Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing


Misalnya Anda adalah pendiri dan perintis sebuah usaha air minum dalam kemasan dengan merek XYZ. Perusahaan yang Anda rintis dan tekuni sejak dua puluh tahun lalu itu saat ini menghasilkan laba Rp 10 Miliar (pertahun). Kini usia Anda  adalah 50 tahun. Suatu saat Anda didatangi oleh manajer pengembangan usaha Unilever menawari Anda untuk membeli 100% saham perusahaan Anda dengan harga 25 tahun laba alias Rp 250 Miliar. Anda dipersilahkan pensiun dengan menikmati laba 25 tahun kedepan dalam bentuk uang tunai. Anda tertarik tidak?  Ngiler tidak?

@@@

Banyak sekali perusahaan-perusahaan di negeri ini yang diakuisisi oleh perusahaan asing multinasional. Kecap Bango dan Teh Sariwangi  diakuisisi Unilever, Aqua diakuisisi Danone, Indosat oleh Ooredoo, XL oleh Axiata, Bank BII oleh Maybank, Bank Niaga oleh CIMB, Bank NISP oleh Bank OCBC. ABC oleh Heinz dan masih banyak lagi. Bagaimana akuisisi seperti itu bisa terjadi?

Ada beberapa alasan mengapa sebuah akuisisi bisa terjadi. Pertama, adanya fenomena crowding effect yang makin nyata di dunia bisnis. Konsumen hanya akan mau membeli produk yang mereknya dikenal dan dipakai dimana-mana di seluruh dunia. Ada juga fenomena career choice effect. Anak-anak muda memilih berkarir di perusahaan yang hadir dimana-mana di seluruh dunia. Dalam kedua fenomena yang sudah pernah saya tulis ini, akuisisi adalah cara cepat agar sebuah perusahaan bisa masuk pasar berbagai negara.

Ketika mau masuk pasar Indonesia, terlalu berat bagi Ooredoo misalnya untuk mendirikan perusahaan operator seluler baru. Bahkan nyaris mustahil. Operator yang ada saja tingkat persaingannya sudah sangat tinggi. Operator-operator kecil sudah gulung tikar. Akuisisi menjadi satu-satunya cara.

Kedua, kebutuhan perusahaan yang akan diakuisisi. Di dunia perbankan misalnya, sebuah bank yang tumbuh pesat membutuhkan setoran modal secara terus-menerus untuk mempertahankan tingkat modal minimum alias CAR. Sementara para pendiri dan pesaham yang ada seluruh asetnya sudah disetorkan. Maka, akuisisi adalah cara yang logis untuk memenuhi kebutuhan modal tersebut. Selanjutnya perusahaan pengakuisisi akan menyetor berapapun kebutuhan modalnya.

Untuk perusahaan non perbankan memang tidak ada regulasi yang mewajibkan modal minimum seperti di perbankan. Tapi kebutuhan modal mendesak itu tetap ada. Desakan misalnya bisa berasal dari para distributor yang minta barang segera disediakan. Butuh pabrik baru.  Sementara laba yang ada belum bisa terkumpul untuk pembangunan pabrik, maka setoran modal baru adalah sebuah keniscayaan.

Ketiga, adanya tawaran menggiurkan. Inilah senjata sakti perusahaan pengakuisisi. Seperti dalam pembukaan tulisan ini. Para pendiri perusahaan yang telah bekerja keras mendirikan, merintis dan mengembangkan usaha dengan segala susah payahnya diberi tawaran untuk pensiun, istirahat dan menikmati laba selama 25 tahun kedepan berupa uang tunai diterimakan saat ini. Tergiur tidak?

Akusisi dan merger adalah transaksi dalam rangka korporatisasi. Ikuti KELAS KORPORATISASI. Daftar http://www.klikwa.net/snfconsulting

Lalu, bagaimana perusahaan pengakuisisi mendapatkan dana sebesar itu dan bagaimana perhitungannya? Bagaimana menghasilkan  laba jika harus mengeluarkan uang setara dengan 25 tahun laba?  Di sinilah kuncinya. Mereka adalah perusahaan ter korporatisasi. Mereka adalah korporasi sejati.  Jika butuh modal tinggal mengumumkan penerbitan saham baru (rights issue) di lantai bursa. Uang dari perusahaan-perusahaan investasi (investment company, IC) pun mengalir deras dengan tuntutan dividen kecil. Sekitar 2-3% per tahun. Para pemegang saham Unilever cukup dengan dividen sebesar 3,28% dari duit yang disetorkannya. Investor mau ROI rendah karena ada harapan capital gain.  Prosentase inilah yang menjadi dasar perhitungan Unilever saat melakukan akuisisi.

Itulah logika akuisisi. Itulah jawaban mengapa satu demi satu perusahaan di tanah air diakuisisi oleh pemain global. Jika tidak ingin diakuisisi, satu-satunya cara adalah membesar melalui korporatisasi melalui 8 langkah corporate life cycle dan kemudian justru memiliki kemampuan untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan sejenis di luar negeri. Persis seperti cara yang dilakukan Unilever. Bagaimana, mau diakuisisi atau mengakuisisi?


Tulisan ini pernah dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca juga:

RPD Sebagai Peredam Risiko Investasi Wakaf
RPD Sebagai Pedal Gas
Giant Tutup: Sulitnya Menemukan Kembali RPD
Deep Dive Sang CEO Mengamankan RPD
RPD Sebagai Salah Satu Tahap Corporate Life Cycle
Faktor kali alias RPD
Garuda, pailit atau korporatisasi?
Krakatau Steel: Tercekik Utang

Raja Utang: Mengapa Bunga Bank Selangit?
Garuda: Utang Melebihi Aset

29 responses to “Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing

  1. Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono

  2. Ping-balik: Semen Indonesia: Jebloknya Arus Kas Pasca Akuisisi Super Mahal Holcim | Catatan Iman Supriyono

  3. Ping-balik: Mengapa Rupiah Konsisten Melemah Sejak 1948? | Catatan Iman Supriyono

  4. Ping-balik: Sari Roti, Intangible Asset: Menguangkannya? | Catatan Iman Supriyono

  5. Ping-balik: Direktur & Komisaris: Rancunya Peran Stratejik & Administratif | Catatan Iman Supriyono

  6. Ping-balik: Erick Thohir Jadi Raja Utang atau BUMN Insyaf? | Catatan Iman Supriyono

  7. Ping-balik: Investor China atau Arab? | Catatan Iman Supriyono

  8. Ping-balik: Perusahaan Keluarga Haruskah Melakukan Korporatisasi? | Catatan Iman Supriyono

  9. Ping-balik: Waralaba atau Korporatisasi? | Catatan Iman Supriyono

  10. Ping-balik: Bunga Bank 3% & Jokowi: Investment Banking | Catatan Iman Supriyono

  11. Ping-balik: Perusahaan Berkemajuan: Toyota | Catatan Iman Supriyono

  12. Ping-balik: Jiwasraya-Prudential Si Kakak-Adik Beda Nasib: Masalah Stratejik atau Fraud? | Catatan Iman Supriyono

  13. Ping-balik: Endowment Fund Alumni: Peran Besar | Catatan Iman Supriyono

  14. Ping-balik: Pajak: Dikejar Petugas atau Beramal? | Catatan Iman Supriyono

  15. Ping-balik: Ironi Buy Back OJK: Dekorporatisasi | Catatan Iman Supriyono

  16. Ping-balik: Korporatisasi: Asal Muasal & Peran | Catatan Iman Supriyono

  17. Ping-balik: Efek Bisnis Coronaa dan Analogi Nilai Rata-Rata Kelas | Catatan Iman Supriyono

  18. Ping-balik: Investment Company: Apa & Bagaimana Memulainya? | Catatan Iman Supriyono

  19. Ping-balik: Samudera Indonesia: Pejuang Dulu Pejuang Kini | Catatan Iman Supriyono

  20. Ping-balik: SunRice: Korporasi Beras dari Negeri Gandum | Catatan Iman Supriyono

  21. Ping-balik: Pizza Hut Terancam Bangkrut? | Catatan Iman Supriyono

  22. Ping-balik: Inilah Cara Investment Company Wakaf Dimulai – Wakafpreneur Institute

  23. Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah – SNF Consulting

  24. Ping-balik: Ironi Buy Back OJK: Dekorporatisasi – SNF Consulting

  25. Ping-balik: Perusahaan Berkemajuan: Toyota – SNF Consulting

  26. Ping-balik: Semen Indonesia: Jebloknya Arus Kas Pasca Akuisisi Super Mahal Holcim – SNF Consulting

  27. Ping-balik: Mengapa Rupiah Konsisten Melemah Sejak 1948? – SNF Consulting

  28. Ping-balik: Sejarah Heineken: Kekuasan Belanda & Raja Miras RI | Catatan Iman Supriyono

  29. Ping-balik: Sejarah Heineken: Kekuasaan Belanda & Raja Miras RI | Catatan Iman Supriyono

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s