Investasi aman itu adalah deposito. Itulah yang ada di benak banyak orang. Deposito bank konvensional maupun bank syariah. Aman karena dijamin oleh negara melalui LPS. Tapi benarkah demikian?
Mari kita bandingkan. Andai tahun 1992 punya uang Rp 100 juta. Lalu Anda simpan di bank sebagai deposito. Uang akan aman karena dijamin oleh LPS. Tiap tahun akan mendapatkan bunga (bank konvensional) atau bagi hasil (bank syariah). Tahun ini akan mendapatkan sekitar 3-4%.
Jangan lupa sepanjang periode itu nilai uang Anda tergerogoti inflasi. Sepuluh tahun terakhir ini rata-rata 4,23%. Jika angka itu digunakan untuk menghitung efek inflasi sejak tahun 1992 maka uang Rp 100 juta itu kini nilainya setara dengan Rp 30,8 juta. Jadi bunga atau bagi hasil deposito habis tergerus inflasi.
Bagaimana investasi yang aman? Misalkan uang Rp 100 juta itu diinvestasikan dengan masuk sebagai pemegang saham Starbuck. Tahun 1992 harga per lembar saham adalah USD 0,34. Saat itu juga USD 1 setara dengan Rp 1 977. Dengan demikian Rp 100 juta akan mendapatkan 148 770 lembar.
Hari ini laba per lembar saham perusahaan berbasis di USA itu adalah USD 2,01. Dengan demikian jika dihitung dalam USD ROI Anda adalah 2,01/0,34 alias 591%. Jika dihitung dalam Rupiah laba per lembar saham adalah Rp 28 920. Dengan demikian 148 770 lembar saham akan mendapatkan hak laba Rp 4 302 428 4000. Singkatnya Rp 4,3 miliar. Dengan investasi Rp 100 juta maka ROI nya adalah 4302%. Lebih dari 4 ribu %. Amankah? Aman karena perusahaan ini sudah memiliki peredam risiko yang berlapis dan kuat.
Dan yang menarik, ini tidak terkena inflasi. Kenapa? Karena aset Anda tidak berupa uang. Tapi berupa saham. Perhitungannya adalah berdasarkan persentase laba. Dan karena laba diperoleh dari aset perusahaan yang juga bukan berupa uang maka Starbucks pun tidak terkena inflasi. Aset terbesar starbucks adalah berupa resto dengan segala kelengkapannya.

Pelajaran pentingnya, selama ini banyak orang beranggapan bahwa deposito atau obligasi adalah investasi aman. investasi yang pasti. Tetapi sesungguhnya yang pasti adalah penyusutan nilai uang karena inflasi. Daya belinya turun. Tahun 1992 misalnya tanah di dekat rumah saya di kawasan Mulyorejo Surabaya ketika itu Rp 15 ribu per meter persegi. Saya ingat karena ketika itu ada tanah dijual yang saya ingin membelinya tetapi tidak bisa karena uang belum cukup. Berapa nilainya sekarang? Tidak kurang dari Rp 5 juta per meter persegi. Artinya nilai uang telah menyusut tinggal tersisa 1/333 nya. Alias tinggal 0,3 % dari nilai semula. Jadi deposito atau obligasi itu pasti…..pasti termakan inflasi.
Nah, lalu apakah semua perusahaan seperti Starbucks? Oh tentu tidak. Yang pertumbuhan ROI nya pesat hanyalah perusahaan yang pertumbuhannya juga pesat. Tumbuh dalam laba, omzet dan aset. Pertumbuhan pesat itu hanya bisa ditempuh melalui scale up. Scale up itu hanya bisa dilakukan melalui penerbitan saham baru secara terus menerus. Di lantai bursa maupunn di luar lantai bursa. Dalam laporan keuangannya bisa dibaca dari akun “tambahan modal disetor” alias agio saham. Dalam bahasa Inggris disebut additional paid in capital alias APIC. Perusahaan akan tumbuh jika nilai akun APIC nya selalu bertambah dari waktu ke waktu. Di Indonesia contohnya adalah Alfamart. Artinya perusahaan melakukan korporatisasi berkelanjutan. Pelajari secara lebih detail tentang hal ini di Kelas Korporatisasi dari SNF Consuting. Monggo….
Klik untuk bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Klik untuk cek jadwal terdekat Kelas Korporatisasi
Artikel ke-347 karya Iman Supriyono ini ditulis di rumahnya di Surabaya pada tanggal 9 Agustur 2021
Pak iman, coba sarankan saham (baik sekunder maupun yg rencana mau IPO) yg perusahaannya sdh mapan dlm tahapan clc. Perusahaan Indonesia aja pak. Trims
Monggo diikuti tulisan2 di web ini. Sudah ada beberrapa perusahaan nasional yang ditulis
Ping-balik: ARA ARB Bukalapak: Anda Penjudi atau Investor? | Korporatisasi
Ping-balik: Aset Emas: Zakat Bagi Orang Pelit | Korporatisasi
Ping-balik: Hayyu x ACR: Perusahaan Dakwah | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi
Ping-balik: Emas Perak Forex: Investasi atau Spekulasi? | Korporatisasi
Ping-balik: Starbucks Saudi: Sang Putri Menyelam | Korporatisasi