Sentul City: Intangible Asset Membakar Tangible Asset


Akuntansi mencatat aset berdasarkan harga perolehan. Sifatnya historis. Sesuatu yang nyata dan sudah terjadi pada masa lampau. Akuntansi juga mencatat utang sesuai dengan fakta historis. Dengan demikian, selisih antara aset dan utang alias ekuitas adalah sebuah fakta hasil dari proses historis perusahaan.

Sebagai contoh, PT Sentul City Tbk. pada laporan keuangan terbarunya, 30 September 2019, mencatatkan total aset sebesar Rp 17,005 triliun. Rinciannya, antara lain, berupa uang kas Rp 212 miliar. Berupa piutang Rp 1,163 triliun. Persediaan yaitu tanah dan bangunan siap dijual Rp 2,836 triliun. Tanah untuk penembangan (land bank) Rp 9,058 triliun. Properti investasi (properti untuk disewakan, bukan untuk dijual) Rp 1,866 triliun. Semuanya dicatat berdasar harga perolehan alias uang yang benar-benar dibayarkan oleh perusahaan. Atau utang yang harus dibayar di kemudian hari.

Nilai utang perusahaan yang berdiri sejak tahun 1993 ini adalah Rp 6,370 triliun. Pada laporan keuangannya, perusahaan yang melakukan IPO tahun 1997 ini menyebut rincian utang antara lain sebagai berikut. Utang usaha Rp 465 miliar. Utang pajak Rp122 miliar. Utang jangka pendek lain-lain Rp 1,186 triliun. Total utang jangka pendek Rp 3,218 triliun. Utang bank jangka panjang Rp 1,984 triliun. Utang uang muka pelanggan Rp 685 miliar. Total utang jangka panjang Rp 3,152 triliun.

Dengan aset dan utang tersebut, pengembang kawasan hunian Sentul City yang luasnya  sekitar 3100 hektar ini memiliki aset bersih alias ekuitas sebesar Rp 10,635 triliun. Dalam laporannya, perusahaan yang didirikan oleh Salimin Prawiro Sumarto dan Tommy Soeharto ini melaporkan rincian ekuitas sebagai berikut. Modal disetor sesuai akta perusahaan Rp 6,348 triliun. Uang ini disetor oleh para pemegang saham baik pendiri maupun yang datang kemudian. Agio saham Rp 742 miliar. Ini adalah penghargaan pemegang saham non pendiri kepada intangible asset perusahaan saat yang bersangkutan masuk sebagai pemegang saham melalui penerbitan saham baru. Laba ditahan Rp 2,417 triliun. Ini adalah laba yang menjadi hak pemegang saham tetapi tidak diambil dan dibiarkan tetap berada di perusahaan. Ekuitas Rp10,653 triliun itu benar benar riil sesuai dengan catatan fakta historis. Dunia finansial menyebutnya sebagai nilai buku alias book value.

Sebagai perusahaan publik, harga saham akan mengalami fluktuasi. Hari ini harga saham Sentul City berada pada angka Rp 50 per lembar saham. Angka inilah yang dikenal sebagai nilai pasar per lembar saham. Dengan harga seperti itu, total nilai 100% saham adalah Rp 3.35 triliun. Inilah yang dalam istilah keuangan dikenal sebagai nilai pasar alias market value. Banyak yang secara salah kaprah menyebutnya sebagai valuasi. Mestinya value singkatan dari market value.

Ada yang menarik: nilai pasar jauh lebih kecil daripada nilai buku. Gambaran sederhananya: jika aset tanah pengembangan (land bank), properti investasi, dan seluruh persediaan dijual dengan harga sesuai buku. Lalu hasil penjualan itu ditambah dengan uang kas, persediaan dan seluruh aset lain, maka akan diperoleh nilai Rp 17,005 triliun. Jika uang tersebut sebagian digunakan untuk melunasi utang senilai Rp 6,370 triliun, masih akan tersisa uang tunai sebesar Rp 10,653 triliun.

Padahal, tanah pengembangan yang telah dibeli belasan tahun atau lebih tentu saja nilainya sudah naik.  Properti investasi dan persediaan pun demikian. Sementara utang cukup dibayar sesuai catatan akuntansi.  Logisnya, nilai Rp 10,653 triliun itu masih terlalu kecil.

Tetapi, fakta pasar hari ini berbeda. Para investor hanya mengapresiasi seluruh apa yang ada pada perusahaan dengan nilai Rp 3,35 triliun. Ada selisih minus sebesar Rp 7,303 triliun. Ini bisa terjadi karena berbagai hal seperti lesunya dunia bisnis karena efek pandemi corona dan banyak variabel lain.

Selain aset yang dilaporkan secara akuntansi, perusahaan masih memiliki intangible asset berupa merek, nilai sejarah, kekuatan sistem manajemen, hubungan dengan pemasok, hubungan dengan bank, hubungan dengan pelanggan dan sebagainya. Siapa yang tidak kenal kawasan perumahan prestisius Sentul City? Ini mestinya ada nilainya. Dan mestinya nilainya besar. Lebih besar dari pada nilai aset fisiknya.

Andai saja intangible asset ada nilainya. Nilai positif, katakan Rp 5 triliun misalnya, harusnya nilai pasar perusahaan adalah Rp 15,653 triliun. Rp 10,653 triliun adalah berupa tangible asset sesuai catatan akuntansi. Rp 5 triliun adalah intangible asset berupa merek, nilai sejarah, kekuatan sistem manajemen, hubungan dengan pemasok, hubungan dengan pelanggan dan sebagainya. Inilah  idealnya.

api membakar tangible asset

Intangible asset negatif alias intangible liability membakar dan menenggelamkan dalam-dalam tangible asset

Tetapi bagi Sentul City, kenyataan berkata lain.  Yang ada bukan intangible asset bernilai positif. Yang ada justru intangible asset bernilai negatif. Menggerogoti tangible asset yang nilainya Rp  10,653 triliun dan menyisakan hanya sebesar Rp 3,35 triliun. Menguap Rp 7,303 triliun. Intangible asset bernilai negatif. Saya menyebutnya sebagai intangible liability.

&&&
kelas intangible asset promo versi partner1

Pembaca yang baik, perusahaan yang memiliki intangible asset bisa menguangkannya menjadi modal murah untuk ekspansi perusahaan.  Hasilnya, cost of capital perusahaan akan murah. Jauh lebih  murah daripada bunga bank. Sari Roti misalnya menikmati ini. Tentu ada rumusnya bagaimana menyemai, merawat, membangun dan menguangkan intangible asset untuk sumber modal perusahaan. Silakan membacanya di link ini.

Kelas intangible asset batch 2-1

Ikuti KELAS INTANGIBLE ASSET dari SNF Consulting diasuh oleh penulis artikel ini via Zoom. Daftar https://wa.me/6281358447267

Sebaliknya, ada juga perusahaan yang kerja kerasnya sepanjang sejarah justru menghasilkan intangible liability. Menghasilkan intangible asset negatif. Menggerogoti tangible asset. Menggerogoti nilai properti yang dimiliki perusahaan. Menggerogoti nilai persediaan. Menggerogoti nilai kas.  Bahkan menenggelamkannya dalam-dalam. Atau membekarnya.  Seperti yang terjadi pada PT Sentul City Tbk. Inilah intangible liability. Mari ambil pelajaran. Mari hindari.

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram SNF Consulting atau Gabung Grup WA SNF Consulting

*)Artikel ke-264 ini ditulis pada tanggal 27 Mei 2020 oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting.

10 responses to “Sentul City: Intangible Asset Membakar Tangible Asset

  1. Azrul Novrizal

    Bukannya semua emiten skrg ini emng market valuenya turun ya Cak? Yg dulunya overvalue jadi undervalue. Tidak hanya BSDE tapi juga PPRO, ASRI, dll

  2. Ping-balik: Menguangkan Intangible Asset: Sari Roti | Catatan Iman Supriyono

  3. Ping-balik: Samudera Indonesia: Pejuang Dulu Pejuang Kini | Catatan Iman Supriyono

  4. aeon mall mau dibuka pak .. sentul bsa jadi kota barunya bogor .. potensi penjualan rumah dan nilai asetnya akan meningkat .. who knows bsa bangkit dari kuburnya ..

  5. Ping-balik: Samudera Indonesia: Pejuang Dulu Pejuang Kini – SNF Consulting

  6. Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi

  7. Ping-balik: Bukaka Yang Menua | Korporatisasi

  8. Ping-balik: Marriot dan Light Asset Company | Korporatisasi

Tinggalkan komentar