Suatu pagi di Mass Hall Vico Muara Badak, Kalimantan Timur. Matahari masih bersembunyi ketika para karyawan perusahaan gas dan minyak ini bergegas makan pagi. Pertengahan April 2009 saya ikuti ritme ini sebagai tamu. mengisi perut berpagi pagi untuk engeri berkarya seharian.
Setelah melalui mesin scanner verifikasi masuk ruang makan, saya melihat macam macam-menu yang tersedia. Yang segera menarik hati adalah pecel. Kecambah, kacang panjang, kubis, peyek, dan tentu saja sambel pecel. Menu kecintaan. Hanya orang madiun dan sekitarnya saja yang merasakan kecintaan ini.
Saya lihat banyak juga karyawan Vico yang memilih menu ini. seorang karyawan yang persis duduk di kursi sebelah saya harus ganti piring baru untuk menu ini. Menu di piring pertama telah dilahapnya. Sebuah piring baru diambilnya untuk mengambil pecel seperti yang ada di piring saya. Ternyata pecel menjadi faforit juga di Vico.
■■■■■
Dulu, 2 lembar pasfoto 3×4 cm dalam sebuah amplop cukup untuk melamar sebuah pekerjaan. Itu dulu ketika pengangguran belum marak. Ketika belum ada lebih dari 1,1 juta lulusan pendidikan tinggi yang menganggur. Dulu sekali.
Kini, jaman telah berubah. Hampir setiap sisi kehidupan berubah. Teknologi misalnya, telah menjadikan apa apa yang dulu terasa jauh menjadi dekat. Jarak ribuan kilometer bisa ditempuh dalam waktu singkat. Telekomunikasi murah juga menjadikan orang yang terpisah jarak ribuan kilometer bisa ngobrol dengan murah meriah. Begitu dekatnya sehingga orang orang yang berjauhan menjadi asyik berkomunikasi dan melupakan orang orang yang secara fisik berdekatan. Mendekatkan yang jauh. Menjauhkan yang dekat.
Salah satu perubahan itu adalah dalam hal lamaran kerja. kini, dibutuhkan ribuan foto ukuran 3 x 4 meter dengan berbagai pose untuk mendapatkan perkerjaan. Foto itu pun tidak lagi cukup dimasukkan amplop atau map. Melainkan harus dipajang di jalanan dan tempat tempat strategis agar bisa dilihat banyak orang. Orang orang inilah yang kemudian akan memberi “pekerjaaan” dengan menyontreng si pemilik foto pada saaat pemilihan umum.
Begitu tingginya minat “pencarian pekerjaan” melalui foto foto besar ini seampai sampai semua enegi tercurah kesana. Para aktivis pemuda di kampus maupun di luar kampus berbondong bondong masuk ke dunia politik. tingkat persaingan perebutan kursi jabatan politik sangat tinggi. Minat masuk ke dunia bisnis dan kewirausahaan sangat rendah.
■■■■■
Menurunkankan syahwat politik masyarakat dan kembali kerja kerja kerja! inilah visi Parte Penggemar Nasi Pecel Indonesa, PPNPI. Menggelorakan semangat bekerja. Semangat berkarya. Semangat membangun kesejahteraan masyarakat.
Tentu saja PPNPI bukan sebuah partai sebenarnya. PPNPI hanyalah sebuah partai anekdot. PPNPI tidak pernah terdaftar di KPU. Murni anekdot. Itu pun anekdot saya sendiri. Anekdot untuk melawan arus pemikiran masyarakat yang menjadikan politik sebagai panglima. Menjadikan politik sebagai sesuatu yang mendapatkan perhatian luar biasa.
Sementara itu sebenarnya masyarakat lebih membutuhkan konsentrasi ekonomi. konsentrasi membangun kesejahteraan. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai tanpa kerja keras dan curahan perhatian ekstra.
Ingat! Kemampuan rata rata masyarakat indonesia dalam membangun kesejahteraan sangat rendah. Jika diukur dengan product domestic bruto per kapita, 25 orang Indonesia baru setara dengan satu orang Amerika. Tiga belas orang Indonesia baru setara dengan satu orang Israel. Dua puluh orang Indonesia baru setara dengan satu orang Singapura. Bahkan kita berada di bawah negara negara yang mungkin Anda pun tidak mengenalnya: bhutan, samoa, tonga, dan Congo.
Maka, mari bekerja keras. Jangan gunakan pasfoto 3×4 meter untuk “melamar” pekerjaan. Bahkan jangan lagi melamar pekerjaan. Sudah terlalu banyak pengangguran di negeri ini. enam puluh persen sarjana menganggur. Itulah judul sebuah berita di Harian Kompas januari lalu. Maka….mari bekerja keras untuk membangun ekonomi. Agar jutaan sarjana pengangguran itu bisa bekerja dan ijazahnya tidak sia sia. Turunkan syahwat politik, alihkan pada gairah membangun ekonomi negeri. Partai? PPNPI aja deh! Seperti di kantin Vico itu lho…hehehehe
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Muslim, terbit di Surabaya
Baca juga
Haruskah Pengusaha Masuk Politik?
Perusahaan Nasionalis Pancasilais
Korporasi Pejuang Bangsa
Politisi Full Time dan Nafkahnya
Bank Pengibar Merah Putih di 18 Negara
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Atau ikut KELAS KORPORATISASI