Empat tahun sudah Kioson melantai di Bursa Efek Indonesia. IPO yang disebut sebagai fenomenal. IPO yang heroik. Disebut demikian karena Kioson adalah perusahaan start up pertama yang melakukan IPO. Startup pertama yang melakukan korporatisasi di lantai bursa.
Empat tahun sudah Kioson “berlayar” mengarungi “samudera” secondary market. Ya, secondary market alias transaksi antar para pemegang saham adalah realitas yang harus dihadapi oleh sebuah perusahaan sejak masuk lantai bursa. Disebut “samudera” karena “ombaknya” besar. Tidak seperti “selat” yang ombaknya kecil.
Pertanyaannya, bagaimana kinerja Kioson selama 4 tahun menghadapi “ombak besar” itu? Untuk membedahnya, SNF Consulting menyelanggarakan bincang santai korporasi melalui Zoom. Acara rutin mingguan yang dimulai on time pada 19.45 itu seru sekali. Diantara yang nimbrung diskusi ada cak Didin Nur Ali yang dikenal sebagai dedengkotnya fintech. Ada cak Eros yang sudah belasan tahun menjadi pemain bisnis pulsa. Ada cak Donny Kris yang kini menjadi kepala pasukan TDA.
Berikut ini poin-poin pembicaraan yang diawali dengan presentasi singkat tentang Kioson oleh Islambek Nurmamatov, konsultan SNF Consulting yang tinggal di kota Osh, Kyrgystan itu. Banyak pelajaran berharga bagi para pelaku startup, founder atau entrepreneur pada umumnya. Saya tuliskan dalam bentuk poin-poin. Tentu dengan tambahan analisa dan data yang lebih memperkaya analisis.
- Kioson melakukan IPO saat kondisi masih rugi. Dalam corporate life cycle (CLC), berari Kioson masih berada pada step kedua dari 8 step: berdiri, rugi, BEP, laba, menemukan revenue and profit driver (RPD), scale up, sistem manajemen dan fully corporatized company.
- Ini posisi keuangan Kioson per 30 April 2017, sesaat sebelum IPO, sebagaimana dinyatakan prospektusnya. Aset Rp 45 miliar dengan ekuitas Rp 32 miliar. Ekuitas terdiri dari modal disetor Rp 50 miliar, akumulasi kerugian Rp 18 miliar.
- Catatan Kinerja operasional perusahaan yang berdiri Agustus 2015 ini sebelum IPO adalah sebagai berikut. Omzet tahun 2015 Rp 2 miliar dengan rugi Rp 2,4 miliar. Tahun 2016 omzet naik menjadi Rp 26 miliar dengan rugi Rp 11 miliar. Empat bulan pertama 2017 omzet 26 miliar, naik lebih dari 5 kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang Rp 5 miliar. Tetapi sepanjang periode itu tetap mencatatkan kerugian yaitu sebesar Rp 5 miliar.
- Angka-angka tersebut menegaskan bahwa perusahaan masih berada pada step kedua dalam CLC. Bolehkah pada step seperti ini perusahaan melakukan korporatisasi dengan menerbitkan saham? Boleh dengan catatan pembeli sahamnya harus salah satu dari 3 kemungkinan berikut. Kemungkinan pertama pembeli sahamnya harus investment company atau pengelola dana wakaf korporat yang telah menanamkan portofolio sekitar 90% asetnya perusahaan mapan. Perudsahaan yang telah berada pada step scale up. Step ketujuh dalam CLC. Perusahaan yang telah memiliki peredam risiko yang aman bagi para pemegang sahamnya.
- Kemungkinan kedua adalah bahwa pemegang sahamnya adalah sebuah venture capitalist alias VC. Dan VC nya harus VC sejati. Bukan VC yang hanya sekedar label. Di negeri ini banyak sekali VC yang sekedar label. Labelnya VC tapi secara operasional karakternya adalah sebuah bank komersial. Atau, labelnya VC tapi sejatinya adalah perusahaan konglomerasi atau perusahaan “banci”. Tidak jelas antara investing company atau operating company.
- Kemungkinan ketiga, adalah para cofounder. Seorang corpopreneur yang membeli saham karena mau terlibat mengelola perusahaan sebagai direksi atau CEO. Seperti yang dilakukan oleh Elon Musk saat masuk Tesla.
- Dari informasi yang ada, terlihat bahwa pemegang saham Kioson bukan salah satu dari tiga kemungkinan tersebut. Ini adalah potensi masalah krusial pertama bagi Kioson.
- Memperhatikan kinerja Kioson hingga saat ini, potensi masalah ini benar-benar menjadi masalah. Penjualan tahun 2018 naik menjadi Rp 2,57 triliun dengan laba tahun berjalan Rp 1,56 miliar. Tahun 2019 penjualan Rp 2,90 triliun dengan rugi tahun berjalan Rp 5,33 miliar. Tahun 2020 omzet kembali terjerembab Rp 913 miliar dengan rugi Rp 42 miliar. Triwulan pertama 2021 omzet Rp 95 miliar alias terjerembab turun 84 % dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 590 miliar dengan rugi Rp 171 juta.
- Secara arus kas, tahun 2018 minus Rp 34 miliar. tahun 2019 minus Rp 21 miliar. Tahun 2020 positif 3 miliar. Triwulan pertama 2021 positif Rp 5 miliar. Secara akumulatif sepanjang periode tersebut minus Rp 47 miliar.
- Memperhatikan kinerja operasional tersebut, tampak sekali bahwa memang Kioson masih pada step 2 dalam CLC. Tahapan rugi. Dan investor yang masuk tidak cocok dengan kondisi tersebut.
- Kioson IPO dengan menerbitkan 23% saham baru dihitung dari komposisi saham setelah IPO. Nilai dari presentasi tersebut adalah Rp 45 miliar. Dengan demikian nilai pasar (harga 100% saham) adalah Rp 196 miliar. Angka ini adalah kecil sekali untuk ukuran perusahaan IPO. Inilah potensi masalah krusial kedua. Perusahaan akan terancam terjebak pada IPO Trap.
- Mari kita periksa. Dengan kinerja operasional yang masih berat sebagaimana di atas, saham Kioson laris manis saat dilepas pada harga Rp 300 melalui IPO. Mengalami oversubscribed 10x.
- Oversubscribed dalam kondisi investor yang masuk bukan 1 dari 3 kemungkinan di atas menunjukkan bahwa yang masuk adalah investor yang tidak faham CLC. Juga tidak faham apa beda operating company dengan investing company. Investor khilaf hehehe. Ini makin memperkuat risiko terjebaknya Kioson pada fenomena IPO trap.
- Kita perhatikan lebih lanjut. Saham Kioson naik menjadi Rp 3 310 pada 19 oktober 2017. Terus melambung sejak transaksi pasar sekunder dibuka pertama tanggal 5 oktober 2017. Puncaknya adalah Rp 3, 530 pada 24 agustus 2018. Kemudian turun menjadi Rp 376 pada 3 Januari 2020. Terus berada pada posisi bawah hingga menjadi Rp 148 pada 30 Desember 2020. Lalu naik kembali ke posisi Rp 1 385 pada 23 Juli 2021. Harga terakhir tanggal 5 agustus 2021 adalah Rp 1 055.
- Terlihat jelas sekali bahwa fluktuasi harga pasar sekunder berfluktuasi ekstrem. Sementara kinerja operasional perusahaan tetap buruk. Baik secara laba rugi maupun arus kas. Ini bisa dibaca bahwa Kioson benar-benar seperti sebuah kapal boat berlayar di tengah samudra Atlantik yang ombaknya tinggi. Panjang kapal hanya 5 meter sementara ombaknya 10 meter. Bahkan badai. Terombang ambing dalam badi lautan luas tanpa tenaga. Powerless. Lunglai.
- Nah, dalam kondisi lunglai, arus kas operasional yang minus begitu dalam pasti membutuhkan suntikan dana. Peluang ,eminjam dana bank bisa dikatakan tertutup. Bank pasti takut dengan kondisi kinerjanya. Satu satunya pintu adalah dengan menerbitkan saham baru lagi melalui rights issue. Masalahnya, dengan kondisi perusahaan yang lunglai menghadapi “ombak samudera Atlantik” pasar sekunder lantai bursa tersebut, bisakah investor percaya?
- Investment Company seperti Blackrock, State Street, Fidelity, Berkshire Hathaway, atau sejenisnya bisa dikatakan mustahil masuk. Mereka tentu tahu persis CLC dan tidak akan melanggar ilmunya sendiri. Mereka adalah investor yang bertindak berdasarkan sikap ilmiah. Bukan sikap jahiliah. Tidak mau menjadi investor khilaf.
- Berat kan? Ya, Kioson memang berat. Tetapi berat itu kan terjadi karena kesalahan kebijakan masa lalu. Ya sudah, tidak perlu disesali. Yang penting adalah bagaimana menyelesaikannya dan tidak mengulangi kesalahan serupa. Keledai tidak terperosok pada lubang yang sama. Perkuat kembali pemahaman pada CLC yang merupakan inti sari dari riset sejarah ratusan bahkan ribuan perusahaan di berbagai negara dalam periode lebih dari 2 abad terakhir i ini. CLC adalah hasil riset sejarah srategic finance dari SNF Consulting, kantor saya.
- Yakin bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi. Yakin bahwa setiap masalah ada solusinya. Tentu dengan ilmu yang cukup. Ingat nasihat Imam Syafii yang terkenal itu. Siapa yang ingin dunia capailah dengan ilmu. Siapa yang ingin akhirat capailah dengan ilmu. Siapa yang ingin keduanya capailah dengan ilmu. Bersikap ilmiah adalah key word nya.
- Ini juga menjadi pelajaran berharga bagi para entrepreneur dan founder. Jangan terjebak glorifikasi IPO. Menganggap IPO sebagai sesuatu yang luar biasa hebatnya. Bahkan menganggap IPO sebagai garis finish. Padahal sama sekali tidak. IPO harus ditempatkan pada satu titik dari perjalanan panjang perusahaan melakukan korporatisasi menapaki step by step dari 8 step CLC.
- Belajarlah dari Facebook, Microsoft, Tesla, Gojek, Gojek, Tokopedia, Ruang Guru dan sejenisnya. Mereka melakukan korporatisasi di luar lantai bursa sampai ukurannya cukup besar baru IPO. Mereka paham betul dan bertindak tepat dalam kerangka CLC. Bahkan belajarlah dari kepailitan OFO startup persewaan sepeda dari negeri Tiongkok itu. Masuk KELAS KORPORATISASI untuk mempelajarinya secara lebih cepat dan komprehensif dengan metode simulasi. Semangat!!!
Klik untuk bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Klik untuk cek jadwal terdekat Kelas Korporatisasi
Artikel ke-346 karya Iman Supriyono ini ditulis di rumahnya di Surabaya pada tanggal 6 Agustur 2021
Kemarin saya ikut zoom Kioson ini di laptop teman. Konsultan Kyrgiztan yg presentasi mungkin lebih cocok jadi Konsultan yang sedang belajar. Pemahaman keuangannya masih dangkal dan banyak pertanyaan di chat yg tidak dijawab. Pengalaman dan jam terbang memang membuktikan kualitas.
Iya memang masih junior. Masih belajar. Dan saya pun terus belajar 🙂
Hehe.. jangan ngadi-ngadi Cak suhu. Masa’ belajarnya sabuk hitam vs Sabuk kuning/putih disamakan.
Hehehehe. Kan sama sama belajar 🙂
Ping-balik: ARA ARB Bukalapak: Anda Penjudi atau Investor? | Korporatisasi
Ping-balik: Bank Jago Melangit: Karena Kinerja? | Korporatisasi
Ping-balik: Korporatisasi Di Luar Lantai Bursa | Korporatisasi
Ping-balik: Buta Sejarah Korporasi: Bisnis Sekedar Berjualan | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Korporasi: Ilmu Wajib Para Founder CEO Entrepreneur | Korporatisasi
Ping-balik: Bentoel Delisting Saat Marak IPO, Mengapa? | Korporatisasi
Ping-balik: Japfa, Bangun! | Korporatisasi
Ping-balik: Sodexo: Catering Olympiade Bisa! | Korporatisasi
Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi
Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi
Ping-balik: Pertaruhan Hidup Mati Goto | Korporatisasi
Ping-balik: Iklan Holywings: Salah Karyawan atau Direksi? | Korporatisasi
Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi
Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi
Ping-balik: PKPU & Kepailitan: DPUM | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi