan pada aset jangka panjang berupa properti sewaan atau sejenisnya. Sekitar 30% ditanamkan pada fixed income aset yaitu obligasi, sukuk atau deposito. Sekitar 49% ditanamkan pada saham perusahaan yang telah mapan yaitu yang telah mencapai tahapan keenam pada CLC. Tahapan scale up. Sisanya yaitu sekitar 1% ditanamkan pada start up yang belum mencapai step kelima dalam CLC.
Wakaf korporat adalah pedang bermata dua. Menyelesaikan masalah sosial secara berkelanjutan sekaligus menumbuhkan bisnis. Membangun perusahaan dakwah. Nazir adalah sebuah model bisnis bagi para social entrepreneur. Butuh para founder untuk mengambil kesempatan ini. Bagaimana A to Z nya? Ayo masuk kelasnya. Full day full interactive for 15 pax only. Info dan pendaftaran http://www.klikwa.net/snfconsulting

Pada perusahaan investasi atau nazir seperti ini, rata-rata ROI adalah sekitar 10%. Maka jika 1% yang ditanamkan pada perusahaan start up pailit dan hilang sama sekali, perusahaan hanya akan mengalami penurunan ROI dari 10% menjadi 9%. Masih sangat aman. itu pun yang 1% tidak ditaruh pada satu startup. Tetapi diinvestasikan pada puluhan bahkan ratusan start up. Perusahaan investasi yang masuk kategori ini misalnya adalah BlackRock. Aset kelolaannya adalah USD 7,4 triliun alias sekitar Rp 130 ribu triliun. Alokasi 1% dari aset artinya adalah Rp 1300 triliun. Tentu mudah untuk menyebar pada ratusan start up di berbagai negara. Tidak mungkin semua start up pailit. Jadi sangat-sangat aman

Anda investor perorangan, investment company atau nazir? Sudah memahami risiko diatas? Sudah memitigasinya? Jika sudah, selamat untuk Anda. Ada peluang sangat bagus untuk masuk sebagai pemegang saham BL. Tapi jika belum, pikirkan kembali untuk melakukannya. Salam cuan!

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI

Baca juga:
Wakaf Modern Untuk Keabadian Amal dan Kemerdekaan Ekonomi
Bakar Uang dan Pailit Startup

Artikel ke-339 karya Iman Supriyono ini ditulis di SNF Consulting House of Management, Surabaya, pada tanggal 11 Juli 2021

3 responses to “IPO Bukalapak: Prospektif atau Buang Uang?

  1. Analisa yang pas buat IPO BL. Thanks

  2. Ping-balik: ARA ARB Bukalapak: Anda Penjudi atau Investor? | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s