Modal Alfamart Mengejar Indomaret


Gerai pertama Indomaret berdiri tahun 1988. Gerai pertama Alfamart berdiri 1999. Alfamart 11 tahun lebih  muda dari pada Indomaret. Tetapi kini keduanya berdiri sejajar. Di berbagai tempat keduanya tampil berdekatan. Dimana ada Indomaret disitu ada Alfamart. Di mana ada Alfamart di situ juga ada Indomaret. Bahkan Alfamart sudah di Filipina.

Data Nielsen yang dikutip manajemen Alfamart dalam public expose-nya menyebut bahwa sampai Maret 2019, Indomaret telah memiliki 16 458 gerai. Sementara itu Alfamart beserta anak perusahaannya (Alfamart, Alfamidi, Lawson) hadir dengan 15 223 gerai. Bisa dihitung bahwa Indomaret tumbuh dengan rata-rata pertambahan 531 gerai per tahun. Alfamart dengan 761 gerai pertahun. Alfamart tumbuh dengan rata-rata tahunan 43% lebih tinggi dari pada Indomaret.

pelari berjekaran edit

Yang muda mengejar yang tua itu bukan mustahil

Bagaimana Alfamart tumbuh lebih pesat? Mari kita lihat lebih detail. Pada laporan keuangan teraudit terbarunya, tahun 2019, Alfamart melaporkan bahwa dari 14 310 gerai minimarketnya, 3 696 di antaranya adalah gerai waralaba. Artinya, waralaba berkontribusi 26% dari gerai minimarketnya. Selebihnya, 74%, adalah gerai milik sendiri.

Bagaimana Alfamart membiayai gerai-gerainya tersebut. Bisa kita lihat dari struktur ekuitas perusahaan yang di lantai bursa dikenal dengan sebutan AMRT ini. Total aset perusahaan yang didirikan oleh Djoko Susanto tersebut adalah Rp 23,992 triliun. Itulah aset yang digunakan oleh Alfamart untuk menjadi seluruh gerainya. Sumber dari aset tersebut terdiri dari dua, ekuitas (modal sendiri) dan utang. Ekuitasnya sebesar Rp 6,884 triliun. Utang sebesar Rp 17,108 triliun. Tampak bahwa rasio antara utang dengan ekuitas (DER) adalah 2,48.

Dari mana sumber utangnya? Terbesar adalah utang usaha dari pihak ketiga yaitu sebesar Rp 7,814 triliun. Terbesar kedua adalah obligasi Rp 2,398 triliun. Terbesar ketiga adalah utang bank Rp 2,106 triliun. Terbesar keempat adalah utang jangka pendek lain-lain dari pihak ketiga Rp 1,586 triliun. Tampak bahwa utang terbesar Alfamart berasal dari sumber utang dagang yang bersifat tanpa bunga.

Dari mana asal ekuitasnya? Modal setor (dari pemegang saham, par value) adalah sebesar Rp 415 miliar. Modal disetor baiik oleh pendiri maupun investor yang masuk setelah pendiri. Pendiri menyetor saham sesuai dengan nilai nominal. Total sebesar 52% alias Rp 216 miliar.  Pemegang saham selain pendiri menyetor modal dengan nilai di atas nilai nominal. Alfamart telah melakukan IPO dan tiga kali menerbitkan saham baru (rights issue) setelah IPO dengan harga jauh di atas nilai nominal (par value per lembar saham). Total selisih antara nilai nominal dengan nilai uang yang disetor pemegang saham diluar pendiri dicatat sebagai agio saham sebesar  Rp 2,480 triliun. Ini adalah penghargaan terhadap intangible asset Alfamart berupa merek yang kuat dan sebagainya. Nilainya 6x lipat.

Komponen ekuitas lain adalah laba ditahan sebesar Rp 4,169 triliun. Sumber modal ini jauh lebih besar dibanding modal disetor dan agio saham. Dalam bahasa sederhana, ini adalah  aksi mengencangkan ikat pinggang dari pemegang saham. Hanya sebagian kecil laba yang dibagikan sebagai dividen. Tahun 2019 Alfamart hanya membagikan dividen Rp 110 milar alias 11% dari laba komprehensif yang Rp 978 miliar.

Pertumbuhan pesat Alfamart juga bisa diukur dari arus kas investasinya. Tahun 2019 Alfamart menggelontorkan arus kas untuk investasi sebesar Rp 2,689 triliun alias 2 kali labanya yang sebesar  Rp 1,338 triliun. Tahun  2018 Rp 1,886 triliun alias 2,8 kali laba  yang sebesar Rp 668 miliar. Tahun 2017 Rp 3,625 triliun alias 14 kali laba yang sebesar Rp 258 miliar. Tahun 2016 Rp 4,060 triliun alias 7,3 kali laba  yang sebesar Rp 554 miliar. Tampak sekali bahwa Alfamart berekspansi dengan menggelontorkan kas untuk investasi berkali-kali lipat laba. Dalam empat tahun terakhir rata-rata adalah 6,5 kali  laba.

&&&

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan adanya lima faktor pertumbuhan pesat Alfamart. Pertama, Alfamart tumbuh pesat dari gerai milik sendiri, bukan waralaba. Ini  penting untuk diperhatikan mengingat berkembang persepsi di publik seolah-olah waralaba telah menjadi penopang utama pertumbuhan. Alfamart membuktikan sebaliknya. Cocok dengan logika finansial bahwa cost of capital waralaba jauh lebih tinggi dari pada korporatisasi, baik di lantai bursa maupun di luar lantai bursa. Tetapi bukan berarti waralaba tidak ada peran. Tetap ada peran tetapi tidak dominan. Ada proporsi optimal untuk itu. Jika kurang tidak optimal. Jika berlebih mengakibatkan franchise trap.

Kelas waralaba vs korporatisasi

HIndari FRANCHISE TRAP. Untuk proporsi Waralaba yang tepat silahkan ikuti KELAS WARALABA VERSUS KORPORATISASI dari SNF Consulting. Daftar https://wa.me/6281358447267

Kedua, Alfamart tumbuh pesat dari utang. Terbesar adalah berupa  utang dagang pihak ketiga disusul dengan  utang obligasi dan utang bank. Artinya, Alfamart benar-benar mengoptimalkan kepercayaan pihak luar, terutama pemasok, untuk mendapatkan modal kerja. Sebagai gambaran, 26% dari pendapatan Sari Roti tahun 2017 adalah berasal dari Alfamart. Pemasok inilah yang mendukung Alfamart dengan utang dagang sebagai modal kerja.

Selain utang dagang, alfamart juga memanfaatkan kapasitas utang jangka panjang baik melalui bank maupun melalui obligasi. Total keduanya adalah Rp 4,504 triliun. Total utang yang berbunga (interest bearing debt) besarnya adalah 65% dari ekuitasnya. Dalam kerangka korporatisasi, Alfamart memanfaatkan gergaji korporatisasi dengan maksimal.

Ketiga, alfamart tumbuh pesat karena pendiri dan pemegang saham yang mengencangkan ikat pinggang. Utang tidak mungkin dilakukan tanpa adanya modal sendiri (ekuitas) yang cukup. Ekuitas Alfamart bagian terbesar berasal dari laba ditahan. Hasil dari pemegang saham yang mengencangkan ikat pinggang.

Keempat, alfamart tumbuh pesat karena terus menerus menerbitkan saham baru. Berbeda dengan banyak perusahaan di Indonesia yang menjadikan IPO sebagai tujuan akhir. Setelah IPO tidak pernah lagi menerbitkan saham. Alfamart tidak seperti itu. Setelah IPO tahun 2009, Alfamart telah 3x menerbitkan saham baru. Inilah yang disebut sebagai korporatisasi berkelanjutan. Ekuitasnya tumbuh terus-menerus melalui korporatisasi. Inilah yang memungkinkan adanya tiga poin kesimpulan sebelumnya.

Kelima, Alfamart tumbuh pesat karena terus-menerus menggelontorkan kas untuk investasi yang jauh lebih besar dari labanya. Investasi dilakukan tepat sasaran pada apa yang disebut sebagai Revenue & Profit Driver (RPD), yaitu aset yang begitu dimiliki langsung meningkatkan pendapatan (revenue) dan laba. Sebagaimana di atas, dalam empat tahun terakhir Alfamart rata-rata  menggelontorkan dana 6,5 kali laba untuk RPD. Ini bisa disebut sebagai hasil akhir dari empat penyebab sebelumnya.

RPD

Alfamart tumbuh pesat dengan berinvestasi besar-besaran pada RPD

Pembaca yang baik, kesimpulan kelima adalah ukuran upaya pertumbuhan yang paling konkrit. Seperti speedometer dan panel  kontrol lain dalam sebuah “dashboard”  untuk “mengemudikan” perusahaan.  SNF Consulting menggunakan angka cut off 5 kali laba sebagai batas kriteria sebuah high growth enterprise alias HGE. Juga sekaligus kriteria pembatas bahwa perusahaan telah melakukan scale up. Tumbuh pesat mengejar pesaing-pesaing yang telah hadir jauh lebih dahulu seperti Alfamart mengejar Indomaret. Kini nilainya sekitar Rp 36 triliun. Uang yang disetor pendiri senilai Rp 216 miliar kini menjadi Rp 18 triliun yaitu 52% dari nilai perusahaan. Bagaimana perusahaan Anda? Sudah menjadi HGE? Sudah melakukan scale up?

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram SNF Consulting atau Gabung Grup WA SNF Consulting

Artikel ke-267 ini ditulis di Surabaya pada tanggal 7 Juni 2020 oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting

16 responses to “Modal Alfamart Mengejar Indomaret

  1. Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono

  2. Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais | Catatan Iman Supriyono

  3. Ping-balik: Corporate Life Cycle | Catatan Iman Supriyono

  4. Ping-balik: Kesalahan Wakaf Saham: Bagaimana Perbaikannya? | Catatan Iman Supriyono

  5. Ping-balik: Titik Kritis Korporatisasi: Alfamart | Catatan Iman Supriyono

  6. Ping-balik: Corporate Life Cycle – SNF Consulting

  7. Ping-balik: Zakat Mal Era Korporasi: Menjadi Bangsa Produsen | Korporatisasi

  8. Ping-balik: Mematematikakan Untuk Memudahkan: Obituari Pak Towik | Korporatisasi

  9. Ping-balik: Investasi ROI 4000 % Lebih | Korporatisasi

  10. Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi

  11. Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner - SMN Digest

  12. Ping-balik: Perusahaan Yang Menua | Korporatisasi

  13. Ping-balik: Cokroaminoto – Zara: Jalan Sunyi Para Pebisnis | Korporatisasi

  14. Ping-balik: Daun Jati: Puluhan Tahun Kerja Keras | Korporatisasi

  15. Ping-balik: “Terpaksa” Waralaba | Korporatisasi

  16. Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s