Tugas business owner adalah membuat bisnis baru. Menguasai bisnis dari hulu ke hilir. Dua kalimat yang oleh banyak orang dianggap betul. Tapi sebenarnya salah. Salah kaprah. Bukan begitu membuat bisnis kuat. Bukan begitu membuat bisnis besar. Kesalahan yang dilakukan oleh banyak orang. Orang jawa menyebutnya salah kaprah. Tetapi tetap saja salah.
Ada dua kesalahan. Kesalahan pertama adalah paradigma business owner. Ini adalah paradigma bisnis perorangan. Bukan korporasi. Dalam korporasi tidak ada business owner. Yang ada adalah pendiri alias founder, CEO alias dirut, direksi, komisaris, dan pemegang saham. Itulah mengapa orang seperti Bill Gates, Mark Zackerburg, Warren Buffet, atau Serge Brin, atau pelaku bisnis utama mana pun, tidak pernah disebut business owner.
Kesalahan kedua, membuka bisnis baru itu untuk memperkuat bisnis yang sudah ada. Ini juga salah kaprah. Kesalahannya baru terlihat jika Anda memahami apa itu par value, book value, market value secara clear dan melihat perkembangannya pada sejarah berbagai perusahaan. Butuh upaya khusus untuk memahaminya. Butuh pembelajaran khusus secara utuh apa yang disebut sebagai corporate life cycle dalam sebuah proses korporatisasi.
Tapi kali ini saya akan menjelaskan dengan contoh. Bagaimana Alfamart (A) menguatkan diri dan membuat pemasoknya tak bisa main-main. Salah satu pemasok A yang barangnya tersedia secara cukup menonjol di tiap gerainya adalah Sari Roti (SR). Mari kita lihat angkanya. Tahun 2021 nilai pasokan SR ke A adalah Rp 738 miliar. Sementara itu omzet SR tahun itu adalah Rp 3,28 triliun. Dengan demikian sebesar 22,5% SR diperoleh dari A.
Mari kita lihat sebaliknya. Omzet A tahun yang sama adalah Rp 84,9 triliun. Omzet tersebut diperoleh dari HPP senilai Rp 67,2 triliun. Hubungannya dengan SR, omzet yang diakui dalam laporan SR adalah HPP bagi A. Dengan demikian, kontribusi SR terhadap pasokan A adalah 1,1%. Kecil sekali.
Andai SR ngambeg tidak mau memasok A maka A akan mengalami penurunan omzet 1,1%. Sebaliknya, jika SR diblokir tidak boleh memasok A maka SR akan kehilangan omzet 22%.
Itu dari sisi omzet. Mari kita lihat lebih dalam. Rata-rata laba kotor A adalah 20,1%. Dengan demikian jika SR tidak memasok A maka A akan kehilangan laba kotor sebesar sekitar 20,1% dari Rp 738 miliar. kehilangan Rp 148 miliar. Dengan laba tahun berjalan A sebesar Rp 1,99 triliun, maka efek boikot SR hanya akan menurunkan laba sebesar 7,4%. Dari Rp 1,99 menjadi 1,84 triliun. ROE masih 20,5%. Masih sangat amat besar sekali.
Sebaliknya, rata-rata laba kotor SR adalah 54,4%. Maka, kehilangan omzet di A akan mengakibatkan SR kehilangan laba kotor Rp401 miliar. Dengan laba tahun berjalan Rp 281 miliar, kehilangan omzet dari A akan berakibat SR rugi Rp 120 miliar. pertanyaannya, jika Anda CEO Sari Roti, beranikah Anda macam-macam ke A? Beranikah Anda menolak term of payment A yang panjang? heheheh.
Maka, tanpa harus menjadi perusahaan roti, A sudah sangat powerfull. Tidak bisa didikte oleh SR atau pemasok roti mana pun. Dan karena A posisinya kuat terhadap semua pemasok, maka A jadi powerfull sekali. Powerfull dengan cara membesar melalui korporatisasi. Dengan menjalani corporate life cycle dengan mantab. Bukan dengan berbisnis dari hulu ke hilir. Bukan dengan membuat bisnis lain. Anda bisa menangkap pelajarannya kan? Janagan tunda-tunda belajar tentang korporasi.
Artikel ke-377 karya Iman Supriyono ini ditulis di SNF Consulting House of Management pada tanggal 14 Agustus 2022
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Baca Juga
Simalakama Garuda, Pailit atau Korporatisasi
Waskita Beton Digugat Pailit
Kepailitan Start Up
Pelajaran Kepailitan DAJK
Tauhid Kepailitan Batavia
Bagaimana dg produk yg mulai di branding merk Alfa. Seperti cotton bud, snack macam kacang polong dan air mineral kemasan botol?
itu namanya house brand. Coba googling tentang hal itu
Ping-balik: Alfamart: Pendiri Untung Investor Gigit Jari? | Korporatisasi