PT Dwi Aneka Jaya Kemasindo, Tbk. didirikan pada tahun 1997. Perusahaan yang di lantai bursa dikenal dengan DAJK ini bergerak di bidang industri percetakan offset kemasan dan karton gelombang untuk industri makanan dan minuman. Mei tahun 2014 perusahaan melakukan initial public offering (IPO) dengan melepas 1 miliar lembar saham baru pada harga nominal Rp 100 kepada publik. Pasca IPO seluruh saham menjadi berjumlah 2,5 milyar lembar. Keseluruhan saham baru tersebut terserap pasar dengan harga Rp 470. Dari aksi korporasi ini, DAJK memperoleh dana Rp 470 Miliar.

IPO bisa bikin stress
Yang menarik, tiga tahun setelah IPO, DAJK dinyatakan pailit oleh pengadilan. Pailit artinya badan hukum perusahaan dinyatakan telah bubar. Seluruh aset dalam dikuasai oleh negara dan dikelola oleh dewan kurator yang ditunjuk pengadilan. Direksi, komisaris dan pemegang saham tidak sama sekali tidak punya wewenang terhadap aset. Dengan kekuasaannya, dewan kurator akan menjual seluruh aset. Hasilnya akan digunakan untuk membayar seluruh kewajiban kepada kreditor. Jika ada sisa, barulah uangnya akan diberikan kepada pemegang saham sesuai proporsi kepemilikannya.
Mengapa setelah IPO malah pailit? Beberapa waktu lalu saya menulis tentang IPO trap. Jebakan IPO. Silakan membacanya kembali. Jebakan ini terjadi karena perusahaan melakukan IPO tidak dalam kerangka roadmap yang tepat. Akibatnya, adanya dana besar dari pesaham baru justru menjadi bumerang. Kinerja perusahaan dan kedodoran. Mirip dengan orang kaya baru yang banyak melakukan hal-hal konyol dengan uang melimpahnya. Apakah DAJK mengalami IPO trap? Mari kita cermati.

Berdasar prospektus saat akan melantai di bursa, tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 (31 Oktober) pendapatan perusahaan masing-masing adalah Rp 42 Miliar, 40 Milyar, 52 Miliar, 147 Milyar, 205 Milyar dan 412 Milyar (sampai Oktober) dengan laba Rp 782 Juta, 852 juta, 1,5 Milyar, 7 Milyar, 28 Milyar, dan 53 Milyar (sampai Oktober). Asetnya adalah 21 Milyar, 37 Miliar, 44 Miliar, 169 Milyar, 690 Milyar dan 1,043 T. Utangnya adalah Rp 19 Miliar, 34 Milyar, 40 Milyar, 153 Milyar, 421 Milyar dan 439 Milyar. Plus utang dengan skema syariah syirkah temporer senilai 62 dan 172 Miliar untuk tahun 2012 dan 2013. Dengan demikian ekuitasnya adalah Rp 2 miliar, 3 milyar , 4 milyar, 15 milyar, 208 milyar dan 433 milyar. Maka, rasio utang terhadap modal sendiri (debt to equity ratio, DER) untuk periode enam tahun tersebut adalah 10, 11, 10, 10, 1 dan terakhir 1,4 pada akhir bulan Oktober tahun 2013.
IPO menjadikan aset perusahaan tahun 2014 menjadi Rp 1,903 Triliun alias naik hampir 2x kali lipat dalam sekejap. Ekuitas menjadi Rp 1,065T dengan utang Rp 837 Milyar. Pendapatan perusahaan naik hampir 2x lipat menjadi Rp 894 Milyar. Laba naik hampir dua kali lipat yaitu Rp 91 Miliar tetapi arus kas operasional justru minus Rp 231 Milyar.
Tahun 2015 alias setahun setelah IPO pendapatan menjadi Rp 1,006 T alias naik 13% dari tahun sebelumnya. Sayang, peningkatan pendapatan ini justru “berbuah” rugi Rp 439 Miliar walaupun arus kas operasional positif Rp 167 Miliar.
Tahun 2016 pendapatan turun menjadi Rp 214 Miliar dengan rugi 366 Miliar dan arus kas operasional positif Rp 105 Miliar. Positifnya arus kas tahun 2016 ini perlu dicermati karena arus kas untuk pembayaran bunga dan provisi turun tinggal Rp 72 Miliar dari tahun sebelumnya yang 129 Miliar. Dengan posisi utang yang relatif tidak tetap maka bisa diperkirakan bahwa tidak semua beban bunga bisa dibayar perusahaan.
Bagaimana kinerja tahun 2017? Sampai september perusahaan baru membukukan pendapatan Rp 15 Miliar alias turun 94% dibanding periode sama tahun sebelumnya yang Rp 246 Miliar. Hasilnya adalah rugi kotor Rp 28 Miliar dan rugi bersih Rp 60 Miliar. Adanya rugi kotor menunjukkan bahwa penjualan perusahaan sama sekali tidak mendatangkan uang. Justru sebaliknya. Penjualan menggerogoti uang perusahaan. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena begitu jatuhnya angka penjualan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
&&&
Pembaca yang baik, mencermati angka-angka di atas mungkin Anda akan pusing hehehe. Tetapi ini adalah pelajaran penting. Bahkan sangat penting agar kita bisa melihat adanya tanda-tanda perusahaan yang mengalami apa yang disebut IPO trap. Baca kembali jika perlu beberapa kali sampai Anda bisa menangkap gambaran besarnya. Cermati berkali-kali agar Anda bisa menangkap adanya jebakan IPO. Gejala dimana penambahan aset hasil pelepasan saham baru melalui IPO justru membuat perusahaan sempoyongan. Perusahaan tidak mampu mendayagunakan uang melimpah hasil IPO dengan cara yang tepat.

Paling tidak ada dua kesalahan DAJK yang bisa menjadi pelajaran. Kesalahan pertama, sebelum IPO perusahaan terlalu berani berutang. DER dua digit sepanjang 4 tahun berturut-turut sejak tahun 2008. Perusahaan dengan bisnis mendayagunakan “pabrik” berupa mesin cetak seperti DAJK mestinya DER hanya boleh sekitar angka 1. Memang tahun 2012 dan 2011 DER sudah terkoreksi menjadi 1. Tetapi nampaknya koreksi DER ini bukan terjadi karena fundamental yang bagus. Bukan terjadi karena akumulasi laba. Tetapi terjadi karena faktor lain. Bisa jadi adalah hasil revaluasi aset seperti meningkatkan nilai buku properti yang dulunya dibeli dengan harga murah menyesuaikan nilai pasar. Jika ini yang terjadi maka perbaikan DER adalah sesuatu yang bersifat semu.
Kesalahan kedua, perusahaan melepas saham terlalu banyak. Perolehan dana Rp 470 Miliar adalah terlalu besar. Bahkan tahun itu juga perusahaan menambah utang sebesar Rp 169 Miliar. Artinya, perolehan IPO yang besar pun malah membuat perusahaan “haus” dengan menambah utang. Ini menunjukkan perusahaan telah berinvestasi jauh diatas kemampuannya. Peningkatan pendapatan tidak menghasilkan uang. Arus kas operasional negatif. Utang justru terus bertambah.

Akibatnya adalah jatuhnya kinerja pada tahun-tahun setelah IPO. Puncaknya berupa tidak mempunyai perusahaan memenuhi kewajiban kepada para kreditur. Sesuai undang-undang, adanya 2 kreditur yang tidak haknya dilanggar bisa menuntut pailit di pengadilan. Dan itulah yang terjadi pada DAJK. Pengadilan pun mengabulkan tuntutan para kreditur dengan memutuskan status pailit pada DAJK. Semoga Anda para pengelola perusahaan dapat mengambil pelajaran. Ekspansi bagi perusahaan adalah keharusan. Pertumbuhan adalah tuntutan. Melepas saham baru termasuk melalui IPO adalah sarananya. Agar mampu bersaing dalam era monopolistik. Agar mampu memperoleh posisi crowding effect. Agar mampu memperoleh SDM terbaik dalam era career choice effect. Tetapi jangan melakukannya secara serampangan. Jangan melakukannya tanpa road map yang tepat. Agar terhindar dari jebakan pelepasan saham baru. Terhindar dari IPO trap. Terhindar dari pailit. Aamin.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca Juga: Pelajaran kepailitan Batavia
Artikel ini ditulis oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting, pernah dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya, dengan ditambah dan diedit kembali.
Ping-balik: Batavia: Tauhid Kepailitan | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Revlon: Sejarah & Kepailitan | Korporatisasi
Ping-balik: Alfamart Vs. Sari Roti: Adu Kuat, Bukan Hulu Hilir | Korporatisasi
Ping-balik: Palugada atau Fokus: Hyundai Vs. Astra | Korporatisasi