Daun Jati: Tekun Kerja Keras Tak Cukup


Jam empat sore saya sudah meninggalkan hotel. Jika jalan lancar, biasanya sekitar jam 9 malam sudah sampai rumah di bagian timur kota Surabaya. Artinya, perjalanan kali ini melewati jam makan malam.

Ada beberapa tempat favorit makan malam pada jalur Tuban Surabaya. Nah, sore itu saya dan romongan memilih sebuah warung tenda di depan Pasar Baru Tuban dengan menu istimewa: Kepalan Manyung. Menu yang selalu saya rindukan manakala lama tidak pergi ke Tuban.

Karena jika sedang di Tuban sering makan menu lezat ini, sebenarnya kepala manyung bukanlah sesuatu yang baru. Sudah menjadi semacam rutinitas memanjakan lidah. Tetapi naluri kepenulisan saya muncul ketika melihat ada seorang ibu tua asyik menjajakan dagangannya di teras pasar. Dagangannya ini yang menarik bagi saya: daun jati.

Kanapa daun jati menarik? Ada banyak alasan. Yang pertama, masa kanak-kanak saya tinggal di sebuah desa tepi hutan jati pada jaman dimana plastik belum sepopuler saat ini. Praktis daun jati menjadi salah satu barang penting masa itu. Daun jati adalah pembungkus nasi pecel hangat dengan aroma khas. Daun jati juga pembungkus tempe yang juga tiada dua. Aroma daun jati yang terkena panas hasil fermentasi jamur tempe memberikan aroma nikmat. Masih banyak lagi fungsi daun jati sebagai pembungkus aneka makanan maupun bahan makanan di kampung halmaan ketika itu. Pendek kata, daun jati memiliki nilai ekonomi yang sangat strategis.

Itulah kenapa salah satu hisaan masa kanak kanak saya adalah pengalaman mencari daun jati di hutan dan kemudian menjualnya ke warung warung untuk pembungkus aneka makanan. Anak ingusan yang belajar mencari uang dengan berjualan daun jati. Pengalmaan yang sangat indah yang ternyata kelak saya rasakan sebagai pendidikan entrepreneurship luar biasa ala anak desa.

Segeralah saya mencari cara yang manis untuk berbicang dengan pedangan daun jaati itu. Saya pun mengeluarkan uang lembaran seribuan rupiah untuk membeli daun jagi. Maksud saya, daun jati mau saya bawa pulang ke surbaya sebagai bahan cerita kepada anak anak saya tentang perkembangan tekonolgi pengemasan. Dari kemasan daun jati menajdi kemasan plastik. Nah, ternyata betul. Seribu rupiah untuk membeli daun jati menjadi pembuka komunkkasi yang manis dengan sang ibu tua pedangannya yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Mbok Siti.

Puluhan tahun bekerja keras dengan tekun pun tidak cukup

Mbok Siti sudah sejak umur 15 tahun berdang daun jati di pasar itu. Kalau sekarang ia berumur sektiar 60 tahun, berarti ia telah berdagang selama 45 tahun. Selama hampir setengah abad itu Mbok Siti menjalani ritme aktivitas sebagai berikut: jam lima pagi berangkat ke hutan untuk memetik daun jati dengan galah. Sampai sekitar jam 8 ia sudah mendapatkan seeikat besar daun jati untuk digendong pulang ke rumah. Sampai di rumah ia segera berangkat ke hutan lagi untuk mencari segendongan daun jati lagi. Tahap kedua pencarian daun jati ini terselesaikan sekitar tengah hari.

Setiba di rumah, Mbok Siti segera bergegas mencari mobil tumpangan untuk membawa dua ikat daun jati ke pasar. Ia tidak mungkin menggendong dua ikat daun jati yang ketika saya coba angkat kira kira seberat 50-60 kg itu. Untuk pengangkutan ini Mbok Siti harus membayar sekitar Rp 10 ribu. Itupun tidak semuah kendaraan umum yang lewat mau ditumpangi Mbok Siti.

Jam 5 sore Mbok siti sudah tiba di pasar dan kemudian menjajakan barang dagangannya sampai sektiar jam 5 pagi. Praktis seluruh aktivitasnya mulai dari memetik sampai menjual daun jati dikerjakan dalam waktu 24 jam penuh. Maka, begitu daun jati habis terjuial iapun pulang ke rumah untuk istirahat secukupnya. Keesokan harinya, jam 5 pagi ia harus berangkat memulai lagi siklus pekerjaaannya.

Berapa pendapatan Mbok Siti? Setiap putaran, omset penjualan 2 ikat daun jati adalah sekitar Rp 50 ribu. Dipotong ongkos transport dan makan selama berjualan kira kira ia masih menyisakan uang Rp 35 ribu hasil kerja 24 jam. Dengan ritme seperti itu, dua hari sekali Mbok Siti menerima uang Rp 35 ribu alias Rp 17.500 sehari. Hanya senilai sekitar setengah UMR!

Rp 17.500 sehari! Itulah kehidupan Mbok Siti selama hampir setengah abad. Menjalani hidup yang secara finansial makin sulit dan berat. Mengapa omset penjualannya tidak meningkat? Mengapa pasarnya tidak diperluas? Mengapa tidak diekspor? Mengapa Mbok Siti yang pekerja sangat keras tidak prestasi ekonominya tetap kelas bawah? Pelajaran apa yang bisa Anda petik? Apa bedanya dengan pengalaman masa kanak kanak saya yang juga berjualan daun jati sebagi sebuah pembelajaran entrepreneurship yang saya rasakan luar biasa? Semoga kita bisa memetik pelajarannya: daun jati! Bahwa kerja keras dan ketekunan puluhan tahun saja tidak cukup. Dibutuhkan ilmu. Berproses menapaki satu demi satu dari 8 langkah corporate life cycle.

Tulisan karya Iman Supriyono ini pernah dimuat di majalah BAZ, terbit di Surabaya

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Atau ikut KELAS KORPORATISASI

Baca juga:

Bagaimana Merintis Bisnis?
Corporate Life Cycle
Modal Alfamart Mengejar Indomaret

Modal Murah Mitra Keluarga Menyalip Siloam
Pedal Gas Revenue and Profit Driver
RPD Sebagai Faktor Kali
RPD Sebagai Peredam Risiko Investasi Wakaf
Giant Tutup: Sulitnya Menemukan Kembali RPD
Deep Dive Sang CEO Mengamankan RPD
RPD Sebagai Salah Satu Tahap Corporate Life Cycle

17 responses to “Daun Jati: Tekun Kerja Keras Tak Cukup

  1. ada tetangga di kampung blitar. dari saya kecil sampai kemarin saya mudik. masih tetap sama aktiyitasnya. produksi dan menjual cambah. di lihat dari rumah dan kehidupan dari dulu sampai sekarang tetap sama . sederhana. tapi 5 anaknya sekarang udah sarjana semua. jadi melihat seseorang bisa dari mana memandanganya

  2. sekedar pandangan yang saya miliki slama ini, mudah-mudahan ada koreksi. kerja besar tentu berangkat dari carapandang ato cara berfikir yang besar juga, pekerjaan scara kasat mata bisa jadi sama, tapi cara berfikir akan membedakan dikemudian harinya. Mungkin Mbok Siti yg pekerja keras blm dilengkapi carapandang serta cita2 utk pengembangan jauh keatas hingga ekspor impor, mungkin karena lingkungn belum sempat mendidik beliau, sehingga pekerjaan baik itu akan berjalan sebagai ritme kehidupan sehari2 tanpa pengembangan, bahkan bisa jadi penurunan seiring dengan melemahnya fisik. mungkin saja kalau memiliki cita2 akan menjadikan Indonesia sebagai pengekspor daun jati terbesar didunia. Mbok Siti sedikit banyak akan berbeda keadaannya saat ini, wallahu A’lam. mohon koreksi,smoga bisa lebih bermanfaat.

    • wawasan yang selalu ditingkatkan memang akan selalu menuntun seseorang untuk makin baik prestasinya. wawasan dunia dan akhirat yg lebih baik juga akan menuntun dunia dan akhirat yang lebih baik

  3. sangat benar pak, mungkin lebih baik lagi ada bantuan seseorang yg membantu untuk mengembangkannya

  4. ada jutaan atau bahkan puluhan juta orang mirip mbok siti ini, mungkin ini yang menyebabkan indonesia gak maju-maju. pemerintalah yang paling bertanggungjawab dan paling bisa merubah nasib mereka.

    • betul. tapi bisa jadi penanggungjawabnya asyik dengan politik, duit dan urusan mempertahankan kekuasaan sehingga lupa akan tugas asalnya. maka jangan terlalu banyak berharap. kita kerjakan apa yang kita mampu saja!

  5. Wah, memang sampeyan penulis yang jeli! Dari daun jati aja bisa melahirkan sebuah tulisan. Aku gak nyangka bakat berbicara waktu SMA menjadikan sampeyan seorang penulis. Good….
    Aku juga anak yang lahir di pinggiran alas jati. Tapi yang jualan godong jati gak ada mas, opo aku lali yo?? He…he….

    • berbicara n menulis adalah dua hal yang kurang lebih sama. menemukan sisi menarik dari sebuah peristiwa dan menyampaikanyya kepada orang lain. aku sangat bersyukur dengan apa yang ku lalui saat sma bersama kawan kawan termasuk sampean. Tin, awak e dewe podo cah ndesone omahe pinggir alas jati gawene golek enthung hehehe

  6. Iya Pak, Masih Sangat Sangat Banyak Penduduk Indonesia yang membuthakan kesejahteraan untuk diri serta keluarganya. Sedangkan generasi Muda(Khususnya Mahasiswa Sekarang) Sudah Jarang Saya Lihat Membaur dgn Masyarakat Kalangan menengah Kebawah; Ke Mall Lah, Clubing Lah, Rapat BBM Lah, Iya mereka Rapat BBM Karena Mereka Pake Jazz, Tiger, Vixion. Ato Cuma ngomong Kasian pd org miskin di Warung kopi Pojokan jalan sambil menghabiskan rokok 1 bungkus dan pegang kartu d tangannya.

  7. ijin share ya mas :

  8. Ping-balik: Visi Besar Keluarga Entrepreneur dan Perceraian | Catatan Iman Supriyono

  9. Ping-balik: Entrepreneur Visi Besar dan Perceraian | Catatan Iman Supriyono

  10. Ping-balik: Entrepreneur Visi Besar dan Perceraian – SNF Consulting

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s