Sjamsul Nursalim (SN) menjadi trending topic. Tahun 2018 KPK yang menuduhnya merugikan negara Rp 4,58 triliun. Tahun 2021 ini KPK menerbitkan SP3. Dengan demikian tuduhan itu batal. Jadilah pembicaraan tentangnya menyeruak. Saya bukan dalam posisi untuk membenarkan atau menyalahkan KPK. Saya juga bukan dalam posisi membenarkan atau menyalahkan SN. Tapi menarik untuk dibahas dari kaca mata korporasi.
Berbagai sumber menyebut bahwa salah satu perusahaan yang didirikan oleh SN adalah PT Gajah Tunggal Tbk (GT). Di dokumen resmi GT memang sudah tidak terdapat nama SN baik sebagai pendiri, pemegang saham, komisaris maupun direksi. Tetapi karena berbagai sumber menyebutnya demikian dan saling menguatakan, mari kita coba melakukan analisis.

Anggap bahwa GT memang buah karya SN. Maka, pertanyaan ini menjadi menarik: Bisakah GT “mengembalikan” uang Rp 4,58 triliun itu kepada negara? Mengembalikan saya beri tanda kutip karena kasusnya sudah dihentikan. Jadi leterlijk tidak mungkin GT mengembalikan uang itu. Tetapi masih ada pintu lain. Negara tetap menerima Rp 4,85 triliiun itu. Pintu apakah itu? Butuh waktu berapa lama? Bisakah pemerintah memaksa untuk mempercepatnya? Bagaimana caranya? Saya akan menjelaskannya dalam bentuk poin-poin.
- Tahun 2020 omzet GT adalah Rp 13,43 triliun. Prestasi penjualannya turun 16% dari tahun sebelumnya yang Rp 15,94 triliun. Mungkin ini bisa terjadi karena pengaruh pandemi yang memang orang cenderung tinggal di rumah dan pemakaian kendaraan menurun drastis. Penggantian ban pun akan ikut menurun.
- Tetapi mari kita lihat omzet tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2018 sebesar Rp 15,35 triliun. Tahun 2017 adalah Rp 14,15 triliun. Tiga tahun sebelum pandemi pendapatannya juga cenderung stagnan. Tidak ada pertumbuhan yang signifikan
- Pertumbuhan perusahaan adalah hasil dari investasi pada revenue and profit driver (RPD). Ini tercermin dari kas untuk investasi. Tahun 2020 GT membelanjakan Rp 395 miliar. Beda tipis dengan laba yang sebesar Rp 319 miliar. Artinya, perusahaan tidak melakukan scale up. Scale up baru terjadi ketika perusahaan menggelontorkan kas untuk investasi jauh lebih besar dari labanya. Paling tidak 5x laba
- Perusahaan yang tidak melakukan scale up akan cenderung stagnan. Pertumbuhannya tidak pesat. Sebelum pandemi misalnya, tahun 2018, omzet hanya tumbuh 8%. Tahun 2019 hanya tumbuh 4%. Rata-rata pertumbuhan adalah 6%
- Berdasarkan laporan keuangan terauditnya, Tahun 2020 GT membayar pajak sebesar Rp 157 miliar. Inilah kontribusi riil GT kepada negara. Ini bisa cara legal formal GT “mengembalikan” uang negara Rp 4,58 triliun itu
- Jika pembayaran pajak juga tumbuh sebagaimana pertumbuhan omzet rata-rata 6% per tahun maka dibutuhkan waktu sampai tahun 2037 alias 17 tahun untuk akumulasi sebesar Rp 4,58 triliun.
- Andai saja ada terobosan hukum agar 49,51% saham GT yang kini dipegang Denham Pte Ltd bisa disita oleh negara pun tidak akan menyelesaikan masalah. Nilai 49,51% saham itu saat ini hanya Rp 1,54 triliun. Jauh sekali dari angka Rp 4,58 triliun. Apalagi SP3 KPK itu telah menutup kemungkinan ini.
- Waktu 17 tahun “mengembalikan” Rp 4,58 triliun ke negara itu lama. Bagaimana mempercepatnya? Tidak ada cara lain kecuali menumbuhkan GT. Pertumbuhan adalah buah dari scale up. Sebagaimana poin 3, GT selama ini tidak melakukan scale up. Adakah peluang melakukannya setelah ini? Mari kita lihat
- Kemungkinan pertama menggenjot investasi pada RPD sebagai pemicu pertumbuhan adalah dengan utang. Dari neracanya, ekuitas GT adalah Rp 6,85 triliun. Dengan ekuitas sebesar itu utang GT adalah Rp 10,93 triliun. Artinya, utangnya sudah 1,6 x ekuitas. Untuk perusahaan manufaktur seperti GT rasio utang seperti ini sudah termasuk tinggi. Akan berat jika harus menambah utang lagi. Apalagi tahun 2020 beban keuangan sudah Rp 630 miliar. Jauh lebih besar dari pada labanya. Maka, menambah utang untuk belanja modal sudah tidak bisa dilakukan lagi oleh GT
- Kemungkinan kedua adalah menjual intangible assetnya. Merek ban GT Radial sudah sangat dikenal. Mestinya ini merupakan intangible asset yang bagus. Tapi coba mari kita lihat secara riilnya. Dengan nilai buku Rp 6,85 triliun, kapitalisasi pasar GT hari ini adalah Rp 3,12 triliun. Artinya, nilai intangible asset GT justru minus Rp 3,73 triliun. Artinya, merek, manajemen, sejarah, pengalaman panjang, dan apa pun yang bersifat intangible tidak berkontribusi terhadap nilai perusahaan. Justru menggerogoti. Bahkan membakarnya.
- Normalnya, mestinya nilai pasar GT harus jauh di atas nilai buku yang sebesar Rp 6,85 triliun. Tapi ini tidak terjadi. Artinya, kondisi saat ini GT juga tidak bisa mendapatkan kucuran dana dengan menguangkan intangible asset melalui penerbitan saham baru. Jika ini yang dilakukan, maka GT justru rugi karena menjual saham dengan harga di bawah nilai buku. Efeknya akan makin menurunkan nilai buku dan tentu pemegang saham tidak akan setuju.
- Lalu bagaimana caranya? Tidak bisa tidak GT harus melakukan “puasa”. Mengencangkan ikat pinggang. Melakukan efisiensi besar besaran agar dengan omzet yang ada mampu menghasilkan laba yang lebih tinggi.
- Posisi hari ini rasio antara nilai perusahaan terhadap laba (PER) adalah 9,74. Angka ini masih bisa diperbaiki mengingat merek GR Radial yang kuat di pasar itu. Jika merek ini sudah bisa difungsikan untuk mendongkrak intangible asset maka PER bisa naik dua kali lipat. Lalu efisiensi sukses dilakukan dan laba bisa naik dua kali lipat dari sekarang. Dengan perpaduan berfungsinya intangible asset dan kenaikan laba, nilai perusahaan bisa menjadi 4x lipat dari sekarang alias Rp 12,48. Jika angka ini tercapai, maka selanjutnya GT bisa melakukan scale up sebagai langkah kelima dari corporate life cycle. Terbitkan 10% saham baru dan perusahaan akan menerima Rp 1,25 triliun.
- Ditambah laba yang ada maka perusahaan bisa melakukan scale up dengan investasi paling tidak Rp 1,5 triliun. sekitar 5x laba. Setelah itu jangan berhenti. Tiap tahun scale up dengan investasi pada RPD berkali kali lipat laba. Melakukan korporatisasi secara terus menerus sampai mencapai step ke-8 dalam corporate life cycle.
- jika ini dilakukan, maka omzet akan terus meningkat, laba akan meningkat dan tentu saja pajak akan meningkat. Dengan demikian GT bisa “mengembalikan” uang negara Rp 4,58 triliun dalam waktu yang lebih singkat
- Bagaimana negara bisa mempercepatnya? Tentu dengan regulasi. Pemerintah bisa membuat kebijakan fiskal misalnya memberi tarif pajak lebih mahal kepada perusahaan yang tidak melakukan penerbitan saham baru (right issue) dengan harga di atas nilai buku. Atau bisa juga kebijakan fiskal sejenis itu sehingga perusahaan akan “terpaksa” tumbuh pesat melalui proses korporatisasi. Dan jika regulasi seperti ini dijalankan, perusahaan lain pun akan ikut tumbuh dan berekspansi baik di dalam maupun di luar negeri. Dan tentu ekonomi akan tumbuh dan pendapatan pajak dari korporasi akan naik tajam. Konsolidasi ekonomi pun akan berjalan. Muncul perusahaan-perusahaan besar tanpa pemegang saham pengendali yang sahamnya dimiliki masyarakat luas. Cost of capital akan turun seperti yang berkali kali diharapkan oleh Presiden Jokowi. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Semoga pemerintah memahami dan tergerak. Aamin.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga:
Perusahaan nasionalis pancasilais
Harapan BSI, nyata atau fatamorgana
Waskita rugi mencekik
Corporate life cycle
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
*)Artikel ke-322 karya Iman Supriyono ini ditulis di kantor pusat SNF Consulting pada tanggal 5 April 2021