Tulisan ini melengkapi tulisan terdahulu tentang crowding effect. Singkat cerita, crowding effect adalah fenomena dimana konsumen akan terkonsentrasi pada merek-merek yang dipakai secara luas dimana-mana. Merek-merek lain akan ditinggalkan dan mati. Fenomena ini sangat jelas terjadi pada matinya toko-toko kelontong dan pasar tradisional digantikan oleh mini market modern yang menjamur dimana-mana.
Untuk tulisan pelengkap ini, saya menyebutnya sebagai career choice effect. Fenomena pilihan karir. Sebuah fenomena di dunia bisnis kekinian di mana perusahaan yang tidak tumbuh akan dijauhi oleh anak-anak muda berbakat. Fenomena ini dirasakan oleh perusahaan kecil berupa sulitnya merekrut karyawan yang berkualitas. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan besar merasakannya berupa melimpahnya peminat saat proses perekrutan.
&&&
“Warung Makan Lumajang. Tidak buka cabang”. Ini adalah sebuah tulisan menarik pada papan nama sebuah resto. Saya menjumpainya saat lari pagi di sekitar kawasan Masjid Raya kota Sorong, Papua Barat. Sebuah tulisan yang sebenarnya sudah sering saya jumpai sebelumnya. Sebuah tulisan yang sebenarnya sangat berbahaya tetapi tidak disadari oleh pemiliknya. Mungkin maksudnya adalah untuk mencegah agar orang lain tidak membuka resto dengan memalsukan nama resto miliknya. Tapi lupa bahwa tulisan itu mengandung bahaya besar bagi bisnisnya.
Di mana bahayanya? Yang pertama tentu karena secara psikologis itu adalah afirmasi yang membuat bisnis tidak berkembang. Ana ‘inda thonni ‘abdi. Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku. Demikian sebuah hadits qudsi. Pemilik resto itu menyangka dan mengafirmasikan bahwa bisnisnya hanya satu resto. Bahwa bisnisnya tidak berkembang. Hasilnya akan benar-benar seperti yang ditulis.

SDM terbaik memilih tempat kerja terbaik
Yang kedua terjelaskan dengan adanya fenomena pilihan karir. Anak muda berkualitas tidak akan mau bekerja di resto yang hanya punya satu gerai. Tidak mau bekerja pada resto yang tidak tumbuh. Tidak ada peluang perkembangan karir di resto seperti ini. Struktur organisasi nya hanya dua level. Kepala resto dan karyawan. Kepala restonya adalah sang pemilik. Selain itu semuanya adalah karyawan. Maka, untuk menjadi kepala resto saja, seorang karyawan harus menunggu sang pemilik pensiun atau meninggal dunia. Padahal kalau pensiun atau meninggal, penggantinya adalah anak si pemilik. Maka, nyaris mustahil para karyawan meningkat karirnya menjadi kepala toko.
Bandingkan dengan anak muda yang juga bekerja di bisnis sejenis Warung Lumajang itu: McDonald’s. Menurut laporan tahun 2016, resto yang sering disebut McD ini setiap hari rata-rata membuka lebih dari satu gerai baru di berbagai penjuru dunia. Kini sudah beroperasi dan menjadi market leader bisnis resto di lebih dari 100 negara. Termasuk Indonesia. Total gerai nya hampir 40 ribu. Maka, setiap hari dibutuhkan satu kepala resto baru. Dan di atas kepala resto masih ada banyak level jabatan sampai pada posisi direktur utama alias CEO. CEO pun dipilih berdasarkan sistem manajemen karena sudah tidak ada lagi pemegang saham pengendali. Ini adalah jalur karir yang menantang bagi para pemuda. Belum lagi peluang untuk dipromosikan di lebih dari 100 negara. Tentu saja juga diikuti dengan peningkatan gaji dan fasilitas.

Walmart: perusahaan dengan lebih dari 1,5 juta karyawan
Maka, anak-anak muda berbakat lulusan terbaik dari berbagai perguruan tinggi favorit akan lebih memilih bekerja di perusahaan-perusahaan besar yang terus tumbuh seperti McD itu. Perusahaan-perusahaan stagnan seperti Warung Lumajang di Sorong itu hanya akan menjadi alternatif terakhir. Setelah melamar di berbagai perusahaan besar tidak diterima, barulah mau bekerja di warung yang stagnan.
Padahal, dalam persaingan antar perusahaan, SDM adalah faktor kunci keberhasilan. Jika SDM terbaik sudah masuk ke perusahaan-perusahaan besar yang tumbuh pesat, matinya perusahaan-perusahaan kecil dan stagnan hanyalah soal waktu. Itulah bahaya yang tidak disadari oleh pemilik warung Lumajang di Sorong itu.
Pembaca yang baik, itulah fenomena pilihan karir. Anak-anak muda terbaik hanya mau bekerja di perusahaan yang tumbuh pesat. Maka, perusahaan-perusahaan harus memilih: tumbuh pesat atau mati. Tentu saja tumbuh pesat lebih menarik dari pada mati. Bagaimana supaya tumbuh pesat? Yang pertama dan utama adalah visi dan mindset. Hilangkan pola pikir “tidak buka cabang”. Setelah itu, tidak ada cara lain untuk tumbuh pesat melewati batas-batas negara seperti yang dilakukan oleh McD kecuali dengan melakukan korporatisasi. Pembaca yang baik, perusahaan tempat Anda berkarya sudah sadar akan fenomena crowding effect? Sudah sadar akan fenomena career choice effect? Sudah melakukan korporatisasi?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
*)Tulisan Iman Supriyono ini pernah dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya
Ping-balik: Dari Masjid Jogokariyan Ke Al Azhar: Konversi Kotak Infaq ke Kotak Wakaf | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kampus Sekolah Pesantren, Jangan Berbisnis! | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Entrepreneur, Jangan Menyebut Diri Sebagai UKM | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Dari Monopoli ke Monopolistik | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sari Roti, Intangible Asset: Menguangkannya? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Perusahaan Keluarga Haruskah Melakukan Korporatisasi? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Jean Paul Agon: Kultur Perusahaan Kelas Dunia | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi: Fokus | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pailit: DAJK | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Terpaksa: Agung Podomoro | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Yunior-Senior: Alfamart Vs. Sakinah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: SunRice: Korporasi Beras dari Negeri Gandum | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah – SNF Consulting
Ping-balik: Yunior-Senior: Alfamart Vs. Sakinah – SNF Consulting
Ping-balik: Jean Paul Agon: CEO & Kultur Perusahaan Kelas Dunia – SNF Consulting
Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Korporatisasi
Ping-balik: Dekomposisi Manajemen: Belajar Naik Sepeda | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner | Korporatisasi
Ping-balik: Tinggalkan Mentalitas Business Owner - SMN Digest
Ping-balik: Mitra Keluarga Menyalip Siloam: Modal Murah 2% Per Tahun | Korporatisasi