Memang Batavia adalah ibu kota Hindia Belanda. Batavia adalah pusat segala pusat bagi wilayah yang kelak menjadi Republik Indonesia ini. Tapi HOS Cokroaminoto membangun pondasi kemerdekaan melalui Soekarno dan kawan-kawan dengan diam-diam dari Surabaya. Sebuah kota yang kelak disemati gelar sebagai kota pahlawan. Bukan dari Jakarta.
Negara yang kini secara politik telah merdeka itu masih menggantungkan nyaris setiap kebutuhan barang dan jasanya kepada perusahaan-perusahaan asing. Belum merdeka secara ekonomi. Lalu, bisakah Surabaya secara diam-diam ambil peran untuk membangun pondasi kemerdekaan ekonomi? Mengkloning peran politik HOS Cokroaminoto untuk sektor ekonomi?
***
Tentang membangun kemerdekaan politik kita sudah bisa mempelajarinya melalui buku-buku sejarah. Bahkan kita sudah menikmati hasilnya dengan keberadaan republik ini. Lalu bagaimana membangun kemerdekaan ekonomi?
Mari belajar dari ketergantungan ekonomi negeri tercinta selama ini. Sekian lama mempelajari sejarah dan data konstalasi ekonomi dan bisnis berbagai negara, saya menyimpulkan bahwa sumber barang dan jasa yang selama menjadi penyedia kebutuhan negeri ini adalah perusahaan-perusahaan. Tentu saja bukan sembarang perusahaan. Melainkan perusahaan yang memiliki tiga hal berikut ini.
Pertama adalah visi yang kuat dari para pendiri dan pengelolanya. Visi kuat yang melampaui batas-batas negara. Ini mutlak karena sebuah perusahaan akan kalah kekuatan merek dan kalah efisien jika skala produk atau layanannya tidak mencakup wilayah geografis yang luas lintas bangsa lintas benua. Maka, jangan harap kita akan merdeka secara ekonomi jika visi para pendiri dan pengelola perusahaan masih berskala lokal.
Kedua, perusahaan tersebut memiliki core compentence yang diakui pasar. Ciri sederhananya, setiap melakukan ekspansi, perusahaan tersebut bisa mendapatkan omzet yang cukup untuk membuat aset yang digunakan untuk ekspansi terbayar melalui laba. Contoh ekspansi adalah membuka gerai baru bagi sebuah perusahaan ritel.
Ketiga adalah akses terhadap sumber modal murah yang nyaris tanpa batas. Saya pernah menulis tentang mindset “raja utang” yang mengakibatkan sebuah perusahaan tidak mampu memperoleh sumber modal dengan biaya murah. Disebut murah adalah apabila sebuah perusahaan bisa berekspansi dengan biaya modal sekitar 2% pertahun. Bandingkan dengan perusahan ber-mindset raja utang harus membayar biaya modal lebih dari 30% pertahun secara arus kas. Beda jauh sekali.
Itulah tiga hal yang harus dimiliki perusahaan agar unggul dalam persaingan dan menguasai pasar dunia. Tentu saja termasuk pasar Indonesia. Zara si ritel pakaian top dunia adalah contoh yang memiliki ketiganya. Pertanyaannya, bagaimana membantu para pendiri dan pengelola perusahaan menuju kesana? Apa hubungannya dengan Cokroaminoto? Apa hubunganya dengan Surabaya?
Membangun perusahaan dengan karakteristik seperti itu butuh para penggerak. Dalam sektor politik seperti Bung Karno dan murid-murid Cokroaminoto lain. Daaan…. Surabaya punya banyak kandidat-kandidat untuk itu. SNF Consulting punya banyak klien yang seperti ini dari Surabaya. Para founder yang sedang bekerja keras membangun perusahaan yang memiliki tiga hal tersebut melalui proses korporatisasi. Proses transformasi dari perusahaan perorangan menjadi korporat. Tidak mungkin perusahaan perorangan mampu memilikinya.
Tanda tangan Amancio Ortega
Mengapa cara diam-diam ala Cokroaminoto dan bukan cara ramai-ramai ala seminar ratusan orang? Diam-diam lebih powerfull. Air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan. Seperti kata hikmah Amancio Ortega, pendiri Zara. Menurut Ortega, seorang entrepeneur itu dikorankan (diviralkan) tiga kali saja sepanjang usianya yaitu saat lahir, menikah dan saat mati. Selebihnya hanya dikenal oleh keluarga, kawan dan kolega.
Maka, bagi para pendiri dan pengelola peruasaan yang mau jadi seperti Zara, kerjanya adalah di ruang-ruang rapat. Bukan di ruang seminar. Bukan di ruang publik. Mengevaluasi dan menyusun agenda stratejik dari waktu ke waktu. Forum seperti inilah yang sehari-hari saya dan kawan-kawan SNF Consulting sangat menikmatinya sebagai konsultan manajemen. Rapat stratejik di ruang rapat perusahaan klien. Harapannya, dalam beberapa tahun kedepan akan muncul perusahaan-perusahaan yang mampu membebaskan negeri ini dari ketergantungan kepada produk asing. Perusahaan sekelas Zara. Dari Surabaya, Bandar Lampung, Sorong, Malang…dan kota-kota kedua lainnya. Aamin.
Ditulis oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Atau ikut KELAS KORPORATISASI
Baca juga:
Modal Alfamart Mengejar Indomaret
Modal Murah Mitra Keluarga Menyalip Siloam
Pedal Gas Revenue and Profit Driver
RPD Sebagai Faktor Kali
RPD Sebagai Peredam Risiko Investasi Wakaf
Giant Tutup: Sulitnya Menemukan Kembali RPD
Deep Dive Sang CEO Mengamankan RPD
RPD Sebagai Salah Satu Tahap Corporate Life Cycle
Banyak yg mulai scale up kerjaannya ngisi seminar di mana2. Ternyata “profit” dari seminar bisa sama atau lebih besar dibandingkan dg profit dari perusahaan nya. Sampai akhirnya lebih suka cuap2 dapet duit & terkenal, dari pada berkeringat mengemban perusahaan nya