Hotel Sheraton Surabaya di suatu pagi ramadhan. Hari itu di hotel mewah ini sedang berlangsung seleksi tahap kedua calon penerima beasiswa SMA dari kementerian pendidikan Singapura. Saya datang mengantar si sulung. Ada sekitar seratus lima puluhan anak peserta. Bersaing untuk memperebutkan beasiswa tingkat SMA dari negeri kecil kaya ini. Uang sekolah, asrama, makan, uang saku, tiket dari surabaya ke Singapura pergi pulang semua gratis.
Ada yang menarik dari tes ini. Di sore hari ketika menjemput si sulung, saya tanya ini dan itu, termasuk tentang sholatnya. Panitia memberi waktu istirahat antara jam dua belas sampai jam satu siang. Karena sedang puasa, waktu istirahat sepenuhnya dipakai untuk sholat di mushola hotel. Saat saya tanya tentang berapa peserta tes yang sholat, jawabnya menarik. Hanya ada 6 anak yang sholat dhuhur. Tidak sampai 10%. Padahal bulan ramadhan biasanya orang cenderung lebih rajin sholat.
Setelah saya pelajari asal usul anak-anak yang pagi itu mengikuti tes, saya mendapatkan jawaban sangat logis. Sebagian besar peserta tes tersebut berasal dari sekolah nasrani. Tentu mereka tidak ikut puasa ramadhan. Tentu mereka tidak sholat. Sesuatu yang wajar.
♦♦♦♦♦
Jalan Mayjend Sungkono Surabaya di suatu pagi. Bersama si sulung saya sedang mencari SMA di luar negeri. Di jalan yang berlokasi di Surabaya barat ini terdapat kantor Edlink, agen berbagai sekolah dan perguruan tinggi luar negeri. Hasilnya? Nihil. Melengkapi ketidakberhasilan atas upaya mencari sekolah sebelumnya. Bahkan saya sudah pernah keliling dari satu sekolah ke sekolah di negeri singa. Tetap gagal.
Ada banyak kendala. Salah satu kendala yang pasti muncul adalah masalah administrasi antar negara. Student pass. Pernah misalnya si sulung sudah mengikuti tes di sebuah sekolah Islam di Singapura. Tes lolos. Begitu mengurus student pass, yang ada adalah kegagalan. Pemerintah setempat tidak memberikan ijin kepada si sulung untuk bersekolah di negerinya. Memang ada murid luar negeri di sekolah itu, tetapi mereka adalah anak-anak yang orang tuanya berada di Singapura. Sekolah dengan visa dependend. Berbeda dengan sulung saya yang orang tuanya tidak di Singapura.
Edlink yang memang sudah berpengalaman mengirim para pelajar ke luar negeri punya banyak alternatif sekolah. Tetapi ada sebuah kendala teknis yang tidak mungkin ditembus. Sekolah-sekolah di luar negeri yang diageni Edlink pada umumya tidak memperbolehkan muridnya memakai jilbab. Sesuatu yang wajar karena pada umumnya yang diageni adalah sekolah sekolah non muslim. Tentu anak saya tidak bisa masuk karena sehari-hari ia berjilbab.
♦♦♦♦♦
Dua peristiwa kecil di atas menggambarkan tentang kecilnya animo pelajar muslim terhadap pendidikan luar negeri. Untuk kasus di Edlink, barang kali bisa dimaklumi karena alasan biaya mahal. Tetapi tentu hal ini tidak berlaku untuk suasana di Hotel Sheraton. Semua biaya gratis. Tetapi kenapa tidak banyak pelajar muslim yang tertarik dan mengikuti seleksi ini?
Saya makin bersedih manakala membaca sejarah nabi SAW. Pada umur 12 atau 13 tahun, beliau sudah belajar ilmu dagang di Syam. Sekitar 2000 km meninggalkan negeri asalnya di Makkah. Memang ketika itu Muhammad SAW muda tidak belajar di sekolah formal. Tidak ada sekolah formal ketika itu. Yang ada adalah sekolah alam. Sekolah masyarakat. Belajar berdagang langsung dari masyarakat.
Saya makin tercengang karena ketika itu Makkah jauh lebih maju dari pada Syam. Makkah adalah pusat kebudayaan dunia. Mengapa harus belajar di sebuah negeri yang kalah maju? Hikmah yang sungguh luar biasa. Belajar ke luar negeri telah menjadi bagian penting dari sejarah kehidupan calon pemimpin dunia akhirat ini. Bahkan di negeri yang kurang maju sekalipun. Di luar negeri Muhammad SAW kecil belajar perdagangan, budaya, bahasa, lingkungan, kekuatan fisik menghadapi para penyamun di padang pasir, keahlian ilmu astronomi memprediksi cuaca padang pasir agar tidak terjebak badai gurun yang ganas, dan sebagainya. Semuanya dilakukan pada usia 12 atau 13 tahun.
Malangnya, umat Islam hari ini tidak terlalu tertarik meneladaninya. Edlink yang lebih banyak melayani para pelajar non muslim bukan masalah deskriminasi. Memang tidak ada pelajar muslim yang tertarik sekolah ke luar negeri. Justru orang-orang non muslim yang meneladani nabi SAW. Tiap tahun ribuan orang belajar di berbagai negara. Ada yang dengan beasiswa. Sebagian besar tetap dengan biaya sendiri.
Sebegitu mahalkah sekolah di luar negeri? Pengalaman si sulung bisa menjadi perbandingan. Kini ia menempuh pendidikan di kelas 5 alias kelas terakhir di sebuah Sekolah Menengah swasta Islam di Johor Bahru Malaysia. Di negeri jiran ini, SMP dan SMA menjadi satu dengan nama sekolah menengah selama 5 tahun. Biaya uang pangkal di Sekolah Menengah Islam Hidayah di Johor Bahru adalah sekitar MYR 1750. Tidak sampai Rp 6 juta. Biaya bulanan (SPP, makan, asrama) adalah MYR 625. Tidak sampai Rp 2 juta. Biaya tiket pesawat surabaya Johor pada hari-hari biasa tidak sampai Rp 1 juta pergi pulang. Biaya pembelian buku pelajaran pada awal semester lengkap sekitar MYR 300. Tidak sampai Rp 1 juta rupiah. Bandingkan dengan uang pangkal di sekolah-sekolah Islam favorit di tanah air. Sekedar Contoh, uang pangkal SMP berasrama (boarding school) Nurul Fikri di Serang, Banten, adalah sekitar Rp 14 juta. Meneladani Nabi, bisa kan?
tulisan ini pernah dimuat di majalah Yatim, terbit di Surabaya.
Saya baru baca riwayat hidup perowi hadits Imam An Nasa’i.Beliau lahir di Khurasan.Sejak umur 15 thn sejak dia hapal qur’an dan hapal banyak hadits,beliau menuntut ilmu ke berbagai negara,arab,mesir,yaman,dll.Org2 besar bermula dari sentuhan dgn LN ya,ust.Pertanyaannya apa kita tdk takut anak kita kena pengaruh pergaulan disana,ust?Gimana njaganya?
justru kita kirim ke luar negeri agar mendapatkan pengaruh. tentu saja pengaruh yang baik. kalo bicara pengaruh baik dan buruk…tidak saja di luar negeri. di dalam rumah kita pun ada pengaruh baik dan buruk. pr kita kepada anak anak adalah bagaimana dalam menghadapi pengaruh itu mereka tetap terbuka terhdap pengaruh baik dan kebal terhadap pengaruh buruk. bisa kan?
jika diwacanakan skrg, mgkin terkesan sulit utk pergi keluar negeri.. maka melihat anak desa yang bisa sukses di kota besar, patut diapresiasi telah meneladani Rosulullah SAW..
ndak sulit kok. ada banyak cara. termasuk yang gratis tis….
Berbicara animo siswa/islam thd beasiswa luar negri yg diceritakan a.k.a serba gratis.. Biasanya berhubungn pula dg publikasi atau informasi ke sekolah2 islam misalnya..masih terasa sangat kurang..
memang kita harus berburu informasi….agar bisa bersaing dan menang dalam persaingan!
Salam,
Anaknya jadi sekolah dimana pak? Boleh disharing donk. Need info neh. Tq sebelumnya
dulu SMA nya di johorbahru, malaysia, dan kini kuliah di RRC… ikuti terus blog ini….. hehehehe
Ping-balik: Sekolah Internasional Vs. Bertaraf Internasional | Korporatisasi