Jelang ramadhan tahun lalu saya mengunjungi Rusia, Kyrgyzstan dan Uzbekistan. Negeri-negeri yang sangat menarik. Negara-negara yang lama berada dalam kekuasaan Uni Soviet sebelum akhirnya bubar. Total ada 16 negara yang berbahasa Rusia dan kini menggunakan sistem ketatanegaraan dan hukum yang hampir sama. Suasana sosial ekonomi masyarakatnya juga hampir sama.
Mereka adalah negara muda. Dengan demikian mereka sedang dalam proses membangun. Disinilah ada peluang besar. Dalam rangka itulah kunjungan saya kali itu. Membuka pasar. Dalam keterasingan bahasa dan tulisan, beruntung karena saya datang bersama kawan tim konsultan SNF Consulting yang memang orang Kyrgyzstan. Komunikasi dan segala sesuatunya dilakukan melalui kawan ini. Termasuk dalam berkomunikasi dengan kalangan bisnis lokal.

Kota Osh, kota terbesar kedua di Kyrgyzstan, dipotret dari Bukit Sulaiman yang berlokasi di pinggiran kota tersebut. Di kota ini merek dan perusahaan USA dan barat mulai hadir di berbagai sektor. Foto koleksi pribadi penulis.
Moscow, Osh, Bishkek dan Tashkent. Empat kota itulah yang saya kunjungi dalam waktu sekitar seminggu. Yang menarik, merek dan perusahaan Amerika dan barat pada umumnya sudah hadir. Coca cola, McD, KFC, Chevrolet, Mercedes adalah sekedar menyebut beberapa contoh yang mudah ditemui di kota-kota itu. Baru mendarat di Bandara Dodonovo sudah langsung berjumpa KFC dan McD.

Peran Samudera Indonesia sebagai perusahaan dari negeri bahari harus makin diperluas. Agar melebihi Maersk yang tidak berasal dari negeri bahari.
Satu yang saya cari-cari tetapi tidak ketemu: perusahaan dan merek Indonesia. Moga upaya SNF Consulting untuk hadirnya perusahaan dan merek Indonesia di negara-negara muda ini segera berbuah hasil. Inilah perjuangan untuk NKRI di era korporasi. Membangun perusahaan-perusahaan karya anak negeri yang mampu melayani pasar dunia melalui korporatisasi.
&&&
PT Samudera Indonesia Tbk., selanjutnya disebut SI, berdiri sebagai PT Pelayaran Samudera pada tahun 1964. Pendirinya adalah Soedarpo Sastrosatomo, seorang yang juga dikenal sebagai pejuang Republik di meja perundingan seperti Perundingan Linggarjati. Tahun 1967, perusahaan ini memulai aktivitas pelayaran antar pulau. Tahun 1975 melengkapi usahanya dengan mendirikan perusahaan angkutan darat dengan armada 100 truk. Tahun 1990 mulai masuk bisnis pelayaran sebagai container feeder. Tahun 1991 melengkapi diri dengan masuk bisnis depo petikemas. Tahun 1993 mendirikan Samudera Shipping Line (SSL) di Singapura sebagai anak perusahaan. Tahun 1994 melalui SSL mulai melayani jalur Jakarta-Bangkok yang kemudian dikembankgan ke India, Srilangka, Malaysia. Tahun 1997 SSL melakukan IPO di Singapore Stock Exchange. Tahun 1999 SI IPO di Bursa Efek Indonesia. Tahun 2002 melalui SSL mendirikan perusahaan joint venture di India dan Malaysia. Tahun 2004 melalui SSL mendirikan perusahaan JV di Thailand untuk memperkuat penetrasi pasar disana. Tahun 2005 masuk bisnis transportasi LNG. Tahun 2007 melalui SSL melayani jalur pelayaran Singapura-Chittagong (Bangladesh) yang juga melayani pasar India. Tahun 2008 SLL menerima 2 kapal kontainer yang telah dipesan sebelumnya dan mulai melayani jalur Yangon (Myanmar)-Singapura. Tahun 2010 mengelola Terminal Peti Kemas Palaran, Samarinda. Tahun 2011 melalui SSL membeli 3 kapal kontainer dan 2 kapal curah. Tahun 2014 mulai melayani jalur Singapura – Kamboja. Tahun 2015 melalui SSL melayani jalur Singapura-Kuantan (Malaysia)-Songkla (Thailand) dan mendirikan anak perusahaan logistik di Dubai. Tahun 2018 masuk bisnis cold logistic melalui akuisisi PT Adib Cold Logistic. Tahun 2018 melalui SSL mendirikan perusahaan JV di Malaysia.
Sejarah ini menunjukkan bahwa SI adalah aset bangsa. Pengibar sang merah putih di berbagai negara. Hadir dengan 16 kantor perwakilan di 6 negara yaitu Singapura, Malaysia, India, Vietnam, Thailand dan Uni Emirat Arab. Kantor-kantor itu melayani pelanggan dari 12 negara. Melalui SSL saja SI melayani dunia dengan 24 kapal kontainer, 2 kapal tanker bahan kimia, dan 1 kapal 1 tanker gas.
&&&
Sesuai laporan terauditnya, per tanggal 31 Desember 2019 SI memiliki aset USD 517 juta atau Rp 7,613 triliun, kurs hari ini. Inilah uang yang akan diperoleh jika semua kapal dijual satu persatu, semua tanah dan bangunan dijual satu demi satu, dan semua aset dijual dengan harga sesuai catatan akuntansi.
Sementara itu, utangnya SI USD 270 juta (Rp 3,976 triliun). Seandainya seluruh aset perusahaan dijual dengan harga sesuai catatan akuntansi dan seluruh utang dibayar dengan nilai sesuai catatan akuntansi, maka SI masih memiliki uang USD 247 juta (Rp 3,637 triliun). inilah ekuitas SI. Inilah yang dalam terminologi finansial juga disebut sebagai nilai buku perusahaan. Dari angka ini bisa dihitung nilai buku per lembar saham. USD 247 juta dibagi 3, 275 120 000 lembar saham yaitu Rp 1 110 per lembar saham.
Nilai buku di atas berasal dari modal disetor USD 47 juta (Rp 692 miliar), agio saham (karena SI pernah menerbitkan saham baru melalui IP0 tahun 1999 dengan harga lebih tinggi dari pada nilai buku) USD 4 juta (Rp 59 miliar), selisih nilai transaksi ekuitas anak, penghasilan komprehensif lain dan laba ditahan USD 132 juta (Rp 1,944 triliun).
Hari ini harga saham SI adalah Rp 143 per lembar. Nilai pasar seluruh (saham) perusahaan adalah Rp 486 miliar. Sejumlah inilah uang yang akan diterima oleh seluruh pemegang saham jika mereka menjual seluruh saham yang mereka miliki dengan harga sesuai pasar.
Dalam persentase, nilai pasar SI adalah 13% nilai buku. Normalnya, nilai pasar lebih besar dari nilai buku. Perusahaan memiliki merek, sistem manajemen, sejarah panjang, kepercayaan pemasok, kepercayaan pelanggan, dan banyak lagi yang nilainya tidak bisa dimasukkan catatan akuntansi. Inilah yang disebut intangible asset. Pada perusahaan bermerek kuat, nilai intangible asset jauh lebih besar dari pada tangible asset. Nilai pasar adalah penjumlahan antara nilai buku (tangible asset) dengan intangible asset.
Tetapi SI justru sebaliknya. Ini masalahnya. Nilai pasar justru jauh lebih kecil dari nilai buku. Dengan demikian, intangible assetnya adalah minus Rp3,151 triliun. Merek, sistem manajemen, sejarah panjang, kepercayaan pemasok, kepercayaan pelanggan dan seluruh intangible asset bernilai minus. Padahal sejarah SI begitu luar biasa. Didirikan oleh seorang pejuang diplomasi NKRI. Tetapi fakta pasar menunjukkan bahwa itu semua itu bukan lagi menjadi intangible asset yang meningkatkan nilai perusahaan. Justru sebaliknya, menggerogoti. Saya menyebutnya sebagai intangible liability.
Gambarannya, andai saja SI hari ini menerbitkan saham sebesar 1 miliar lembar saham baru, investor akan membelinya dengan harga Rp 143 miliar alias Rp Rp 143 per lembar saham. Penerbitan ini akan menjadikan nilai buku naik dari Rp 3,637 triliun menjadi Rp3,780 triliun. Jumlah lembar saham menjadi 4 275 120 000 lembar sehingga nilai buku per lembar saham menjadi Rp 884. Penerbitan saham pada harga pasar justru menurunkan nilai buku yang semula Rp 1110. Merugikan perusahaan dan merugikan pemegang saham yang telah ada sebelumnya.
Artinya, dalam kondisi seperti saat ini, pada kadar tertentu SI telah mengalami apa yang disebut IPO trap. SI terjebak pada harga saham dibawah harga buku sehingga menghambat kelanjutan proses korporatisasi yang telah dimulai dengan IPO tahun 1999 itu. Mestinya IPO adalah sebuah titik dari perjalanan panjang korporatisasi perusahaan. Setelah IPO terus menerus melakukan rights issue untuk ekspansi baik organik maupun anorganik.
&&&
Jika pasar (para investor) melihat SI memiliki intangible asset, harga saham mestinya di atas nilai buku. Di atas Rp 1 110 per lembar saham. Pertanyaannya, mengapa sampai terjadi kondisi sebaliknya? Ada banyak penyebab. Berikut ini empat diantaranya.
Pertama, pendapatan dalam 4 tahun terakhir cenderung stagnan yaitu (USD juta) 406 (2016), 430, 482 dan 438 (2019). Terjadi kenaikan 8% dalam periode tersebut. Kenaikannya kalah dengan inflasi.
Kedua, laba dalam 4 tahun berturut-turut adalah (USD, juta) 11, 12, 7 dan rugi 60 juta pada tahun 2019. Kerugian terjadi karena perusahaan menjual aset dengan harga di bawah nilai buku. Jika tahun 2019 tidak diikutkan, Laba rata-rata 2016-2018 adalah USD 10 juta. Dengan nilai buku rata-rata 3 tahun tersebut sebesar USD 304 juta maka Return on Equity (ROE) SI adalah 3%. ROE ini terlalu kecil. ROE yang terlalu kecil artinya tidak memberi ruang kepada investor untuk mengapresiasi intangible asset perusahaan
Sebagai gambaran, andai investor mengapresiasi intangible asset dalam 3 tahun tersebut sama dengan nilai bukunya, maka nilai pasar akan menjadi 2x USD 304 juta yaitu USD 608 juta. Dengan demikian ROI dimata investor adalah USD 10 juta dibagi USD 608 juta yaitu 1,6% per tahun. Terlalu kecil. Apalagi bagi investor lokal yang biasa melihat return deposito bank sebesar 6% per tahun.
Ketiga, ROI rendah tidak masalah seandainya perusahaan menerapkan strategi pertumbuhan pesat. Pada perusahaan start up, kondisi rugi pun investor tertarik untuk masuk. Mereka menyukai pertumbuhan pesat. Pertumbuhan pesat adalah bahan bakar capital gain bagi investor. Ciri strategi pertumbuhan pesat adalah perusahaan berinvestasi dengan nilai berkali-lipat laba. Kas untuk investasi SI tahun 2016-2018 masing-masing adalah (USD, juta) 21, 7, dan 27 alias USD 18 juta per tahun. Ini termasuk rendah karena hanya 1,8 kali laba.
Rendahnya investasi juga merupakan konsekuensi logis dari kebijakan perusahaan yang tidak pernah menerbitkan saham lagi sejak IPO tahun 1999. Proses korporatisasi SI berhenti dengan IPO. Angka investasi 1,8 kali laba sudah maksimum dengan sumber dana arus kas operasional dan utang perusahaan. Rasio utang terhadap ekuitas (DER) sudah pada angka 1.09.
Jika ketiga penyebab tersebut bersifat murni internal, penyebab keempat adalah masalah yang berhubungan dengan eksternal yaitu kondisi lantai bursa. Nilai pasar Rp 486 miliar itu terlalu mini bagi Bursa Efek Indonesia yang kapitalisasi pasarnya Rp 6 ribu triliun lebih. Ini ibarat berlayar di samudera yang ombaknya setinggi 5 meter dengan perahu yang panjangnya hanya 3 meter. Terombang-ambing ombak. Bahkan bisa tergulung.
Memang saat ini harga saham cenderung turun. Tetapi secara historis kapitalisasi pasar tertinggi SI adalah 4,88 kali saat ini yaitu Rp 2,372 triliun. Ini pun masih terlalu kecil. Ukuran seperti ini mestinya lebih tepat melakukan korporatisasi di luar lantai bursa seperti yang saat ini dilakukan oleh Gojek, Traveloka atau Ruang guru. Menerbitkan saham melalui private placement. Gojek masih terus mengambil langkah ini sampai market valuenya puluhan bahkan diatas Rp 100 triliun. Baru akan IPO setelah benar-benar besar seperti yang dilakukan oleh Alibaba. Dengan demikian telah siap berlayar di samudra berombak 5 meter dengan kapal besar seperti kapal-kapal SI saat ini.
Bagaimana dengan IPO SSL sebagai anak perusahaan di Singapore Stock Exchange? Ini juga sebuah langkah yang tidak tepat. Best practice-nya, anak perusahaan harus sepenuhnya bisa dikontrol oleh induk. Sahamnya 99,9% (secara legal tidak mungkin 100%) dipegang induk. Bahkan jika anak perusahaan sebelumnya telah listed karena hasil akuisisi pun harus dilakukan delisting. Seperti delisting yang dilakukan oleh Mount Elizabeth Hospital setelah diakuisisi oleh IHH dari Kuala Lumpur. Atau delisting Aqua setelah diakuisisi oleh Danone. Saham yang dimiliki publik dibeli dengan harga premium untuk delisting. Anak perusahaan harus 100% dalam kontrol induk. Yang listed cukup induk. Kebutuhan dana diperoleh dari rights issue alias penerbitan saham baru si induk agar lebih efisien dan efektif.
&&&
Kembali ke suasana negeri-negeri bekas Uni Soviet yang peluangnya besar seperti di atas. Bagaimana peluang SI untuk berekspansi lebih luas lagi? Di dunia ini ada lebih dari 200 negara. Mari kita berkaca pada pemain terbesar bisnis pelayaran: Maersk.

Tashkent-Uzbekistan: Ruang publik dengan taman yang luas di tengah kota adalah karakter kota-kota eks Uni Soviet. Tampak Hotel Uzbekistan yang dibangun sejak era Soviet sebagai hotel terbesar di ibu kota Uzbekistan itu. Foto koleksi pribadi
Shipping company besutan AP Moller ini masuk pada 2000 perusahaan terbesar dunia Forbes tahun 2020. Tepatnya urutan ke-622 berdasarkan laba, omzet, aset dan nilai pasar. Hari ini, nilai pasar perusahaan yang berdiri tahun 1904 ini adalah DKK 139,44 miliar (Rp300 triliun). Nilai bukunya (akhir 2019) adalah USD 28,837 miliar alias Rp 424 triliun. Sama dengan SI, intangible asset Maersk juga minus Rp 124 triliun. Nilai pasar 70% nilai buku. Ini bisa menjadi pembenaran bagi SI. Pemain terbesar saja intangible assetnya juga minus. Shipping industry memang sedang jenuh.
Tapi coba kita lihat variabel lain. Empat tahun terakhir, pendapatan perusahaan yang melayani pasar 121 negara ini pada periode yang sama secara berurutan adalah (USD, miliar) 27,6; 31,2; 39,3; dan 38,9. Naik 40% dalam kurun tersebut. Pertumbuhannya 5 kali lipat dibanding SI. Yang sudah melayani 121 negara saja masih semangat tumbuh. SI yang baru melayani 12 negara alias 10% Maersk harusnya lebih semangat.
Pada tahun 2017, Maersk mengakuisisi Hamburg Sud. Saat diakuisisi, perusahaan berbasis di Jerman ini adalah shipping company terbesar ke-5 dunia. Maersk mengakuisisi perusahaan yang berdiri tahun 1871 ini dengan nilai sekitar USD 4 miliar (Rp 59 triliun). Untuk industri yang sudah mature, akuisisi adalah cara pertubuhan yang masih mungkin. Pertumbuhan organik sudah terlalu berat karena ketatnya persaingan dan tipisnya margin. Ini yang membedakan Maersk dengan SI dalam hal pertumbuhan omzet. Maersk tetap menjaga pertumbuhan dengan melakukan akuisisi perusahaan sejenis.
Inilah kunci pertumbuhan. Sebagaimana di laporan SI, shipping industry memang sedang overcapacity. Tetapi bukan berarti peluang tumbuh tidak ada. Peluang tetap ada. Caranya adalah melalui akuisisi perusahaan sejenis. Tentu saja yang ukurannya lebih kecil dan berbasis di luar negeri. Tujuannya untuk memperluas pasar. Seperti yang dilakukan oleh Maersk.
Dari mana dana untuk akuisisi. Aksi korporasi jenis ini hanya bisa dilakukan dengan dana yang cost capital-nya rendah. Yang memungkinkan hanyalah dana dari pintu ekuitas. Teknisnya dengan melakukan rights issue alias penerbitan saham baru. Tidak bisa dana utang. Caranya adalah dengan melanjutkan proses korporatisasi yang telah dimulai oleh SI dengan IPO. Tentu harus dengan strategi khusus mengingat saat ini nilai pasar SI sedang jauh dibawah nilai buku.
Akuisisi juga bisa dilakukan melalui tukar guling saham. Misalkan SI mengakuisisi perusahaan pelayaran XYZ di Latvia, salah satu negara eks Uni Soviet lain. Dengan tukar guling, pemegang saham XYZ menjual sahamnya kepada SI. Uang hasil penjualan itu kemudian digunakan untuk membeli saham SI yang baru diterbitkan. Sederhananya, saham XYZ milik mereka ditukar dengan saham SI yang baru diterbitkan. Tentu tidak bisa dengan harga pasar saham SI saat ini. Perlu strategi untuk melakukannya.
Dengan akuisisi, terbukalah kemungkinan SI untuk tumbuh melayani pasar yang lebih luas. Pasar negara-negara eks Uni Soviet adalah contohnya. Seperti yang saya sampaikan di pembukaan tulisan ini. Sekali “tendangan” bisa menjangkau 16 negara yang bahasa, kultur dan sistem legalnya hampir sama. Mengibarkan sang merah putih di lebih dari 100 negara. Seperti yang dilakukan oleh Maersk. Maersk hadir di Indonesia. SI harus hadir di Denmark.
Ekonomi dunia itu seperti sepak bola. Pemenang bukanlah yang gawangnya tidak pernah kebobolan. Pemenang adalah yang membobol gawang lawan lebih banyak daripada sebaliknya. SI harus lebih banyak hadir di Denmark dari pada Maersk hadir disini. Denmark bangsa bahari. Kita juga bangsa bahari. Kita mesti berlomba dengan Denmark. Nenek moyang kita pelaut, demikian lirik sebuah lagu. Ini harus jadi pegangan. SI harus lebih banyak hadir di berbagai negara dari pada hadirnya shipping company luar negeri kemari. Jiwa patriot merah putih pendiri harus dilanjutkan dan makin diperkuat. Dulu di meja perundingan. Kini di dunia pelayaran. Pejuang dulu, pejuang pula kini. Tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Inilah tantangannya. Menjadi korporasi yang meneguhkan jati diri sebagai negeri bahari. Menjadi pilar kemerdekaan ekonomi umat dan bangsa. Mengibarkan merah putih di lebih dari 100 negara. SI bisa!
*)Artikel ke-265 ini ditulis di Surabaya oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting, pada tanggal 29 Mei 2020
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI atau ikuti KELAS KORPORATISAS
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Baca juga
Korporasi Nasionalis Pancasilais
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi
Korporasi Pejuang Rupiah
Korporasi Raket Yonex
Sejarah Heinekken Hadir di Indonesia
Sejarah Revlon dan Kepailitannya
Sejarah Korporasi
Sejarah Lions Club
Sejarah Hyundai versus Astra
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Sejarah Danone Dari Turki Usmani Hadir ke Indonesia
Ping-balik: Korporatisasi Di Luar Lantai Bursa | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Di Luar Bursa – Dr GoPublic
Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais | Korporatisasi
Ping-balik: Vico-Badak: Partai Pecel Aja | Korporatisasi