PT Sari Kreasi Boga (RAFI) sedang dalam proses IPO di Bursa Efek Indonesia. Ada antusiasme menyambutnya. Bagaimana prospek bisnis RAFI? Tepatkah IPO ini dalam kerangka strategi perusahaan? Bagaimana prospek bisnisnya ke depan? Mampukah RAFI menggunakan dana IPO untuk meningkatkan kinerja perusahaan? Layakkah sahamnya dikoleksi oleh investor? Saya akan membahasnya dalam bentuk poin-poin. Selamat menikmati.

- Paling tidak ada lima isu stratejik pada IPO RAFI Ini. Pertama adalah isu kemampuan perusahaan memutar uang menjadi uang. Laba bersih tahun berjalan RAFI 2019 Rp 4,5 miliar, tahun 2020 Rp 5,5 miliar, dan Rp 14,2 miliar untuk tahun 2021. Tapi aru kas dari operasional minus dalam 3 tahun terakhir. Tahun 2019 minus Rp 1,6 miliar, 2020 minus Rp 1,8 miliar, tahun 2021 minus Rp 10,8 miliar. Artinya, kemampuan RAFI mengubah uang menjadi uang kembali masih belum terbukti pada tiga tahun terakhir.
- Hanya ada dua poin signifikan dari arus kas untuk investasi dan dari pendanaan sepanjang 3 tahun terakhir RAFI. Tahun 2021 ada kas untuk investasi Rp 6,2 miliar. Tahun 2021 ada modal setor baru senilai Rp 18 miliar. Dengan angka-angka di atas dapat dinilai bahwa sepanjang tiga tahun terakhir RAFI belum menunjukkan hubungan linier antara pertumbuhan aset, pertumbuhan omzet dan pertumbuhan laba. Belum adanya hubungan linier ini menunjukkan bahwa RAFI belum kokoh dalam revenue and profit driver (RPD). Belum kokohnya RPD bermakna bahwa perusahaan belum terbukti mampu mengonversi pertambahan aset menjadi pertambahan omzet dan pertambahan laba secara linier. Dengan demikian, penambahan aset yang akan diperoleh melalui IPO juga belum bisa diproyeksikan akan menambah omzet dan laba secara sebanding.
- Aset sebelum IPO adalah Rp 81 miliar. Setelah IPO paling tidak aset menjadi Rp 194,8 miliar alias naik 2,4 kali (240%). Jika telah menemukan RPD, harusnya laba juga naik dengan persentase sama dari Rp 14,1 miliar (angka tahun 2021) menjadi Rp 33,8 miliar. Catatan historis RAFI belum menunjukkan kemampuan ini. Bahkan pertumbuhan aset yang lebih dari 200% ini berisiko terjadi IPO trap dan glorifikasi IPO
- Isu stratejik kedua adalah tentang intangible asset perusahaan. Tahun 2021 RAFI menerbitkan saham baru dengan pembeli PT Globalasia Capital Investama (GCI) sebesar 18.000 lembar saham (nilai nominal Rp 1 juta per lembar saham). Nilai nominal seluruh saham GCI adalah sebesar Rp18 miliar. Saat itu GCI membelinya dengan membayar persis harga nominal yaitu Rp 18 miliar. Artinya, penerbitan saham yang merupakan 55% saham ini dilakukan tanpa agio saham. Agio saham adalah angka yang menunjukkan efek dari dari laba ditahan dan intangible asset persahaan.
- Ekuitas (nilai buku) akhir 2021 adalah Rp 47,7 miliar dengan modal disetor Rp 32,7 miliar. Dengan jumlah lembar saham sebesar 32 700 lembar (nilai nominal Rp 1 juta per lembar) maka nilai buku adalah Rp 1.458.715 per lembar saham. Artinya, dengan anggapan tidak perubahan ekuitas dari tanggal masuknya GCI tahun 2021 sampai akhir tahun maka ada intangible asset sebesar minus Rp 458 715 per lembar saham. Dalam persentase besarnya adalah minus 69% dari nilai buku. Sekali lagi: minus. Artinya, tahun 2021 saat GCI masuk para pihak mengakui bahwa intangible asset perusahaan adalah minus. Sebagai catatan, Intangible aaset adalah apa-apa yang ada di perusahaan tetapi tidak bisa dinyatakan secara akuntansi seperti merek yang kuat, manajemen yang kuat, sejarah panjang perusahaan, skill para pengelola dan sebagainya. Nilai pasar adalah penjumlahan antara nilai buku dengan intangible asset. Intangible asset minus artinya merek, skill pengelola, sejarah perusahaan dan semua yang tidak bisa dinyatakan secara akuntansi berdampak negatif alias menggerogoti nilai perusahaan.
- Ini menarik. Sebelum IPO perusahaan mengakui intangible assetnya minus 69%. Saat IPO perseroan menawarkan adanya intangible asset besar sekali. Mari kita hitung. Harga saham yang ditawarkan Rp 120 – Rp 130 per lembar saham. Dengan nilai nominal Rp 15 per lembar saham maka agio saham adalah Rp 105- Rp 115 per lembar saham. Bandingkan dengan tidak adanya agio saham saat GCI masuk.
- Nilai buku (ekuitas) sebelum IPO (per 31 Maret 2022) adalah Rp 52,8 miliar dengan 2.180.000.000 lembar saham. Setelah IPO dengan menerbitkan 948.090.000 lembar saham maka total saham perusahaan menjadi 3.128.090.000 lembar. Investor yang membeli saham IPO mengeluarkan uang Rp 113,8- Rp 123,3 miliar. Dengan demikian setelah uang investor masuk melalui IPO, nilai buku perusahaan akan menjadi sekitar Rp 166,6 – Rp 176,1 miliar. Jadi nilai buku per lembar saham adalah Rp 53,3-Rp 56,3. Artinya, dengan harga Rp 120-Rp 130 investor baru hanya mendapatkan tangible asset sebesar sesuai fakta historis akuntansi yaitu Rp 53,3-Rp 56,3. Sisanya, Rp 66,7- Rp73,7 adalah untuk membayar intangible asset. Dengan demikian intangible assetnya adalah positif 125%- 131% dari tangible asset berupa book value perusahaan
- Sebagai catatan, tahun 2022 sebelum IPO perusahaan telah dilakukan stock split dari Rp 1 juta per lembar saham menjadi Rp 15 per lembar saham. Stock split tidak mengubah nilai nominal maupun buku perusahaan. Hanya masalah satuan saja. Seperti menyebut 7 000 gram sebagai ganti 1 kilogram).
- Isu stratejik ketiga adalah tentang kepemimpinan. RAFI didirikan oleh Nilamsari tahun 2017. Pendiri adalah orang yang paling berpengalaman di bisnis ini karena sudah malang melintang di bisnis ini sejak sebelum pendirian RAFI. Masuknya GCI yang mengakibatkan Nilamsari tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali dan berpindah tangan ke GCI mengandung makna stratejik yang sangat penting. Penelusuran saya tentang GCI tidak menemukan informasi bahwa GCI punya kompetensi di bidang bisnis RAFI. Artinya, masuknya GCI telah terjadi perubahan “imam” alias “komandan pasukan”. Berubah dari Nilamsari yang sudah malang melintang di bisnis RAFI menjadi GCI yang tidak memiliki rekam jejak di bisnis RAFI. Ini harusnya tidak boleh terjadi dalam proses korporatisasi perusahaan. Para founder seperti Nilamsari mestinya tetap menjadi pimpinan perusahaan paling tidak sampai sistem manajemen terbentuk.
- Isu stratejik keempat adalah tentang sistem manajemen. Modal setor sebelum prospektus diterbitkan adalah Rp 32,7 miliar dengan pemegang saham pengendali GCI senilai Rp 18 miliar alias sebesar 55%. Setelah penerbitan saham dengan nilai nominal Rp 14,2 miliar maka perusahaan tidak ada lagi pemegang pengendali. IPO mengakibatkan GCI pun tidak menjadi pemegang saham pengendali. GCI hanya akan memegang 38%. Apalagi Nilamsari. Dengan demikian, IPO mengakibatkan perusahaan tidak memiliki pemegang saham pengendali.
- Tidak adanya pemegang saham pengendali ini dalam kerangka corporate life cycle (CLC) semestinya tidak boleh terjadi sebelum perusahaan memiliki sistem manajemen yang kokoh. Tentang hal ini mari kita lihat secara lebih dalam. Ciri utama adanya sistem manajemen adalah piramida manajemen yang tinggi dan lebar sedemikian hingga jumlah level jabatan dalam perusahaan lebih dari 20. Level seperti ini menjamin bahwa skill gap antara level menjadi kecil. Persis seperti di TNI yang jumlah level pangkatnya adalah 22. Dengan demikian jika ada tentara berpangkat apapun mati tertembak, resign atau pensiun, bawahan langsungnya dapat menggantikan tanpa ada gejolak sama sekali. Itulah mengapa tidak ada negara yang merekrut jenderal bintang empat dari luar negeri ketika ada bintang empatnya meninggal atau pensiun.
- Pembayaran kas kepada karyawan tahun 2021 adalah Rp 2,0 miliar. Jika dimisalkan gaji rata-rata karyawan adalah Rp 5 juta per bulan alias Rp 60 miliar per tahun maka RAFI memiliki 33 karyawan. Dengan span of control 5 orang maka kira kira hanya ada 3 level jabatan dari paling atas (dirut) ke paling bawah (staf klerikal). Jumlah level ini mengakibatkan skill gap antar jabatan sangat tinggi. Dengan demikian perusahaan belum memiliki sistem manajemen sebagaiana yang dimaksud pada step ke-7 dalam CLC. Tidak adanya pemegang saham pengendali saat perusahaan belum memiliki sistem manajemen menunjukkan adanya risiko kegagalan perusahaan sangat besar.
- Sebelum ada sistem manajemen sangat bahaya perusahaan tidak ada pemegang saham pengendali. Sebaliknya, begitu sistem manajemen terbentuk, justru lebih baik perusahaan tidak ada pemegang saham pengendali agar menjadi sebuah perusahaan sejati.
- Isu stratejik kelima adalah tentang penggunaan dana hasil IPO. Sebagaimana prospektus, dana hasil IPO akan digunakan untuk dua hal yaitu akuisisi PT Lazizaa Rahmat Semesta (LRS) sebesar Rp 13 miliar dan selebihnya untuk modal kerja. Prospektus menjelaskan bahwa yang dimaksud modal kerja adalah berupa pembelian bahan baku waralaba, bahan baku dan bahan pembantu, sewa gudang, biaya gaji karyawan dan pemeliharaan. Item item modal kerja yang disebut dalam prospektus ini tidak ada tanda-tanda yang berorientasi untuk pertumbuhan omzet dan laba sebagaimana dalam sebuah perusahaan yang telah memiliki RPD.
- Total nilai akuisisi LRS adalah Rp 16 miliar untuk 54,02 % saham. Nilai ekuitas LRS adalah Rp 16,9 miliar. Dengan demikian nilai buku saham yang diakuisisi adalah 54,02% dari Rp 16,9 miliar yaitu Rp 9,1 miliar. Selisih antara harga yang dibayar dengan nilai buku sebesar Rp 7,8 miliar akan dicatat di neraca perusahaan sebagai goodwill. Jadi, 6,3% – 6,9% uang dari investor IPO akan digunakan untuk membeli intangible asset LRS. Intangible asset LRS antara lain berupa merek merek Lazizaa, Enakin, dan Capiting
- Investor dalam IPO harus membayar intangible aset yang besar sebagaimana pada penjelasan sebelumnya. Uang itu kemudian digunakan untuk membeli aset yang juga mengandung intangible asset besar. Jadi ada intangible asset di atas intangible asset.
Demikianlah lima isu stratejik dalam IPO RAFI. RAFI terlihat sangat optimis di prospektusnya. Banyak hal positif ditampilkan. Lima isu di atas adalah mencermati apa di balik angka yang ditampilkan dalam prospektus RAFI. Layakkah membeli sahamnya? Keputusan sepenuhnya di tangan Anda para calon investor.
Artikel ke-375 karya Iman Supriyono ini ditulis di Surabaya pada tanggal 21 Juli 2022
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Belajar lebih komprehensif tentang analisis di atas? Hadiri kelasnya. Daftar http://www.klikwa.net/snfconsulting

Rugi PLN dan Pertamina Rumor atau Fakta?
Garuda, pailit atau korporatisasi?
Krakatau Steel: Tercekik Utang
Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?
Garuda: Utang Melebihi Aset
Glorifikasi IPO Kioson
IPO Bukalapak Prospektif atau Buang Uang
Kepailitan Startup OFO Bike Hiring
Tesla Laba Setelah 16 Tahun Rugi
Corporate Life Cycle dalam Merger GoTo
Valuasi Merger Gojek Tokopedia
Sequoia VC Sejati
Semakin banyak emiten aneh dan kelas teri (dgn indikasi market cap seupil) yang di-IPO-kan di bursa efek Indonesia.
Globalasia kapital itu bukannya GKInvest yang jualan instrumen berjangka ya Cak @Iman ?
Maklum perusahaan IMF (Istri, Mertua, Family). Muter dan mbulet disitu-situ aja orang2nya. Dgn gaya IMF apa ya penting mau ada intanglbel asset & agio saham atau tidak ?